Setelah sikap gegabah yang di ambil Max waktu itu, Nathan seperti tak menganggapnya ada. Setiap kali Max mendekat, Nathan pasti akan mengambil langkah seribu untuk menjauhinya. Mereka memang masih sering bertemu, Max dengan keluarganya masih rutin mengunjungi rumah baru yang ditempati Nathan dan Mamanya itu. Seiring berjalannya waktu, mama Nathan pun sudah mulai pulih dari lukanya dan terlihat sudah mulai menerima keadaan.
Hari ini juga sebenarnya adalah jadwal Max untuk terbang ke Bali. Max sampai harus membujuk papanya yang begitu disiplin itu untuk menunda jadwal, Max ingin sekali mendampingi Nathan. Saat ini adalah sidang putusan dari perceraian orangtua Nathan.
Max menatap tatapan lesu milik Nathan saat ini, ketuk palu sudah seperti awal kehancuran pria yang berperan sebagai anak itu. Max ingin sekali mendekap tubuh yang masih saja munafik dengan menampilkan raut seolah tak terjadi apa-apa.
Bahkan saat langkah itu mulai meninggalkan tempat pengadilan, Max yang sudah tak bisa membendung perasaannya itu pun menarik Nathan kedalam mobil miliknya.
"Lin, kau beritahu semua jika Nathan saat ini sedang bersamaku,"
Max langsung mematikan ponsel sebelum sempat mendapatkan balasan. Ia melemparkan ponsel mahalnya begitu saja ke bangku belakang.
Menghidupkan mobil, Max langsung menancap gas ke apartementnya, Max ingin melihat Nathan dengan ekspresi yang jujur.
"Mau bawa aku kemana?"
Max menolehkan pandangannya sekilas ke Nathan. Pria itu nampak menghindarinya dengan terus menatap pemandangan di sampingnya.
"Ke tempat pribadi," jawab Max singkat. Ia pun sesekali menatap wajah orang yang dipujanya itu dari samping.
"Tempat pribadi milikmu? Kenapa harus mengajakku?"
Nathan berkata dengan ketus. Pandangan tajam itu kini sepenuhnya mengarah ke Max.
"Nath..."
"Atau kau ingin memanfaatkan keguncangan hatiku ini dengan mencium ku tanpa ijin atau dengan paksaan lagi?"
Max merasa seperti maling yang tertangkap basah, meski begitu ia berusaha tak gentar. Menancap gas lebih cepat, Max ingin segera sampai, ia ingin sekali mendekap tubuh itu dan menenangkannya.
"Sekarang kau bahkan membawa mobil seperti kesetanan. Kenapa, penismu sudah memberontak seperti waktu itu, ya?"
Nathan kini sudah tak bisa mengendalikan emosi, bicaranya pun sudah mulai meninggi. Max pun langsung menepikan mobil dan mendekap Nathan di pelukannya.
"Heh! Lepaskan aku!"
Nathan berusaha memberontak, tangannya pun memukul-mukul bagian tubuh Max yang bisa di jangkau. Setelah usahanya itu tak membuahkan hasil, Nathan pun bertindak pengecut dengan menggigit leher Max yang tak terlindungi kaos itu. Nathan menggigitnya dengan keras, ia merasa begitu kekanak-kanakan saat ini.
"Tidak apa, kau bisa memukul ku. Gigit sekeras yang kau mau, tak apa. Nath... Aku hanya ingin berusaha dekat denganmu, terlepas dari sikapku yang selalu ingin ikut campur, itu karena aku dengan tulus peduli padamu."
Air mata yang sejak tadi ditahannya pun kini mengalir perlahan. Nathan tak bisa melihat dengan jelas karena pelupuk matanya yang masih saja di desak untuk mengeluarkan tanda kesedihannya. Meski begitu ia masih saja menggigit leher Max, ia tak ingin terlihat memalukan dengan suara sesegukan yang dengan kuat ia tahan itu.
"Hei... Bisa kau lepaskan aku sebentar? Kita tak mungkin terus begini dipinggir jalan," bujuk Max dengan suara dalamnya. Mereka sudah di posisi ini sejak beberapa waktu lalu. Jujur saja, Max juga sedikit merasakan perih di leher yang sedang digigit itu.
"Hiks... Ughh..."
