"Kalau superhero, yang paling kamu suka apa?" Tanya Amira.
"Mmm...Thor mungkin?" Jawab Satria.
"Kenapa Thor!?"
"Karna kalo Thorabika, itu merk kopi hehe."
"Ahahaha apaan sih kamu, Absurd gitu."
Amira pun menghampiri Satria lebih dekat. mereka yang saat itu sedang duduk berhadapan di teras, kini duduk saling bersamping-sampingan. Amira pun menyederkan kepalanya pada bahu Satria dan mulai bertanya tentang sesuatu.
"Sat, kalau ada penjahat yang tiba-tiba datang di hadapan kamu, siapa yang pertama kali bakal kamu selamatin?"
"Ya kalo ada penjahat, aku akan berusaha lawan, supaya aku bisa selamatin semua yang aku sayang."
"Kalau kamu kalah dan harus milih salah satu dari beberapa orang yang kamu sayang, kamu pilih siapa?"
"Aku gak akan kalah, kalaupun aku kalah, aku bakal berusaha sampai mungkin aku mati."
"Kenapa kamu milih mati!? sedangkan, kamu bisa tetap hidup plus bisa nyelamatin seenggaknya salah satu dari orang yang kamu sayang!?"
"Bagi aku, setidaknya aku udah berusaha selamatin mereka semua. Aku gak bisa buat milih mana orang yang paling aku sayang, karna sayang itu gak ada kadarnya. Jadi, aku lebih baik mati karna mencoba daripada aku hidup tapi dengan penyesalan."
Mendengar Satria berkata demikian, Amira pun tersenyum seraya memeluk erat tubuh Satria. Ketika itu, Satria dapat merasakan cinta yang mengalir disetiap hangatnya peluk Amira. Namun, peluknya kini tinggal kenangan. hatinya tidak untuk Satria lagi, mungkin untuk selamanya.
°°°
Minggu sore itu, angin bertiup, Rintik hujan turun perlahan, menimbulkan suara khas dari material plastik yang tertetes oleh air. Suara tersebut semakin keras seiring dengan derasnya hujan menerpa. Sama seperti suara-suara di fikiran Satria yang memaksanya menerima kenyataan ketika Amira semakin hari makin berubah. Ia benar-benar menunjukan kepada Satria bahwasannya ia memang tak mencintai dirinya lagi. Amira sudah tak memperdulikan apapun yang terjadi kepada Satria. Ia seperti orang yang tak pernah Satria kenal sebelumnya. Sekitar lima hari Amira memblock kontak whatsapp Satria, hingga akhirnya ia pun kembali me-unblocknya. Masih belum jelas kenapa, namun ketika Satria menyadari bahwa Amira sudah me - unblock kontak whatsappnya, ia pun langsung mencoba menelepon dan mengechat Amira. Meskipun Teleponnya tak pernah dijawab oleh Amira, namun setiap pagi Satria masih menyapanya seperti biasa, dengan Ucapan yang sama, rasa yang sama, dan ketulusan yang masih sama.
Respon Amira kepada Satria semakin tipis. Tak ada keistimewaan dari kata-katanya, tak ada lagi terima kasih, ataupun ucapan lembut yang bisa Satria dengar lagi di setiap paginya. Hidup Satria kini seperti mimpi, ia jatuh ke alam dimana dirinya gak akan pernah bisa hidup bahagia. Entah sudah berapa kali minuman berkarbonasi itu Ditenggaknya, didampingi dengan sepiring mie instan yang kini menjadi makanan pokoknya setiap hari. Tiada hari bagi Satria untuk tersenyum semenjak hari itu. Ada kala dimana Amira membuat Satria semakin sedih, dan itu adalah ketika Amira kembali berkata,
"Hati gue bukan buat lo lagi, hati gabisa dipaksa sat, sorry."
