Setelah curahan hati Nathan yang tak sengaja tersalur dengan berlebihan, kini dirinya hanya sanggup menatap langit-langit kamar dengan lamunan. Beberapa pendapat dalam dirinya beradu, ada yang membenarkan dan ada yang seolah menyalahkan. Teriakan kencang dari sudut terdalam hatinya cukup terdengar jelas, "Kau tadi sedang apa? Menangis dan hanya bisa berucap begitu lemah di dekapan seorang pria yang pada dasarnya ingin kau hilangkan? Kau sedang memikirkan apa, saat melakukan itu? Kau cemburu dengan kedekatannya dengan mama mu atau kau sebenarnya merasa terganggu dengan tingkah Max yang bisa saja meluluhkanmu?" batin Nathan.
"Sial!" umpat Nathan yang berteriak begitu keras. Ia lantas terbangun dari keterbaringannya dan mengacak rambut yang sudah sedikit memanjang. Kedua kakinya bahkan ikut mengambil alih kekesalan dengan menendang guling atau pun selimut tebal yang terasa begitu mengganggu. Kemudian kepalanya menunduk dengan mata yang melirik tajam hasil kericuhannya, semuanya berjatuhan di lantai dan terlihat begitu berantakan. "Sial-sial-sial!" umpatnya lagi saat rasa hati yang masih begitu mengganjal akan sesuatu, dan Nathan begitu tak menyukai sudut lain yang menyalahkan tindakannya tadi.
"Hei! Ada apa denganmu?" tanya Tommy dengan suara terkejutnya. Ia yang baru saja pergi ke luar kamar dengan Aki untuk mengambil air minum secara tiba-tiba dikejutkan dengan ruangan Nathan yang sudah sangat berantakan. Tommy dan Aki pun lantas mendekat kearah Nathan yang nampak frustasi dengan tubuh membungkuknya. Pintu itu pun ditutup dengan cepat oleh Aki, jangan sampai mama Nathan melihat anaknya seperti ini, pikirnya.
"Dia terlihat begitu menyeramkan, Tom!" timpal Aki yang berdiri tepat di belakang Tommy. Tubuhnya secara tidak sadar menempel ke tubuh kawan didepannya itu dengan memegang erat ujung baju.
"Sstt! Diamlah!" tegur Tommy dengan berbisik pelan ke Aki. Tommy yang sedang memegang secangkir teh ditangannya pun lantas memfokuskan diri kearah Nathan. Ia memandang dengan prihatin sosok kawannya, meski dilain sisi ia juga tak membenarkan perilakunya terhadap Max.
"Hei, minum teh hangat ini dulu! Setidaknya jangan buat aku malu sebagai seorang tamu, aku makan dengan rakusnya makan dirumahmu, sedangkan kau sebagai tuan rumah, malah sama sekali tak makan! " bujuk Tommy sembari mengelus punggung Nathan. Perlahan ia pun mendekatkan cangkir itu ke arah Nathan yang menunduk dengan rambut yang begitu berantakan.
"Nggak mau…" balas Nathan dengan suara serak seperti habis menangis. Tommy yang mendengarkan itu lantas mengansurkan cangkir teh ke Aki. Tommy kemudian duduk di sebelah Nathan dan merangkulnya.
"Ayolah, kau bahkan sama sekali belum mengisi perutmu sejak pagi!" bujuk Tommy sekali lagi. Ia pun berusaha mengalihkan wajah Nathan yang menunduk, namun usahanya tak membuahkan hasil saat Nathan malah mengelakkan wajahnya dan membuat lengan Tommy menjauh. Tommy pun langsung mengalihkan pandangan ke arah Aki yang terlihat mengerutkan wajah, cemas.
"Nath… setidaknya minumlah teh hangat ini agar perutmu tak terlalu kosong," sambung Aki ikut bantu membujuk Nathan. Lengan kanannya itu pun menyodorkan cangkir ke depan Nathan yang masih tak mau menegakkan tubuhnya.
Prangg
Bunyi cangkir jatuh dan membuatnya menjadi puing-puing kecil bergabung diantara barang-barang porak-poranda lainnya, Nathan menghempasnya. Sedangkan cairan teh itu mengotori selimut yang membuat Aki dan Tommy berpandangan dengan raut penuh keterkejutan. Ini bukan pertama kalinya pertemanan mereka di uji dengan hal yang memacu emosi. Namun ini adalah pertama kalinya Tommy dan Aki menahan keinginan mengumpat dan bertingkah sesuai umur, mereka sudah dewasa.
