Deanisa bangun pagi ini dengan kepala pusing dan hidung meler. Dia kena flu sudah dua hari akibat pulang kehujanan dari McDonald dua malam yang lalu. Sekaran Nisa bekerja paruh waktu di McD untuk bisa memenuhi keperluan kuliah dan tesis S2-nya. Itu adalah tempat yang kesekian yang menerimanya bekerja setelah sebelumnya dipecat.
Selama ini ia tak mau menerima uang dari Ayah sambung tirinya yang bahkan membuka rekening pribadi untuknya. Hans harus setengah memaksa agar Nisa mau menerima pemberiannya. Ia bahkan harus menyuruh Alisha untuk memberikannnya pada Nisa karena anak itu tak pernah berani membantah pada Alisha.
Setelah kematian Ibunya dua bulan sebelumnya, ia kembai pindah dari rumah besar Hans Alexander ke tempatnya tinggal lebih dari sepuluh tahun dan kembali ke rumah kecil mereka tempat ia dan bundanya dulu tinggal sebelum menikah dengan Hans Alexander. Rumah sederhana dengan halaman kecil di depan rumah. Dihimpit beberapa rumah besar, rumah mungil itu seperti tenggelam dan jika dilihat dari jalanan seolah tak ada yang tinggal disana. Rumah itu tertutup beberapa pohon besar dan pagar tetangga yang tinggi. Tapi di rumah inilah Nisa menghabiskan masa kecilnya bersama bundanya.
Nisa tidak pernah mengenal ayahnya semenjak ayah kandungnya menceraikan sang Ibu saat ia sedang hamil Nisa. Jadilah sekarang setelah bundanya meninggal hampir dua bulan lalu praktis ia tinggal sendirian.
Sambil mengurut kening, ia mencoba membuka mata dan dengan rambut acak acakan. Nisa memaksakan diri ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan membuat sarapan.
Haatchii... beberapa kali Nisa bersin, entah sudah berapa banyak tisu ia habiskan dua hari ini. Hari ini dia diberikan libur oleh manajer yang setelah tau dia sakit melarangnya bekerja karena takut menulari pelanggan. Ah dipotong lagi gajiku- batin Nisa.
Sedang meminum teh chamomile, Hp Nisa berdering beberapa kali. Hans meneleponnya.
"Halo Pa," ujar Nisa dengan suara sakit menyapa Hans.
"Nisa, kamu kenapa, sakit?"
"Gak pa, cuma... Haaatchiim, flu... dikit" ujarnya menyengir.
"Kamu masih kerja di McD, Papa udah bilang kan untuk keluar dari tempat itu, pasti kamu kehujanan pulang malam-malam, iya kan!" suara Hans khawatir di seberang.
"Ah Papa, kan cuma setengah hari gak full, haatchiii!"" Nisa mengambil tisu dan mengelap hidungnya.
"Papa kirim dokter sekarang, kamu di rumah kan? Jangan kemana mana sebentar lagi Om Zaki ke situ periksa kamu," tegas Hans. Nisa hanya menggerutu dia sudah berkali kali lolos menolak semua permintaan Hans. Tapi kali ini dia takut papa nya marah.
"Iya Pa, Nisa mau tidur di rumah aja."
"Bagus, kalo Papa liat kamu kerja di situ lagi, tempat itu Papa tutup!"
"Pa..."
"Sayang kamu tanggung jawab Papa, Papa gak mau liat kamu sakit. Atau kamu mau Papa suruh Alisha jemput kamu?" oh tidak kalo kak Alisha sudah ikut campur Nisa paling tidak bisa menolak. Kak Alisha selalu punya cara menakhlukkan Nisa.
"Nooo...Pa jangan, Nisa gak kemana-mana janji Nisa di rumah aja."
"Good, be a good girl, dan tunggu dokter Zaki datang memeriksa kamu."
"Iya Pa!" ujar Nisa sambil berbaring di sofa, kepala nya mulai berat lagi.
"Yes sweetheart, I love you."
"Love you too Pa." Nisa menutup telepon dan mulai tidur lagi. Dokter Zaki pasti datang sekitar setengah jam lagi jadi ia punya waktu 30 menit untuk berbaring. Dokter Zaki adalah dokter keluarga Alexander dan karena Nisa juga adalah bagian dari Alexander ia pun mendapat pelayanan yang sama.
Sementara itu Bryan dan Arya tengah berada di penerbangan pribadi dari New York ke Jakarta. Mereka memakai pesawat pribadi milik VanAlex. Pesawat sudah berada di udara lebih dari dua jam dan masih ada lebih dari delapan jam lagi baru sampai ke Jakarta. Arya terlihat membolak balikkan majalah. Sedangkan Bryan sedang berbicara dengan Arjoona di ponselnya sambil sesekali melihat awan.