Kalimat itu selalu timbul acap kali Satria menyatakan bahwa ia masih mencintai Amira dan ingin melanjutkan hubungan dengannya. Ketika itu juga Satria makin merasa bahwa arti kehadiran dari dirinya di bumi ini sudah berkurang. hatinya hancur, ia juga kehilangan lenteranya, serta semua alasan dan tujuannya
untuk tetap hidup di bumi. sudah berbagai cara Satria lakukan untuk bisa melupakan Amira, mulai dari cara lembut hingga dengan menyakiti dirinya sendiri untuk memastikan apakah ia masih memiliki rasa. Kenyataannya, perasaan itu masih ada. Difikiran Satria, ia terus bertanya tanya mengapa Amira bisa semudah itu melupakan dirinya. Mungkin hari itu Amira sudah tau kalau semua ini akan terjadi, Hari dimana ia menangis dan berkata persis di hadapan Satria,
"Kamu harus bisa sat hidup tanpa aku, harus bisa!"
Kalimat tersebut pun terus terngiang di fikiran Satria. Bisingnya suara hujan di luar tak terhiraukan olehnya yang sudah berhari-hari mengurung diri di kamar setiap sepulang sekolah. Terkadang, Satria tak benar-benar berangkat ke sekolah, ia justru nongkrong di warteg Lia, bersama dengan Abyan dan teman-temannya.
Tak terasa sudah dua minggu Satria dan Amira putus, namun kenangan tentang Amira masih tersimpan erat di memori Satria. lain dengan Amira, ia jadi lebih cuek dan berubah drastis. Bagi Satria, akan seperti ada yang kurang dari dirinya jika ia tak menanyakan kabar Amira meskipun hanya sehari. Terlepas dari Satria yang masih mencoba menjadi baik dan peduli kepada Amira, ada sosok lain yang justru di kagumi oleh Amira dan sangat disukainya. Hal tersebut diketahui Satria ketika beberapa kali Amira membalas pesan Satria hanya untuk menceritakan pria lain yang di kaguminya itu. Amira sebenarnya tahu betul jikalau Satria hanya ingin mengobrol seperti sedia kala. Ia juga tahu kalau Satria masih menyayangi nya. Tapi, dengan kejam nya, dia justru membalas pesan Satria dengan maksud lain. Fikiran Satria pun makin kacau dibuatnya, karna itu juga Satria pun makin sering bolos sekolah. Cobaan demi cobaan juga terus datang dalam hidup Satria, salah satunya adalah bisnis Fotocopy nya yang terus mengalami defisit. Ketika keuangan Satria terus tergerus karna defisit anggaran belanja, disaat itu juga cobaan bertambah dengan rusaknya mesin fotocopy yang menjadi alat utama dalam bisnis fotocopy. Keluarga kecil Satria pun dalam ancaman hutang demi untuk mengatasi defisit anggaran belanja toko dan juga untuk memperbaiki mesin fotocopy.
Setelah dua hari toko tutup karna rusaknya mesin fotocopy, hari itu, senin 9 Juli 2019 Satria kembali dapat melihat toko fotocopy nya kembali buka dengan mesin yang sudah di perbaiki. Hari itu Satria belum tahu darimana Ayahnya mendapatkan uang untuk memperbaiki mesin fotocopy. Ia fikir Ayahnya mungkin berhutang kepada temannya, namun ternyata tidak demikian.
Tujuh hari berlalu sejak mesin fotocopy sudah di perbaiki, Satria seperti biasa dengan rutin menabung dari hasil menyisihkan uang jajannya selama seminggu. Nantinya, uang tersebut akan digunakan untuk berlibur ke bali bersama MAST selepas lulus sekolah. Ia pun memasukan uang kedalam celengan berbentuk tabung yang ia taruh di kamarnya. Namun, ia merasa seperti ada kejanggalan ketika ia mengangkat dan menyentuh celengan kesayangannya itu. Celengan yang ia genggam tersebut terasa lebih ringan dan nampak sedikit berbeda dari corak warnanya. Seketika terbelisit di otak Satria bahwa Ibuny yang membongkar celangan tersebut. Ia pun bergegas menghampiri Ibu untuk menanyakannya.
"Bu!!! Ibu ngambil uang celengan aku gak!?" Tanya Satria dengan nada tinggi dan wajah panik.
"Ha!? Celengan!? Engga kok! Buat apa juga ibu ambil. Emang celengan kamu kenapa!? Kamu baru pulang sekolah udah langsung teriak-teriak gtu!?"
"Celenganku bu!!! Ringan!!! Udah gitu keliatannya lain, coba deh liat!"
Satria pun menunjukan celengan itu kepada Ibunya.
