Nathan tak pernah bisa memahami apa yang ada di benak Max saat ini. Pria itu selalu saja mengikuti kemana pun ia pergi. Nathan merasa dirinya tak begitu menarik hingga pria dengan perawakan sempurna seperti Max bisa menaruh perhatian yang begitu intens kepadanya. Ia juga seperti tak bertingkah konyol dengan kerlingan mata ataupun tingkah yang menunjukkan ketertarikannya pada sesama jenis. Nathan rasa, rahasia tentang orientasi seksualnya itu juga masih tersimpan rapi.
Sebuah ketukan pintu membuat Nathan tersadar dari lamunannya. Ia masih mengemban tanggung jawab sebagai calon pemimpin perusahaan. Tak ada pilihan lain, papanya yang masih belum bertemu secara tatap muka dengannya itupun bahkan hanya memberikan mandat melalui pesan singkat.
Sejak perceraian itu resmi di tetapkan, Nathan tak pernah lagi bertemu Bagas, papanya itu. Pria paruh baya yang sekarang masih belum diketahui keberadaannya, ia seperti hilang ditelan bumi. Dan Nathan yang masih berusaha berperan sebagai anak baik itu pun mau tidak mau harus menurutinya. Ia masih mengingat tentang sikap papanya yang dari dulu begitu baik kepadanya.
" Makan siang,"
Max membuka pintu bahkan tanpa menunggu persetujuannya. Pria itu membawa bungkusan paperbag dan langsung mengeluarkan beberapa kotak makanan ke atas meja.
" Aku rasa kau tak perlu repot- repot datang ke sini hanya untuk mengantar makanan,"
Nathan bangun dari kursi kerjanya, kakinya melangkah ke arah Max dan mengambil tempat di seberang pria itu. Meja kaca yang cukup besar menjadi penghalang mereka, dan Max hanya bisa tersenyum maklum.
" Tidak. Lagipula jarak dari kantorku ke sini terbilang cukup dekat," jawab Max dengan senyum lebarnya. Pria itu pun mulai membuka beberapa hidangan yang sempat dimasaknya pagi- pagi sekali.
" Keras kepala!" umpat Nathan dengan suara pelan.
" Hmm! Bukan kepalaku saja yang keras, bahkan aku punya sesuatu yang lebih keras jika kau mau lihat,"
Sial sekali Nathan hari ini, Max seperti sudah mulai pandai berbicara hingga sedikit mempengaruhi reaksi Nathan. Ia seolah ingin terdorong untuk menjadi dirinya sendiri.
Mengabaikan kehadiran Max, ia pun mulai tertarik dengan hidangan olahan ayam yang terlihat begitu menggiurkan dengan bumbu merah yang terlihat pedas. Meraih piring dan sendok garpu yang sempat diantarkan oleh office boy. Mengambil dua potong sekaligus dan langsung melahapnya dengan sedikit rakus. Ini adalah makanan kesukaan Nathan dari dulu, sampai- sampai ia lupa untuk mencentong nasi. Max yang menatapnya pun jadi tersenyum kagum dengan dirinya sendiri, tak sia- sia ia bangun lebih pagi untuk membuat makanan kesukaan Nathan itu.
Hari mulai gelap, Nathan pun mematikan komputer miliknya dan menyimpan beberapa barang- barang. Melewati jalan dengan pemandangan khas senja hari, siluet mega merah yang muncul terlihat begitu memanjakan mata. Tapi tak sebaik itu suasana hati Nathan saat ini, Max masih saja merencanakan sesuatu yang membuatnya jengah.
Nathan ingin sekali mengumpat saat Max dengan seenaknya meminta ijin untuk menginap dirumahnya. Namun Nathan seperti tak melihat nada permohonan, Max malah seperti mendesaknya dengan langsung menyeret lengan tangannya ke arah mobil.
Nathan tak ada pilihan lain, mamanya yang menatap kehadiran Max pun langsung menyambut baik dan menghidangkan makanan untuk mereka. Ia begitu heran saat mamanya terlihat begitu dekat dengan Max. Mereka bahkan sesekali terlihat melontarkan beberapa lelucon yang sama sekali tak lucu menurut Nathan.
Mengguyur tubuh di bawah pancuran, Nathan berusaha menyingkirkan bayang- bayang yang membuatnya begitu cemburu. Mamanya bahkan tak pernah seterbuka itu padanya.
