Andara menepuk bahu Algar kencang kemudian berlari memasuki rumahnya terlebih dahulu, Andara hanya menyembunyikan rasa salah tingkahnya.
Andara mencium tangan bundanya yang sudah menyambutnya ketika pulang, hal itu karena bundanya tidak memiliki jadwal kerja hari ini. Saat melihat Algar yang berdiri di ambang pintu, bunda Andara langsung tersenyum lebar dan mempersilahkan Algar untuk masuk.
Algar mencium tangan bunda Andara dengan sangat sopan.
"Bunda dengar kamu kecelakaan." Algar mengangguk kecil.
"Iya, tante. Tapi sekarang udah baik-baik aja, kok. Tante sendiri gimana kabarnya?" Bunda Andara terkekeh.
"Baik-baik aja, kok. Gimana hubungan kamu sama Andara?" Algar menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Ya, gitu deh, tante. Sampai saat ini masih lancar." Bunda Andara tersenyum senang.
"Senang mendengarnya," jawabnya. Algar ikut tersenyum.
Mereka berbincang lumayan lama, hingga akhirnya Andara datang menghampiri keduanya dengan pakaian yang sudah diganti. Andara memakai pakaian rumah biasa.
Bunda Andara menanyakan minuman yang Algar inginkan, Algar hanya meminta air putih saja karena lelaki itu tidak ingin merepotkan orang lain, apalagi bunda Andara.
Sepeninggalan bundanya ke dapur, Andara menatap Algar membuat Algar menaikkan kedua alisnya, tidak mengerti maksud dari tatapan Andara padanya.
"Kenapa?" tanyanya. Andara menyatukan kedua tangannya selayaknya sedang gelisah.
"Gue mau tanya alasan Elvan ke bunda, tapi gue masih takut." Algar mengernyitkan dahinya.
"Apa yang lo takutin?" Andara menundukkan wajahnya.
"Gue takut alasan itu ngebuat gue benci sama bunda. Gue gak mau itu terjadi." Algar menyentuh satu bahu Andara, perempuan itu tertegun dan mendongakkan wajahnya.
"Kalau ingin menciptakan perubahan jangan tunduk terhadap kenyataan, asalkan lo yakin kalau lo ada di jalan yang bener, lo bisa ngelanjutin," balas Algar. Andara mengangguk kecil, ucapan Algar ada benarnya. Andara harus menciptakan perubahan, Andara harus melangkah dan mengetahui pemicu Elvan bersifat seperti itu.
"Makasih ...," lirih Andara.
Beberapa saat setelahnya, bunda Andara datang membawa sebuah nampan dengan tiga gelas air putih di atasnya. Bunda Andara menyuguhkannya kepada Algar dan putrinya, satunya untuk dirinya.
Setelah meneguk air putih itu hingga abis, bunda Andara membuka topik pembicaraan di antara ketiganya.
"Oh, iya, kamu tumben ke sini, ada apa?" Algar terdiam karena bingung harus menjawab apa.
"Gak ada apa-apa sih sebenernya, saya cuma mau nganterin tuan putri saya dengan selamat, terus dia ngajak saya mampir," jelasnya sangat jujur. Andara membulatkan kedua matanya ke arah Algar yang hanya membalas dengan mengeluarkan cengiran polosnya.
"Tante gak nyangka, ternyata kamu romantis banget, ya." Algar menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, sementara Andara merotasikan bola matanya. Romantis dari mana? Yang ada lelaki ini selalu membuatnya naik pitam.
"Dia tuh gak romantis, bun, jangan ketipu sama omongan buaya ini!" sewot Andara membuat Algar sedikit tersindir.
"Aduh, Andara, kamu gak boleh gitu. Algar romantis kok, buktinya dia ngejagain kamu banget." Andara membuang napasnya berat, bundanya ini sangat keras kepala. Andara melirik Algar, lelaki itu tersenyum miring padanya, dasar buaya sialan berani-beraninya mencuci otak bundanya.
"Dia tuh cuma mau modus aja, bun." Bundanya terkekeh.
"Gak mungkin cuma modus lah, sayang. Dia bener-bener ngejagain kamu dari Elvan, kok." Andara tertegun. Elvan, itu dia. Ini saat yang tepat untuk Andara menanyakan hal itu.
"Aduh ...," lirih Algar seraya memegang perutnya. Algar tahu jika Andara ingin menanyakan hal itu, Algar harus pergi karena ini mungkin menyangkut masalah pribadi mereka.
