Algar menatap kepergian mobil milik Tasya dengan terdiam. Lelaki itu tidak bisa melakukan apa-apa, Algar tidak bisa menahannya. Algar memang kesal dengan apa yang sudah perempuan itu lakukan pada Andara, namun bukan berarti Algar menginginkan perempuan itu pergi. Bagaimana pun juga mereka sudah berteman lama, berpisah seperti ini akan sangat menyakitkan.
Dita menyentuh bahu Algar dari belakang membuat lelaki itu langsung tersadar dari lamunannya.
"Kamu kenapa?" Algar menggeleng kecil.
"Enggak apa-apa kok, ma. Tadi Tasya ke sini mau pamitan." Dita menaikkan satu alisnya.
"Pamitan? Emang dia mau ke mana?" Algar mendesah berat kemudian menoleh ke arah mamanya.
"Luar negeri," balasnya lirih.
Dita mengusap punggung Algar kemudian membawa lelaki itu masuk kembali ke dalam rumah guna menenangkan lelaki itu.
"Kamu keberatan dengan keputusan Tasya?" Algar menggeleng kecil.
"Bukan gitu, ma. Al cuma gak nyangka aja dia akan pergi sejauh itu." Dita mengacak surai Algar pelan.
"Sejauh apa pun jarak dia, kalian tetap teman, kan? Kamu tetap bisa menghubungi dia dan menanyakan kabarnya. Meskipun jarak kalian jauh, tapi yang namanya pertemanan akan selalu terasa dekat." Algar menatap mamanya itu dengan antusias. Memang seorang mama yang luar biasa. Algar langsung mengembangkan senyumnya.
"Makasih, ma. Mama emang terbaik." Dita terkekeh kemudian meninggalkan Algar sendirian, memberikan lelaki itu waktu untuk meresapi kata-katanya.
♡♡♡
Algar menghampiri Rio dan Revan yang terlihat sedang berbincang, pagi-pagi sudah gosipin orang aja mereka ini.
"Gibahin siapa lo berdua?" Algar melipat kedua tangannya di depan dada.
"Itu, si Siti. Katanya dia udah punya pacar," ucap Revan berbisik. Algar membulatkan kedua matanya.
"Serius? Tahu dari mana?"
"Tahu dari Sumedang." Algar menempeleng kepala Revan. Bodoh sekali.
"Maksud gue kalian tahu dari mana kabar itu?" Rio menunjuk segerombolan perempuan yang sedang berbincang di depan kelas.
"Tadi gue lewat doang, tapi denger mereka ngomong gitu." Algar mengangguk-anggukkan kepalanya pertanda jika lelaki itu paham.
"Gila. Serius dia udah punya pacar?" Rio menatap Algar jahil.
"Kenapa lo? Cemburu?" Algar menatap Rio sinis.
"Lo kali yang cemburu!" tandas Algar. Rii tertawa terbahak-bahak karena ekspresi Algar yang sangat kesal dengan ucapannya.
"Btw, Tasya mana, sih? Dari semenjak lo kecelakaan dia gak pernah gabung sama kita." Algar tertegun kemudian terdiam. Jika Algar mengatakan yang sebenarnya, apa teman-temannya akan merasa sedih?
"Tasya ... dia udah pindah," jawab Algar membuat Rio dan Revan terdiam menatapnya.
"Maksud lo apa?" tanya Revan.
"Dia udah pindah ke luar negeri." Rio menyentuh bahu Algar dengan tatapan yang kosong.
"Gar, jangan bohong." Algar mendesah berat, sudah pasti teman-temannya tidak percaya dengan apa yang ia katakan tadi.
"Gue gak bohong. Tasya kemarin datang ke rumah gue buat pamitan." Rio menundukkan wajahnya. Meskipun perempuan itu sempat memperlakukan Andara dengan tidak baik, tapi bagaimana pun juga Tasya tetap temannya, Rio tetap merasa kehilangan.
"Kenapa dia pergi?" tanya Revan.
"Bisnis orang tuanya," jawab Algar. Revab membuang napasnya berat. Kalau memang itu pilihan Tasya, mereka harus menghargainya dan melepaskannya.
Revan, Rio dan Algar tidak akan melupakan Tasya dan kenangan mereka ketika bersama. Algar yakin jika Tasya juga tidak akan melupakan kenangan mereka.
"Kita harus ngehargain keputusan Tasya," tutur Algar kemudian menyentuh kedua bahu temannya.