Sejak masa sekolah mereka banyak mendapatkan ujian kesabaran karena sifat keras kepala dari masing-masing sahabat. Entah karena kejahilan salah satu anggota yang malah membuat kelimanya ikut mendapat hukuman atau karena sifat egois yang begitu keukeuh dan membuat pertengkaran yang menjadi besar. Mereka banyak melalui rintangan dalam hubungan pertemanan meski terkadang hal itu membawa pengaruh jarak untuk mereka yang saat itu masih labil. Saling tidak sapa dan menghindar ketika dalam satu ruang sudah sering mereka alami. Semua tak lantas baik-baik saja hingga waktu yang mempereratkan. Persahabatan mereka sudah sampai ditahap dewasa yang saling mendukung tanpa emosi. Ya, saat ini pun Aki berusaha tak menunjukkan raut keanehan saat mendengar pengakuan cinta dari Max kepada Nathan pagi tadi. Aki sudah cukup paham mencerna kata-kata Max, meski Tommy terus saja mengatakan untuk tidak usah ikut campur.
"Nath! Aku tau kalau kau sedang tak enak hati dan merasa emosi, tapi bisakah kau bertindak dewasa? Jangan ulangi tingkah bodohmu seperti tadi! Bagaimana kalau tangan Aki terluka karena terkena-"
"Apa katamu tadi?" potong Nathan lantas mengangkat pandangan kepada Tommy yang sudah bangkit berdiri dari duduknya. Matanya yang memerah itu cukup menjadi sorotan untuk Tommy dan Aki.
"Tom… ini salahmu, dia marah!" kesal Aki dengan geraman kecilnya. Lengannya lantas mencengkram milik Tommy dengan raut ketakutan. Aki memang payah, ia bukan orang yang bisa menerima tatapan seperti itu, apalagi jika Tommy yang melakukannya.
"Apa katamu tadi, Tom? Aku memang bertingkah bodoh kepada Max, begitu kah?" ucap Nathan saat anggapan orang lain membenarkan suara terkecil di hatinya. Seketika suara kecil itu pun membesar dan berteriak dan kembali menyalahkannya, " Lihatlah! Bahkan kawan mu sendiri juga membenarkan anggapanku. Lagipula bagaimana kau bisa terganggu dan berusaha keras memukul mundur Max jika kau tak menganggap kata-kata Max sungguhan!" batin Nathan.
"Jangan marah, aku memang kawan mu… tapi aku juga kawan Max saat ini," ucap Tommy yang langsung ditanggapi Nathan dengan ekspresi menuntut kejelasan. Tommy pun melanjutkan bicaranya, "Dia memang sedang mengejarmu, ya… seperti yang kau tau, dia tertarik dengamu. Tapi semua itu tak lantas harus membuat mu bertingkah kasarkan, Nath? Aku ingin tau, kau homophobia atau bagaimana?"
"Bu-bukan begitu," balas Nathan yang seketika merasa bersalah, ia sudah bertindak tak adil dengan menyembunyikan jati diri serapat itu bahkan kepada orang-orang terdekatnya.
"Terus bagaimana? Kau merasa bersalah atas tindakan mu pada Max, kan? Apa mau langsung minta maaf biar dia ku hubungi?" timpal Tommy.
"Tidak, biar aku minta maaf secara pribadi saja," balas Nathan yang seketika mendapat pelukan dari Tommy dan Aki.
"Yey! Akhirnya kita bisa langsung lepas dari ketegangan antar kawan tanpa menunggu hari berganti," pekik Aki lantas berpindah tempat dan membaringkan tubuh di hadapan Nathan dengan kedua kaki yang tergantung.
"Ya, syukurlah! Tapi kau harus benar-benar minta maaf padanya loh! Kau tidak tau bagaimana cara berjalan Max yang sungguh memprihatinkan akibat pukulan bertubi mu itu!" ucap Tommy berusaha memastikan. Lagipula Max sudah banyak memberikan bantuan kepadanya, jadi untuk membalas itu Tommy memang harus melibatkan Nathan dan mendorong sahabatnya itu sekuat tenaga.
"Ya…" ucap Nathan pada dirinya sendiri. Ia berusaha menenangkan diri pada sudut hati yang merasa kalah karena niatnya untuk berbaikan dengan Max. Ia berusaha tak menambah masalah hidupnya dengan pertengkaran tidak penting. Ya, harusnya ia tak berlebihan dan membuat masalah baru dengan Max. Ya, ia harus secepat mungkin meminta maaf dan bernegosiasi dengan pria berwajah bule itu!
Dan malam itu pun mereka bertiga tidur bersama dalam satu ranjang setelah sempat membereskan ruangan. Malam yang untuk kedua kali berturut-turut pikiran Nathan penuh mengenai Max. Max yang begini, Max yang begitu… bahkan selama itu juga ia seolah lepas dari bayangan kekasih, Rian.