"Iya... aku sama Arya sekarang."
"Kalian akan menghubungi Jayden kan? Dia sedang di Jakarta sekarang... sepertinya baru bisa balik ke New York habis tahun baru nanti," ujar Arjoona dari balik ponselnya. Bryan kemudian melirik pada Arya yang masih membolakbalikkna majalah.
"Aku selesaikan masalah di Jakarta dulu baru aku hubungi Jayden. Nanti kalau semuanya beres aku akan temui dia. Dia tinggal dimana?"
"Nanti aku minta alamatnya, dia gak dirumah Lin."
"Aku mengerti... sampai jumpa, Joona."
"Hati-hati, Bryan... sampaikan salamku sama Arya!"
"Yup..." ponsel itu pun dimatikan oleh Bryan yang masih mendengus melihat Arya seperti sedang emosi.
"Lo kenapa Arya, ada kerjaan yang belum selesai?" tanya Bryan. Sudah tiga hari ia melihat sahabatnya tidak secerah biasanya.
"Gak ada Bry, gua cuma capek, gua kurang tidur" jawab Arya tanpa melihat ke Bryan. Arya terlihat sangat tampan dengan ripped sweater maroon, jaket hitam dan celana jeans hitam. Rambut coklat gelap pendek dan rapi. Terlihat bersih dan maskulin. Sementara Bryan memakai kemeja hitam dengan jas fit hitam dan celana dark grey. Rambutnya coklat hazelnya yang agak gondrong dibiarkan sedikit acak dan wivey. Bryan lebih terlihat seperti CEO yang tampil di sampul majalah pria, player, hot dan seksi.
"Udah berapa lama kita kenal, come on man, there must be something!" Arya menarik nafas panjang, menyandarkan lehernya lalu memandang ke Bryan.
"Gak tau, gue ngerasa bersalah sekaligus marah!"
"Tentang apa?"
"Tentang gue!" Bryan mengernyitkan keningnya tanda tidak mengerti.
"Gue ditipu!" sambung Arya lagi
"Sama?"
"Mily!"
"Siapa Mily!"
"Cewek yang tidur sama gue beberapa minggu lalu."
"Gue gak mengerti. Lo sedang pacaran ya?" Arya menggelengkan kepalanya.
"Bukan, Bukan itu. Gue pikir dia single setidaknya itu yang dia akuin ke gue, tapi ternyata dia uda punya tunangan."
"Jadi lo udah tidur sama calon istri orang lain? Keren!" sahut Bryan dengan mata terbuka lebih lebar. Arya hanya mengangguk kesal.
"ah Arya, minimal lo beruntung, dia bukan istri orang!" sambung Bryan lagi. Pandangan Arya langsung berubah dan Bryan malah menertawakan ekspresi Arya.
"Gak usah terlalu dipikirin Arya, itu kan cuma kencan semalam, kadang ada bagusnya kita gak perlu mengingat nama-nama mereka." Arya hanya mengangkat bahunya.
"Atau jangan jangan lo punya perasaan sama dia?" tanya Bryan lagi.
"No, I don't think so, gue cuma gak mau berkencan dengan wanita yang sudah punya orang lain, gue gak mau jadi penyebab orang lain putus."
"Gue ngerti, tapi harusnya itu gak mempengaruhi lo. Kalian sepakat hanya berteman kan?"
"Gua bahkan udah memutuskan hubungan pertemanan sama dia, nomernya juga udah gua hapus!" Arya menjawab sambil menarik napas dan melihat ke luar jendela. Bryan tidak menjawab hanya merasa heran dengan sikap Arya. Tidak biasanya dia seresah ini karena perempuan. Arya termasuk laki laki paling tenang menghadapi wanita yang pernah Bryan kenal. Dia tidak pernah membiarkan perasaannya mempengaruhi mood ataupun pekerjaannya. Tapi kali ini ada yang aneh dengan Arya.
"Gua mau tidur, ntar pas makan malam bangunin gue!" ujar Arya sambil membaringkan kursi dan menarik selimut.
"Alah, kayak bisa tidur aja lo!" balas Bryan. Arya hanya tersenyum.
"Kalo gua gak tidur, gua gak punya kesempatan tidur nanti. Lo tau adik-adik gue berisiknya kayak apa, gue bisa jetlag berhari hari!"
Bryan hanya tersenyum, ia pun membaringkan kursi dan ikut beristirahat. Perjalanan masih panjang.