Nathan menyuap hidangan sarapan dengan canggung. Ia seperti merasa menjadi orang asing dirumahnya sendiri. Pandangan dan pendengarannya terasa begitu sensitif saat Max bisa membuat mama Nathan tertawa lepas. Ya... kejadian ini terulang lagi, Max masih datang untuk meneror kehidupannya.
Nathan kira setelah Max berpamitan pada sabtu malam itu, ia tak akan lagi berniat untuk menginap dirumahnya. Tapi ternyata dugaannya salah, Max malah membuatnya terlonjak kaget saat pintu kamarnya terbuka dengan tanpa izin. Nathan yang saat itu tengah bersiap untuk memakai celana trainingnya pun menjadi kalang- kabut dan akhirnya terjatuh karena salah satu lubang celana tak sengaja diinjak. Untung saja saat itu Nathan sudah memakai kaos dan bokser, kalau tidak Nathan pasti akan sangat malu.
" Hahah... dan tante begitu mengingat saat kau terjatuh dan langsung menangis saat itu,"
" Oh ayolah tante, waktu itu aku menangis bukan karena kesakitan tapi karena kotoran kuda yang tak sengaja ku pegang. Oh maaf, kita sedang didepan makanan sekarang,"
Nathan yang hadir seperti udara pun ingin sekali beranjak pergi meninggalkan ruang makan. Max sejak tadi terlihat ingin mengajaknya bergabung dalam obrolan, tapi lagi- lagi ketidaktahuan membuatnya hanya bisa mengangguk dan menggeleng ragu.
" Kau tau Nath, saat liburan ke puncak dulu... Tante Rara sempet hilang dari rombongan sampai Paman Hardi nggak berhenti buat nyari padahal waktu itu udah malem banget. Dan tau nggak, ternyata saat itu tante lagi ngidam buat main petak umpet. Waktu itu aku nggak percaya soalnya wajah Tante Rara kayak sedih banget gitu,"
Suasana menjadi canggung saat Max menceritakan kejadian silam. Mama Nathan pun sampai menundukkan kepala dalam. Dan Nathan yang awalnya tak peduli tentang obrolan itu pun jadi mengerutkan dahi, heran.
Nathan mulai berpikir, kenapa Max malah menceritakan seolah- olah mamanya itu begitu dekat dengan Paman Hardi. Dan menurut pendengarannya tadi Max menyebut tentang ngidam, apakah waktu itu ia yang sedang dikandungan?
Nathan pun hanya diam sepanjang perjalanan, Max yang awalnya menyalakan musik itu pun dengan cepat dimatikan oleh Nathan.
" Apa yang kau tau tentang keluargaku," tanya Nathan dengan suara dingin. Pandangannya kini menatap Max dari samping. Pria itu tersenyum miring seolah mengejeknya.
" Kenapa kau tanya seperti itu. Kau harusnya lebih tau karena kau bagian dari keluarga kan?"
Max membalas Nathan dengan santai. Ia tau pandangan Nathan yang menatapnya berang. Max hanya berniat baik, ia ingin menggiring ibu dan anak itu untuk saling terbuka.
Awalnya Max ragu untuk mengambil langkah seperti itu. Tapi mama Nathan pernah meminta tolong kepadanya untuk menjaga Nathan. Max rasa itu bukan langkah yang tepat dari seorang ibu yang mencoba ingin menghindari pokok permasalahan. Lagipula Max cukup memahami jika mama Nathan masih belum bisa memilih kata pembukaan yang tepat. Dan Max merasa dengan sikap frontalnya itu akan membuat Nathan semakin dekat dengan mamanya.
" Aku nggak pernah bisa mengerti orang sepertimu. Kau sebenarnya mencoba mengungkap apa?"
Nathan mulai merasa emosi, Max seperti mempermainkannya.
" Tidak. Aku tadi hanya sekedar bernostalgia dengan orang yang sudah ku anggap mamaku sendiri itu. Dia orang yang begitu baik dan lemah lembut, kau tau itu kan?"
Nathan masih terus memikirkan kata per kata yang tadi pagi terucap di bibir Max. Semua itu masih terngiang jelas di kepalanya. Nathan yang sedang sibuk melamun itu pun seolah hilang dari atmosfir ceria yang diciptakan kawan- kawannya itu.