"Beda kan bu!? Lain kan!?"
"Iya sih, beda, udah gitu ini enteng banget, padahal harusnya lebih berat!"
"Buuu!!! ini pasti Ayah bu!!!"
Melihat respon Satria yang panik, Ibu pun langsung bergegas untuk menghampi Ayah di toko dan menanyakan hal tersebut.
"Mas!!! Kamu buka celengan Satria ya!?" Tanya Ibu membentak.
"Emang kenapa!?" Jawab Ayah.
"Kamu buka gak!!!??? Jujur!"
"Ya kalaupun aku buka celengan dia emang kenapa!? Lagipula itu juga di pake buat benerin mesin kan!? Daripada aku ngutang ke orang, ya malu lah!!!"
"Kamu tuh ya!!! Mikirin diri sendiri!!! Kamu tu cuma mikirin malu!? Tapi Perasaan anak mu gak difikirin!"
Air mata ibu pun perlahan turun. Ia pun memalingkan hadapannya dari Suaminya itu dan hendak bergegas kembali ke rumah. Namun, Di sela sela itu, langkahnya sempat terhenti.
"Bilangin anakmu, gausah nangis!!! Uang yang ia tabung juga uang dari aku! Masih mending aku gak ambil semua isinya, kalau aku serakah untukku sendiri, pasti aku ambil semua." Ujar Ayah berteriak.
Mendengar hal tersebut, air mata ibu pun kini semakin deras mengalir. Langkahnya yang sempat terhenti pun ia lanjutkan hingga sampa ke rumah. Sesampainya di rumah, Ibu melihat Satria dengan wajah lesunya mengumpulkan gulungan uang dari dalam celengannya. Satria memutuskan untuk memecahkan celengan itu dan menghitung uang di dalamnya. Lembar demi lembar uang pecahan lima ribu yang berserakan dilantai di kumpulkan oleh Satria. Satria sempat menoleh ke arah ibunya yang baru disadarinya sudah kembali dari toko. Wajah ibu ketika itu merah, dan air matanya pun berlinang. Satria pun menghampiri ibu untuk menanyakan tentang celengannya. Ibu pun memberitahu Satria bahwa memang ayahnya yang membongkar celengan miliknya, mengambil 3/4 uang di dalamnya dan menukar celengannya dengan model yang serupa. Ibu juga memberitahu tentang kata-kata Ayahnya kepada Satria. Mengetahui hal tersebut, Satria pun sangat marah dan emosional. Sejak saat itu, hubungan Satria dengan Ayahnya pun merenggang. Ayahnya sudah tak menganggap Satria sebagai anak, begitu juga Satria, yang sudah tak ingin bicara apapun lagi dengan Ayahnya. Satria nampak sungguh kecewa dengan apa yang di lakukan oleh Ayahnya. Masalah yang dihadapi Satria amat banyak, membuat dirinya makin merasakan stres yang luar biasa. Sekitar lima hari berturut turut ia bolos sekolah. Alasan darinya adalah karna tumpukan masalah yang dihadapinya, membuat ia tak fokus dalam setiap pelajaran.
Jumat, 21 Juli 2019, Ketika Satria dan Abyan memutuskan untuk bolos dan nongkrong di warkop Lia, tiba- tiba datang salah satu teman Satria. Namanya rafi, ia tiba-tiba duduk di samping Satria yang sedang menundukan kepala seraya mengacak-ngacak rambutnya.
"Bu!!! Kopi Satu!" Ujar Rafi memesan minuman.
"Bro!"
*Satria terkejut dan mengangkat kepalanya.
"Eh fi, ada elu! Ngapain lu disini!? bolos!?" Tanya Satria.
"Iya, mager gua pelajaran hari Jumat."
"Hahaha emang!!! Makanya gua sama Abyan bolos. Tapi, kalo gue udah dari minggu lalu sih."
"Ummm, lo katanya ada masalah? Toko lu ya!?" Tanya Rafi.
"Ah engga, gak papa, kata siapa lu!?" Ujar Satria dengan mata melotot kearah Abyan.
*Abyan menggelengkan kepala.
"Engga kok, bukan Abyan yang ngasih tau gue, gue tau sendiri."