Entah mengapa akhir- akhir ini ia sedikit membandingkan dirinya sendiri dengan Max. Pria itu begitu terlihat dominant dengan gayanya yang maskulin. Ia juga selalu menjadi pusat perhatian dengan wajah dan perawakannya yang begitu sempurna.
Dan sekarang, dalam satu hari Nathan bisa melihat kelebihan lain dari Max. Makanan yang dihidangkan dari kreativitas Max terasa begitu memanjakan lidahnya. Bahkan ia juga sanggup membuat wajah dingin mama Nathan itu tersenyum dengan lebar. Tak bisa dipungkiri Max terlihat seperti sosok yang begitu sempurna.
" Aku tidak sejauh itu jika dibandingkan dengan Max,"
Nathan mematut tampilannya di kaca. Tubuh atas yang telanjang dengan bagian bawah yang hanya ditutupi selembar handuk. Ia masih cukup berotot walau tak sebesar milik Max, ia juga masih tergolong cukup tampan.
" Kau terlihat begitu sempurna,"
Nathan melihat Max yang mulai mendekat padanya melalui cermin. Kejadian ini seperti mengingatkannya dengan kejadian tempo hari, hanya saja tempat yang membedakan.
" Kamarmu ada disebelah,"
Seperti tak mempedulikan ucapan Nathan, Max akhirnya ada tepat dibelakangnya. Mereka saling berpandangan melalui cermin besar yang ada dihadapannya itu.
" Semakin hari rasanya kau mulai bersikap kurang ajar dengan menggodaku, kau fikir aku... gay apa!"
Nathan berbicara dengan ketus saat merasakan usapan lembut dipunggungnya. Ia tak munafik, getaran tubuhnya begitu sangat terasa saat kulit telanjang mereka bersentuhan.
Ingatan Nathan pun mulai memutar tentang kebrengsekannya sendiri. Ia memarahi kekasihnya hanya karena beberapa hari tak ada kabar, sedangkan dirinya malah sibuk berpikir tentang getaran yang dihasilkan dari sentuhan orang lain. Nathan merasa begitu buruk, ia seperti berkhianat pada Rian.
" Hahah... tak ada yang bisa beranggapan seperti itu. Kupikir orientasi seksual hanya masalah rasa tertarik pada sesama atau lawan jenis, tapi untuk cinta aku yakin jika itu mencakup banyak hal, cinta tak bisa digolongkan,"
Ucap Max dengan suara tepat dibelakang telinganya. Hembusan nafas yang mengenai sekitaran leher sedikit membuat Nathan tak fokus, itu adalah daerah sensitif miliknya. Nathan sampai tak berani untuk membayangkan arti dari tatapan tajam yang diarahkan untuknya itu.
" Tapi bagaimana dengan istilah LGBT, orang- orang berarti membedakan cinta, kan?"
" Itu kan hanya penggolongan yang dibuat sebagian orang. Kau adalah sebuah individu yang bisa memilih, kalau tak suka kenapa harus peduli,"
" Baru kali ini aku menemukan orang yang berpikiran sepertimu. Tapi kau ini sebenarnya apa... di satu sisi aku melihat kau berpasangan dengan seorang wanita, tapi kenapa di sisi lain kau seolah mendekatiku dengan begitu gencar,"
Nathan mulai tertarik dengan pemikiran Max yang begitu rasional. Nathan akui, dirinya masih begitu jauh untuk menangkap kata- kata berat soal cinta.
" Aku termasuk tipe orang yang tak mudah untuk menaruh perhatian pada sesuatu, tapi jika hal itu bisa membuatku menatap dengan intens... aku pastikan itu sebagai buruan yang harus ku terkam. Ngomong- ngomong Lea itu bukan kekasihku,"
" Selain rasa percaya diri yang begitu tinggi, ku lihat kau juga bermulut besar dengan keahlianmu mengolah kata,"
" Tidak hanya itu, keahlian seksualku juga begitu mahir. Ku harap kapan- kapan kau bisa merasakannya sendiri,"
" Heh! menjauh dariku,"
Nathan langsung membalikkan tubuhnya kearah Max. Pria itu sudah begitu keterlaluan dengan mengecup leher belakangnya.
" Kau bahkan masih belum menyadari, ini bukan pertama kali,"