Setelah menghabiskan waktu cukup memusingkan dengan masalah kantor. Saat ini Nathan tengah berkumpul di rumah Ilham.
Rumah asri yang terasa begitu rindang dengan banyaknya tanaman. Mereka saat ini sedang duduk di balkon lantai dua dengan beberapa botol soda dan gitar yang menjadi iringan lagu yang keluar dari suara- suara seadanya.
Ponsel Nathan yang tak berhenti berdering dengan nama Max itu membuatnya menonaktifkan ponsel. Ia memang sengaja pulang lebih awal dengan naik taksi hingga membuat Max yang mulai rutin mengantar jemputnya itu jadi kelabakan saat mendapati ruangannya kosong.
Dear God the only thing I ask of you is
To hold her when I'm not around
When I'm much too far away
We all need that person who can be true to you
But I left her when I found her
And now I wish I'd stayed
'Cause I'm lonely and I'm tired
I'm missing you again oh no
Once again
Nathan pun mulai ikut mendendangkan lagu dengan mata tertutup erat. Lagu yang dari dulu selalu menjadi favorit mereka pada zaman SMA.
" Malam akan berlalu begitu saja dengan mendengarkan suara sendiri yang begitu parah merusak telinga,"
Galang yang memainkan gitar tiba- tiba berhenti. Pria dengan tindik yang ada ditelinganya itu pun menaruh begitu saja gitar di dekat kakinya.
" Kau benar, waktu kumpul kita harusnya lebih berkualitas saat kita saling cerita lebih dalam,"
Aki mulai menyahuti. Sedari tadi pria mungil itu terus saja sibuk mengunyah snack ciki yang selalu jadi kesukaannya.
" Benar juga. Bagaimana kalau kita saling curhat masalah percintaan, kita tak pernah serius membincangkannya selama ini,"
Kini giliran Tommy yang menimpali.
" Ya, aku setuju. Tapi ku rasa kita tak perlu mendengar cerita dari Tommy, wanitanya pasti banyak sekali dan kita semua pasti tak punya kesempatan untuk bercerita," ledek Galang membuat ia mendapatkan pukulan di belakang kepala oleh Tommy.
" Enak saja, meskipun begini aku juga pernah punya kisah romantis yang membuat jantungku berdebar kencang,"
" Oh ya... kalau begitu dalam sehari jantungmu akan bergetar untuk berapa orang, tiga?"
Tommy dan Galang pun masih tetap meributkan tentang kebenaran masing- masing. Dan yang lain pun hanya bisa diam saat Tommy dan Galang mulai menjambak rambut. Dasar, tidak jantan sama sekali!
" Kurasa kita malah harus mendengarkan cerita dari Nathan lebih dulu, sudah sangat lama sekali kau di luar negeri pasti ada banyak gadis seksi yang terjerat olehmu kan?"
Perkataan Aki membuat kawan lainnya pun bersorak. Mereka tak tau saja, Nathan tak akan pernah bisa merasakan ketertarikan bahkan pada wanita secantik apa pun. Nathan hanya bisa tersenyum tipis saat kawan- kawannya mulai menepuk bahu merasa begitu tak sabar untuk mendengar cerita.
" Tidak. Tak ada satu pun dari mereka yang bisa membuatku bergetar. Ya... mungkin jodohku ada di sini bukan di luar negeri,"
Nathan berusaha tak membuka jati dirinya saat ini. Ia merasa tak siap jika nanti kawan- kawan dekatnya itu menjauhinya.
" Ya... aku percaya pada pria sepolos Nathan,"
Ilham yang ada di sampingnya pun tersenyum tipis. Mereka pun mencoba mencari topik lain yang lebih santai.
Drttt...
Hingga sebuah dering ponsel di atas meja membuat Nathan sedikit terkejut, ia sempat melihat foto Ilham dengan seorang pria mungil, Nathan tak melihat dengan jelas saat Ilham buru- buru mengambilnya dan pergi menjauh. Entah mengapa Nathan terasa begitu familiar dengan pria mungil itu. Tapi satu hal yang menjadi poin penting, mengapa foto Ilham dengan seorang pria terlihat begitu intim, mungkinkah?!