"Kamu kenapa, nak Algar?!" Algar berdiri dari duduknya dengan masih memegangi perutnya.
"Saya izin pamit dulu tante, panggilan alam." Algar langsung menaiki motornya setelah sebelumnya mencium tangan bunda Andara kemudian melesat dengan cepat. Bunda Andara geleng-geleng melihat kelakuan Algar.
"Kira-kira ..., kenapa Elvan sampai ngejar aku begitu ya, bun? Padahal aku udah pindah sekolah dan berusaha ngelupain kejadian itu." Sang bunda tertegun kemudian menoleh ke arah Andara sambil tersenyum lebar.
"Sudah jelas karena kamu cantik, kan? Makanya dia ngejar kamu sampai seperti itu." Andara mengepalkan tangannya.
"Cantik? Kalau hanya karena cantik, itu sudah keterlaluan. Bunda gak menyembunyikan apa-apa dari aku, kan?" Bundanya terdiam kemudian menghampiri Andara dan menyentuh bahu putrinya itu.
"Bunda gak menyembunyikan apa-apa kok, sayang." Andara menepis tangan bundanya seraya menatap manik sang bunda.
"Bunda bohong!" pekiknya.
"Maksud kamu apa, Andara?" Bundanya menatapnya dengan dingin, meskipun Andara gemetar karena tidak pernah ditatap seperti itu oleh bundanya, Andara berusaha memberanikan diri.
"Bunda bohong sama aku! Bunda menyembunyikan sesuatu!" Sang bunda mengernyitkan dahinya.
"Bunda tahu sesuatu tentang Elvan! Bunda gak pernah bilang hal itu sama aku!" Andara berlari memasuki kamarnya. Ia tak percaya jika bundanya akan membohonginya, ia pikir bundanya akan langsung membeberkan semuanya. Andara kecewa sekali.
Bunda Andara terdiam mematung di tempatnya saat ini, bagaimana Andara bisa tahu tentang masalah itu? Bukankah seharusnya itu tidak tersebar.
Apa yang akan Andara lakukan jika mendengar tentang hal itu? Bunda Andara hanya takut jika putrinya akan membencinya kemudian, karena ini adalah cerita yang sangat menyakitkan. Masa lalu yang sangat membuatnya terluka. Haruskan ia menceritakannya?
Apa yang telah Elvan katakan pada Andara? Apakah Andara sudah mengetahui jika selama ini Elvan hanya ingin membalas dendam akan kematian ibunya? Apakah Andara benar-benar sudah mengetahui hal itu?
Sepertinya semuanya harus terbongkar di sini. Andara harus mengetahui semuanya, saat ini juga.
Bunda Andara kemudian meyusul putrinya. Bunda Andara mengetuk kamar Andara. Sudah tiga kali, namun belum juga ada jawaban.
"Andara, buka pintunya. Kita akan bicara baik-baik," ucap bundanya seraya terus mengetuk pintu kamar Andara.
"Kenapa bunda menyembunyikan semuanya?" Ketukan bundanya pun berhenti.
"Karena bunda punya alasan," jawabnya.
Andara membuka pintu kamarnya dan membiarkan bundanya masuk, Andara akan mendengarkan semua cerita bundanya. Inilah saatnya Andara mengetahui semuanya, perempuan itu sudah siap.
"Kamu yakin mau tahu semuanya?" Andara mengangguk mantap, perempuan itu sangat yakin. Semoga apa yang akan ia dengar tidak akan membuatnya kecewa.
Bundanya terlihat sangat gelisah. Andara mengulurkan tangannya dan menggenggam tangan bundanya, hangat. Bunda Andara tersenyum karena merasa sedikit lebih tenang.
Sejujurnya ini adalah luka yang sangat-sangat tidak ingin ia rasakan lagi, oleh karena itu ia menyembunyikan semuanya dari Andara.
Luka tentang dirinya, luka tentang kehidupannya, dan luka tentang rumah tangganya yang saat itu sangat menyakitkan.
Bunda Andara mengusap Puncak kepala Andara, putri kecil yang saat itu ia jaga kini sudah tumbuh dengan sangat cepat, waktu memang sangat tidak terasa.
Karena hadirnya sosok Andara, bundanya merasa lukanya hampir hilang, karena sosok Andara juga bundanya kuat bertahan hingga saat ini.
Bunda Andara tersenyum kemudian mulai bercerita seraya menggenggam terus tangan putrinya.