"Uang nya belum cukup Bu."
"Ohh yaudah, sebentar ku tanya Satria dulu dia ada uang apa engga."
*ibu pun menuju kamar Satria untuk membangunkannya.
"Nak, Nak bangun..."
"Ummmhhh, iya? Kenapa bu?" Tanya Satria seraya masih memeluk gulingnya.
"Nak, kamu ada uang gak? Buat nambahin beli beras sama telur."
*Satria terkejut, ia langsung terbangun dari tidurnya secara total.
"Ha!? Emang Ayah udah gak ada uang dari toko!?"
"Bukannya gak ada, tapi takutnya gak cukup buat bayar sewa ruko."
"Hmmm gitu. Ohya, kenapa gak minjem dulu aja ke Pakde!? kan pakde ada toko sembako besar?"
"Bukannya gitu, tapi kemarin aja Ibu kesana, Malah di usir, di suruh pulang."
"Hmmm gitu. Padahal, kita cuma mau minjem ya Bu, bukannya minta. Kok bisa ya saudara kita begitu semua sekarang!? Mereka pergi gitu aja pas kita lagi susah begini. Dulu mereka baik, ramah pula sama kita."
"Sudah, gausah di masukin hati. Gak papah mereka pergi dari kita sekarang, maafin aja. Ibu fikir, Lebih bagus kalau kamu bisa jadi orang sukses nantinya, terus kamu bantu saudara kamu yang lagi kesusahan, jadi contoh buat saudara yang lain supaya mereka bisa lihat orang kayak kita bukan dari mata mereka aja, tapi dari mata hati mereka."
"Hmmm iya Bu. Ohya, tadi ibu nanya uang yah? Itu, di tas aku bu, ada sisa uang dari Rafi, pake aja, buat makan bareng-bareng juga."
Ibu pun mengambil uang tersebut dan bergegas pergi ke warung. Ibu Satria adalah wanita yang paling pandai menyembunyikan kesedihan di depan Anaknya. Sepanjang jalan menuju warung, di setiap langkahnya ia meneteskan air mata, tetes demi tetes. Ia sungguh tak menyangka akan hidup dengan kondisi seperti ini.
°°°
Pagi menyingsing, Matahari masih terbit dari timur dan telah berwarna kekuningan. Bekas hujan kemarin malam masih terasa lewat suhu udara yang dingin. Mata Satria mulai menyala, namun tangannya masih meraba mencari keberadaan handphonenya. Berbicara tentang handphone, tiga hari yang lalu handphone Satria rusak, Terpaksa ia harus menggunakan handphone cina butut bekas Ibunya yang hanya mampu menampung satu aplikasi.
Hari ini adalah hari selasa, tanggal 31 desember 2019. Nanti malam adalah malam tahun baru, dan Mast sudah merencakan acara bakar-bakar di rumah Thomas. Satria pun berlalu dari pandangannya terhadap kalender lalu bergegas untuk sarapan pagi. Seperti biasa, ibu sudah siap dengan sepiring nasi untuk dimakan berdua dengan adik Satria yang pertama. Disebelahnya, terdapat satu panci kecil berisi nasi panas yang baru matang dari kompor.
"Bu, hari ini uang Ayah cukup!?" Tanya Satria.
"Iya cukup, lumayan bisa makan telur dadar hari ini."
"Widih, pasti adek suka nih."
"Iya, tau sendiri adek mu kalo makan telur dadar pasti abis."
"Iya ehehehe. Yaudah, Satria mau ambil nasi dulu."
Satria pun bergegas untuk mengambil nasi panas yang ada di panci beserta telur dadar yang menjadi lauk makan pagi itu. Entah harus dengan cara apa, nasi di panci itu harus cukup hingga makan malam nanti. Beruntung malam ini Satria tak ada rumah, jadi Ibu dan adiknya tak perlu harus berbagi nasi lagi dengannya. Selepas makan, Satria pun kembali ke kamarnya untuk rebahan santai sembari mengenakan sarung kotak-kotak berwarna hitam. Ia pun mulai menunggu akan datangnya jam sepuluh siang, mengingat ia harus kerumah Thomas untuk membantu menyiapkan bahan-bahan untuk bakar-bakar. Tak lama, kabar datang dari maskur yang masih memiliki jam magang dan tak bisa datang sedari siang. Mereka pun memaklumi dan tak mempermasalahkannya. Beberapa menit kemudian Abyan menelepon Satria, rupanya ia menyuruh Sartria untuk bergegas kerumahnya menjemput sekaligus membantu membawa panggangan serta ayam ungkep untuk di bakar malam nanti. Satria pun langsung beranjak dari kasurnya dan bersiap-siap berangkat.