"Mungkin itu emang yang terbaik buat dia."
♡♡♡
Algar menghentikan motornya tepat di depan Andara. Andara menatap Algar dengan datar.
"Karena kita udah pacaran, lo mau gak---
"Gak!" potong Andara membuat Algar terdiam dengan wajah yang kecewa.
Andara menghembuskan napasnya berat, perempuan itu sangat mengetahui niat Algar jika sudah berhenti di depannya seperti ini. Apa lagi kalau bukan mengajaknya pulang bersama?
"Gue mesen ojek aj---
Andara meremas benda pipih yang baru saja mati. Sepertinya ponsel Andara kehabisan baterai. Algar menaikkan kedua alisnya sambil tersenyum jahil.
"Nah, kan, mati. Gimana? Mending bareng sama gue, kan?" Andara memijat pelipisnya. Sial, lelaki ini beruntung sekali.
"Inget, ini terpaksa." Algar menarik satu sudut bibirnya.
Pada akhirnya Andara berada di belakang lelaki itu, mereka pulang bersama. Andara menatap wajah Algar dari kaca spion motor, terlihat sedikit tidak bersemangat ..., atau bisa dibilang sedih?
"Lo kenapa?" tanya Andara. Algar menatap spionnya agar bisa melihat wajah Andara.
"Kenapa apanya?" tanya Algar balik membuat Andara kesal.
"Tumben muka lo jelek. Lo kenapa?" Algar mengernyitkan dahinya.
"Tumben? Maksud lo biasanya gue ganteng, gitu?" Andara membulatkan kedua matanya, sial dia salah bicara. Andara berusaha menyembunyikan rona merah di wajahnya.
"Gak, ya! Emang biasanya muka lo jelek, cuma sekarang tambah jelek. Jadi gue tanya, lo kenapa?" Algar tersenyum kecil tanda Andara sadari.
"Tasya baru aja pindah, mungkin gue masih sedikit sedih." Andara terdiam. Benarkah Tasya pergi? Pantas saja perempuan itu tidak terlihat lagi sejak insiden kecelakaan itu. Baguslah, tidak akan ada yang mengganggunya lagi.
"Pindah? Kemana?"
"Luar negeri." Andara sedikit terkejut. Sangat jauh, pantas saja Algar terlihat sedih. Andara mengusap punggung Algar, lelaki itu hanya melirik melalu kaca spionnya kemudian mengulum senyum kecil.
Algar menghentikan motornya tepat di depan rumah Andara. Andara turun dari motor Algar, perempuan itu menatap Algar dengan gelisah membuat Algar menaikkan satu alisnya.
"Ma-mau mampir?" Algar berpikir sejenak kemudian mengangguk kecil, sudah lama juga Algar tidak bertemu dengan bunda Andara.
"Tumben ngundang," celetuk Algar seraya turun dari motornya. Andara yang tidak tahu ingin membalas apa langsung berjalan mendahului Algar. Andara hanya ingin Algar berada di sampingnya ketika Andara akan menanyakan tentang alasan Elvan.
"Kalau gak mau, pergi sana!" Algar menatap Andara dengan ngeri karena perempuan itu baru saja membentaknya.
"Ampun ..." Andara melirik Algar kemudian tersenyum kecil. Hatinya terasa senang saat ini. Ketika ada Algar di sampingnya, Andara tidak akan merasa gugup, Andara juga tidak akan merasa takut. Kali ini Andara siap untuk mendengar alasan tersebut.
"Btw, gue gak bawa apa-apa, nih." Andara menghentikan langkahnya diikuti Algar.
"Bawa diri lo aja. Bunda juga pasti seneng ketemu sama lo lagi," jawab Andara menatap manik cerah itu. Andara tidak melihat kekelaman di dalam manik yang Algar miliki, memang kehidupan yang sempurna. Andai kehidupan Andara saat itu tidak berubah, pasti ia tidak akan tahu bagaimana rasanya hidup di dalam kekelaman.
"Lo bener juga. Gue sama bunda lo udah lumayan lama gak ketemu." Andara tersenyum lebar seraya mengangguk kecil. Andara tersenyum sangat lebar hingga mata perempuan itu hampir tidak terlihat, sangat manis.
Algar mengalihkan tatapannya, bisa-bisa ia mimisan jika menatap senyum itu terus menerus. Algar mengulurkan tangannya untuk mengusap puncak kepala Andara.
"Lo ... manis."