"Permisi, atas nama Amira ya!?" Ujar Satria menghampiri dengan sepeda motornya.
"Iya mas, atas nama Satria ya!?" Balas Amira seraya tersenyum.
*Satria pun tersenyum seraya mencubit pipi Amira.
"Yaudah Mir Ayu naik."
"Okey abang!"
°°°
Hari terus berlalu, matahari masih memancarkan cahayanya dan masih terbit dari timur. Semua nampak normal, begitu juga dengan hubungan Satria dan Amira. Mereka mengobrol, bertukar cerita, telfonan dan bertemu. Hari itu Satria dan Amira sedang mengobrol seperti biasa. Namun, Ditengah-tengah obrolan mulai terlihat gelagat yang menimbulkan rasa penasaran. Amira seperti ingin mengungkapkan sesuatu yang sangat sulit diucap oleh bibirnya. Sudah Belasan menit tak ada satupun kata yang terucap dari bibir Amira. Dirinya nampak gelisah, wajahnya pun sedikit pucat. Hingga akhirnya, Amira pun mulai berbicara tentang sesuatu. Ia membicarakan tentang Dean, tentang hatinya, dan tentang perasaannya ketika itu. Amira jujur tentang semuanya, termasuk tentang dirinya yang pernah duduk semeja dengan Dean, dirinya yang memang dekat dengan Dean, dan juga dirinya yang sering curhat ke Dean. Amira pun berani berbicara tentang Dean yang pernah menyatakan cinta kepadanya. Satria yang sama sekali tak tahu apa-apa tentang hubungan Amira dan Dean nampak syok. Yang Satria tahu ketika itu hanyalah tentang Amira yang sudah berhasil menjauh dari Dean dan mengembalikan kepercayaannya. Amira juga membicarakan Alasan dirinya menolak Dean. Ketika itu Amira sadar bahwa dirinya masih dalam genggaman Satria. Ia juga bilang bahwa dirinya hanya menyayangi Satria, dan hanya memiliki rasa kepadanya, tidak kepada Dean. Namun, Amira mengakui bahwa dirinya kagum dan salut dengan sikap, attitude dan sifat Dean. Dia juga jujur tentang perasaannya yang terluka karna Satria. Mendengar pengakuan tersebut langsung dari bibir Amira, Satria pun sama sekali tak marah. Ia justru bahagia setelah mengetahui semuanya. Satria amat bersyukur, karna akhirnya Amira mampu berkata jujur tentang semua yang ia rasakan.
"Hati ini udah tenang Mir. Aku udah
tau salahku dimana, aku juga udah tau kalau memang hati kamu bukan untuk dia. Hati kamu masih disini untuk aku, makasih ya Mir!" Ucap Satria.
Amira pun hanya membalas dengan
senyum. Hatinya nampak bimbang, fikirannya melayang cukup jauh. Angin sore yang berhembus, serta oranye nya matahari menjadi penanda bahwa Satria harus pulang ke rumah.
Sesampainya di rumah, Satria langsung menelepon Amira untuk membahas kejujurannya tentang Dean.
"Halo!? Sayang!? Mir?" Sapa Satria.
"Iya halo, udah sampe rumah!?" Tanya Amira.
"Udah kok."
"Okey."
*Sunyi beberapa Saat.
"Ummm, ohya, Mir, makasih ya udah mau jujur. aku harap dengan semua ini dan sampai seterusnya, hubungan kita bakal baik-baik aja."
"Iyap, Amin!!!"
Malam itu menjadi malam yang melelahkan bagi Satria setelah seharian beraktivitas. Namun, dirinya bahagia karna kini, semua sudah jelas. Ia sudah tak khawatir atapun penasaran lagi tentang siapa sebenarnya Dean. Malam itu pun mengukir senyuman di bibir Satria. Sejak saat itu juga, ia mulai berjanji kepada dirinya sendiri jikalau ia tak akan bedebat, atau mempermasalahkan sesuatu apapun lagi kepada Amira. Tidurnya pun seketika nyenyak malam itu, untuk kesekian kalinya, dengan tulus Satria berkata di dalam hatinya sebelum tidur,
"aku sayang Amira ya tuhan, tolong jaga dia, jangan biarkan dia pergi."
Doa tersebut pun menutup malam itu, diiringi dengan kelopak mata yang mulai perlahan memejam.
Pagi menyingsing. Hari itu, 29 Juni 2019, sang surya tampak berbeda dari hari-hari biasanya. Ia nampak Lebih cerah, lebih indah, lebih berwarna. Namun tanpa disangka, hari itu adalah hari yang akan mengubah struktur hidup dan sifat daripada seorang Satria. Delapan lewat lima belas menit, handphone Satria berdering cukup kencang. Ketika itu ia sedang merapihkan kamarnya, Seraya mengangkat guling dan bantal Satria pun mengangkat telepon.