Setelah menjemput Abyan dari rumahnya, Satria dan Abyan pun langsung bergegas menuju rumah Thomas menggunakan motor butut milik Satria. Beberapa menit perjalanan, mereka berdua pun sampai dan langsung disambut oleh Thomas yang juga ikut membantu membawakan barang bawaan Abyan. Ketika itu jam masih menunjukan pukul dua belas siang, mereka bertiga pun menyiap-nyiapkan bahan hingga pukul dua sore. Sembari menunggu Maskur datang, Mereka bertiga memilih unfuk bermain layangan hingga adzan Maghrib. Setelah semua sudah siap dan matahari telah tenggelam sempurna, masih belum ada tanda-tanda Maskur akan datang. Kondisi di perparah dengan hujan lebat yang tiba-tiba mengguyur. Mereka bertiga pun makin khawatir apakah Maskur akan datang atau tidak. Setelah beberapa menit menunggu, ternyata hujan pun reda,
Namun maskur masih belum bisa untuk di telepon. Satria, Abyan dan Thomas pun memutuskan untuk mencari warkop 24 jam di sekitaran Depok timur sembari menunggu kabar dari Maskur. Mereka bertiga menaiki motor dengan cara boti, alias bonceng tiga menggunakan motor verzha milik Thomas. Posisi mereka ketika itu adalah, Thomas sebagai rider, Abyan di tengah dan satria di belakang. Dikarnakan Push step motor yang terbatas, terpaksa kaki Abyan pun harus naik ke tangki motor. Dengan santainya ia pun bersandar ke tubuh Satria dengan kedua kaki yang ada persis di tangki motor depan. Tak ayal, posisi nge-ride mereka bertiga pun mengundang perhatian orang banyak di jalan. Ada yang memfoto, ada juga yang malah negor, dan ada juga yang justru ikut-ikutan. Sesampainya di warkop, Mereka bertiga pun menghangatkan diri dengan memesan semangkuk indomie dan secangkir kopi panas. Setelah beberapa menit nongkrong di warkop, mereka bertiga pun memutuskan untuk kembali ke rumah Thomas dan memulai acara. Setibanya disana, ternyata maskur sudah sampai dan tengah duduk di kursi tamu dengan rambut basah dan baju setengah lepek.
"Baru sampe?" tanya Thomas.
"Baru sih, udah langsung aja mulai udah basah gini gua!" jawab maskur.
Tanpa basa basi lagi, mereka berempat pun memulai pesta bakar-bakar malam tahun baru bersama. Malam itu rintik hujan masih mengguyur, namun tak mengurungkan niat mereka untuk bakar-bakar dikarnakan rumah Thomas yang memiliki kanopi di area lantai dua rumahnya. Ditemani oleh gemuruhnya suara petasan dan kembang api yang sahut menyahut, makin menambah keseruan malam itu. semua wajah disini gembira, termasuk Satria. Masalah eknomi yang sedang dihadapinya, dapat dengan mudah terlupakan oleh tawa dari Ketiga sahabatnya itu. Wajah itu, wajah yang sering menyembunyikan kepedihan, kini sungguh benar-benar tersenyum lepas. Entah, hanya mereka yang kini bisa benar-benar Satria harapkan Dapat menemaninya. Malam itu sungguh meriah, mereka berempat membuat video bersama, bermain gitar, cover lagu, dan tentunya bakar-bakar Ayam. Ditengah bisingnya suara petasan dan tawa dari Mast, Satria pun memanjakan doa. Ia mendoakan ketiga sahabatnya itu, ia mendoakan keluarganya serta semua orang yang disayangnya. Namun, ketika doa dipanjatkan, kembali terselip nama Amira di dalamnya. Seketika ia pun membuat sebuah tulisan singkat yang ia tulis malam itu juga.
Assalamualaikum. maaf kalau aku ganggu kamu, Aku cuma mau ngucapin happy new year untukmu. Dan, makasih juga dari aku atas semua yang udah kamu beri buat aku. Aku sangat minta maaf atas semua salah yang pernah aku buat ke kamu. Ku harap, di tahun ini kamu berhasil capai semua target mu dan mencapai kesuksesan kedepannya. Disini, aku mau jujur. Aku, hingga saat ini belum mampu buat lupa begitu aja atas semua kenangan kita yang dulu. Diriku benar-benar Memaksa hatiku buat gak lagi nanya kabar kamu dan ngobrol di chat seperti biasanya. Aku sadar hati kamu udah bukan untuk Aku. maaf ya, maaf atas segalanya. mungkin kamu akan jadi wanita terbaik yang mampu membuatku merasa bahagia ketika hidup di dunia yang kejam ini dengan jutaan alasan. Mungkin juga, Aku taakan mampu untuk membenci mu, mampuku hanya menyayangimu. Ku harap kamu bisa terus bahagia. Ohya, kalau kamu butuh bantuan apapun, kamu bisa kok minta tolong ke aku, dengan senang hati akan ku bantu semampuku.
Terimakasih dan maaf dari ku.
salam hangat, satria.
Surat pendek itupun langsung Satria masukan kedalam tas nya. Ia berniat akan mengirimnya melalui pos. Tak seperti Biasanya, ketika menulis surat untuk Amira, Satria selalu butuh berlembar-lembar kertas demi terciptanya surat dengan kata-kata terbaik didalamnya. Namun, kali ini ia hanya butuh satu lembar kertas untuk menulis sebuah surat ucapan kepada Amira, dimana kali ini hatinya lah yang berbicara. Disamping itu, nampaknya inilah surat terpedih yang pernah Satria kirim.
"End of this part"