Nathan tanpa sengaja merengek, ia menggeleng cepat. Ia masih sangat malu jika Max menatap wajahnya yang penuh air mata dan ingus itu.
"Kau jangan khawatir, aku tak akan menertawakan mu."
Max masih berusaha membujuk, lengan satunya pun kini mengelus surai lembut itu dengan penuh kelembutan.
"Heh! Jangan kau pikir, hiks... Aku sedang butuh pelukan mu ini, ya! Hiks... Aku hanya ingin menggigit lehermu ini sampai, hiks... Putus!"
Nathan mendorong tubuh Max dan langsung mengusap wajahnya dengan punggung tangan. Ia seperti hilang muka saat ini, pasti Max akan menjadikannya bahan tertawaan.
"Bersihkan dengan ini!"
Max menarik lengan Nathan yang sibuk mengucek matanya itu. Menyodorkan sapu tangan bersih yang langsung di tarik Nathan dengan cepat.
"Jangan terlalu keras mengucek mata, nanti akan jadi bengkak."
Mereka pun melanjutkan perjalanan dengan suasana lebih hening. Matahari yang sempat memancar dengan cerah pun kini secara tiba-tiba meredup. Nathan merasa alam seperti menyadari kemendungan hatinya saat ini.
Memasuki kawasan apartement elite, mereka pun naik ke lantai tertinggi gedung itu. Lift terbuka dengan hanya menampilkan ruangan besar yang kosong dan hanya satu pintu yang terlihat.
Nathan sudah tiga kali menginjakkan kaki di tempat ini. Pertama dan kedua ia datang dengan kondisi setengah sadar akibat pengaruh alkohol, tapi Nathan tak pernah menyangka akan ada yang ketiga kali, itu pula ia datang dengan sadar.
"Kau bisa langsung mandi untuk menyegarkan pikiranmu. Tak perlu ku antar, kau tau dimana tempatnya, kan?"
Nathan menatap Max dengan tajam, pria itu seperti menggodanya dengan kerlingan mata dan senyum lebar.
Meski begitu Nathan tak ambil pusing, ia pun langsung berjalan ke arah pintu yang masih ia hafal, kamar Max.
Deringan ponsel menarik perhatian Nathan. Lengannya yang masih sibuk mengeringkan rambut itu pun terpaksa berhenti. Menyampirkan handuk kecil ke lehernya ia pun menatap nama sang pemanggil.
"Hmm..." gumam Nathan tanpa minat. Ia masih merasa kesal dengan Rian yang sudah beberapa hari ini tak bisa dihubunginya.
"Kok jawabnya gitu sih, sayang?"
"Lalu, kau mau aku bagaimana? Jangan berharap lebih saat aku yang sedang butuh bantuanmu ini malah kau abaikan."
Nathan menjawab dengan nada tinggi. Ia merasa kekasihnya sudah berubah begitu banyak. Mereka sudah mengenal pribadi masing-masing, meski kalau untuk urusan keluarga mereka seperti kompak untuk tutup mulut.
Rian itu terbiasa memberinya kabar kemana pun ia pergi. Bahkan tak jarang Rian yang selalu bersikap posesif dengan memberondongnya dengan beberapa pertanyaan saat mereka akan terpisah walau hanya dalam hitungan jam. Tapi mengapa Nathan tak bisa bertingkah sebaliknya.
"Aku akan menemuimu jika hatiku sudah membaik."
Nathan melemparkan ponselnya begitu saja kearah ranjang. Dengan jengkel ia pun mengacak rambutnya yang masih basah.
"Perlu bantuan untuk mengeringkan rambut?"
Nathan tak sadar jika Max telah membuka pintu, pria itu bahkan sudah berjalan begitu dekat kearahnya. Tubuh atas yang masih telanjang dan bagian bawah yang hanya di tutup handuk pendek membuat Nathan jadi salah tingkah. Ia tau benar, Max saat ini sedang menaruh rasa tertarik padanya.
Max itu terlihat seperti tipe pria yang berkemauan keras, sifat pemaksa bahkan sudah di tebaknya sejak awal. Di situasi sekarang ini Nathan bahkan sampai bisa bergetar takut dengan tatapan intens dan seringai itu.
"Nath..."
"Antar aku pulang setelah ini!"