"Halo, siapa ya!?"
"Ini aku, Amira."
"Ohhh Amira, Amira yang kalo senyum bisa bikin orang diabetes melitus bukan sih?"
*Amira terdiam.
"Ehehehe, humor pagi emang suka garing Mir, sorry ya." Ujar Satria.
"Aku mau bicara serius sama kamu. Aku mau jujur, kalo, sebenarnya aku belum siap pacaran."
"Ha!? Maskudnya!?" Tanya Satria keheranan.
"Iya, kayak yang aku bilang tadi, aku belum siap pacaran. Aku juga sebenarnya gak boleh pacaran sama Ayahku!!!" Jawab Amira dengan nada tinggi.
"Ha!? Ahahahaha."
"Kenapa ketawa!?"
"A...abisnya kamu lucu Mir. Pagi-pagi ngeprank aku pake alasan yang gak logis, Sumpah aku ngakak."
"Aku serius Sat. Aku rasa kita emang gak cocok. Aku belum siap buat pacaran dan ngelakuin hal begitu, Aku juga gak boleh pacaran!!!"
Satria pun terdiam beberapa saat. Ia yang tadinya sedang berdiri seraya mengelap kaca kamar, langsung menghampiri ranjang dan duduk.
"Ta...tapi Mir, Ayahmu kenal sama aku, dia baik, dia juga tau kalau aku sering ke rumah mu. Ayahmu juga beberapa kali melihat Aku menyentuhmu dan bercanda mesra denganmu. Lalu, kenapa ayahmu gak mengizinkan kamu pacaran, sedangkan ia tahu pacarmu adalah aku!?"
"Fikiran orang berubah sat setiap saat. Aku gak bisa buat lanjutin hubungan kita."
"Tapi kenapa!? Kita udah tiga tahun, apa belum cukup ketika aku sudah menjadikanmu alasan untuk tetap hidup di bumi ini!?"
"Hmmm, maafin aku Sat, aku gak bisa. Kita udah gak cocok lagi. Jadi, aku mohon, mulai sekarang, kamu lupain aku."
*Tutttt (telepon dimatikan)
"Mir, Mir!!! Mir tunggu!!!"
Satria sungguh terkejut atas apa yang barusan Amira katakan kepadanya. Stress pun seketika membayangi dirinya. Sudah sekitar tiga puluh menit sejak ia mengangkat telepon Amira, namun ia masih terus mengacak-ngacak rambutnya seraya mencoba menelepon Amira yang sudah memblock kontak whatsappnya. Satria benar-benar tak mengerti kenapa Amira bisa dengan mudah mengakhiri hubungan yang sudah tiga tahun lebih mereka jalani bersama. Hatinya hancur, ia mengira setelah permasalahan dengan Dean sudah terungkap, maka mereka akan tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik dan hubungan mereka pun semakin erat. Namun ternyata Satria salah, perpisahan kini ada didepan matanya. ucap Amira begitu cepat, hanya membujuk dan memohonlah yang bisa dilakukan olehnya. Bagi Satria, tiga tahun bukanlah waktu yang sebentar. Ia dan Amira sudah melalu banyak hal, baik senang ataupun sedih. Amira sudah seperti insan yang memang dikirim untuk menjaga, menemani dan mengajari Satria banyak hal tentang hidup.
Sudah berjam-jam Satria tak keluar dari kamarnya, Handphone nya pun masih berada di genggaman tangan kanannya, menanti dering dari Amira yang mungkin saja meneleponnya. Namun, hingga malam hendak tiba, Amira masih belum membalas pesan dari Satria ataupun mengangkat teleponnya. Sejak hari itu entah mengapa, setiap matahari menghilang dan kegelapan mulai menutupi pandangan, disitulah kesedihan selalu menghampiri. Biasanya ada Amira yang datang sebagai lentera penerang agar Satria tetap bisa berjalan tanpa menabrak, sekaligus mampu membuatnya tetap yakin kalau masih ada hari esok untuk memperbaiki hari ini ataupun hari-hari sebelumnya. Namun, kini lentera itu hilang, membuat Satria tak bisa melihat dan berjalan lagi ketika malam tiba. Yang bisa dilakukan Satria hanyalah menyelipkan doa untuk Amira setiap malam sebelum ia tidur, seraya berharap agar doa nya tersebut dapat di kabulkan.
"Tuhan, selama diriku tak sedang berada sisi nya dan juga tak bisa mengetahui kabarnya, tolong, tolong jaga dia. Ku harap jikalau memang ini akhir, izinkalah ia beserta semua kenangan tentang dirinya menjadi sesuatu yang bisa dan akan aku ingat ketika aku mati nanti."
"End of this part"