"Hmmm gitu, entah dari siapa lo tau, tapi...iya, gue lagi ada masalah di toko gue."
"Hmmm berarti bener ya. Ohya, gue kesini mau sekalian ngasih lo sesuatu."
*Rafi mengeluarkan amplop dari tas nya.
"Nih Sat, gue ada sedikit rezeki buat lo. Semoga bermanfaat." Ujar Rafi seraya mengulurkan amplop di tangannya.
"I...ini apaan fi!?"
"Udehh terima aja, jangan nolak, ini dari gue."
"Fi, gue, gue gatau harus terimakasih kayak gimana ke lo, gue gaenak banget repotin lo"
"Udeh selow, gue cuma bantu sedikit kok. Gue harap itu bisa bermanfaat ya sat."
*Satria mengangguk
Satria pun memeluk Rafi dan kembali mengucapkan terimakasih. Rafi, Abyan dan Satria pun kembali mengobrol seperti biasa hingga jam pulang sekolah. Satria amat beruntung memiliki teman-teman yang mau membantunya ketika ia susah. Abyan misalnya, setiap pagi ia rela menjemput Satria di depan rumah untuk berangkat bareng ke sekolah. Sedangkan Rafi, ternyata kebaikannya tak berhenti di situ. Ia setiap minggu selalu memberi Satria uang jajan sekaligus melunasi SPP Satria selama satu tahun dan biaya sekolah lainnya seperti tagihan pribadi siswa. Satria sempat menolak bantuan dari Rafi karna ia tak ingin merepotkan orang lain. Namun, Rafi tahu Satria memang dalam kesusahan. Oleh karna itu, ia memaksa untuk tetap membantu Satria secara Finansial. Satria yang ketika itu memang tak mampu membayar semua tagihan sekolah, sangat berterima kasih kepada Rafi yang mau membantunya. Satria hanya bisa berharap dan berdoa agar Rafi mendapatkan timbal balik dari kebaikannya itu.
Tiga hari berselang sejak Satria, Abyan dan Rafi cabut sekolah bersama ke warkop Lia. Kini, Satria sudah tahu siapa yang memberitahu Rafi tentang kondisinya. Namanya Fadil, ia adalah teman SMP Satria yang sudah dikenalnya sejak kelas sebelas. Mereka berdua sangat akrab, sama seperti Satria dan Abyan. Satria bisa dengan mudah curhat dan bercerita apapun kepadanya. Ketika jam istirahat pertama, Satria pun menghampiri Fadil yang ketika itu sedang makan nasi goreng di kantin.
"Dil, gua mau ngobrol dong!" Ujar Satria.
"Ape ah, gua lagi makan!"
"Oh yaudah sambilan makan aja kita."
*Satria pun memesan satu porsi nasi goreng.
"Dil, nih kan kita udah sama-sama lagi makan. Nah, ada yang mau gue tanyain ke lo."
"Kenapa? Serius amat!? Tumben lu serius."
"Ehehehe, gue mau nanya, lo yang ngasih tau rafi tentang masalah gue ya?"
"Iya, kenapa!?"
"Umm gapapa, Gue cuma mau makasih aja."
"Makasih kenapa?"
"Ummm gak papa, intinya gue makasih ya dil!"
"Oh gue paham. Ohya, kan lu sekolah tinggal sekolah nih, semua biaya udah di lunasin rafi. Nah, gue harap gue bisa liat Satria yang dulu, Satria yang lawak, bukan yang kayak sekarang."
"Iya Dil, gue usahain. Makasih banyak yaaa!!! Sayang deh ama lu!!!"
*Satria memeluk Fadil.
"Eh!!! Anying!!! Gue baek, tapi bukan berarti homo bangsad!!!!"
Selepas beberapa detik Satria memeluk Fadil dan Fadil menyikut Satria, Abyan pun datang menghampiri. Mereka bertiga pun mengobrol menghabiskan waktu istirahat pertama seraya menyendok suap demi suap nasi goreng ibu kantin. Hari itu, Satria perlahan sadar, bahwa ia masih memiliki teman yang mau menganggapnya. Kini, Satria dapat kembali tertawa lepas hanya dengan bersenda gurau bersama teman-temannya, sekaligus ditemani Kopi panas di sore hari setiap sepulang sekolah.
"End of this part"