Chereads / AKU TERGODA (21+) / Chapter 42 - (flash Back) Secercah Harapan

Chapter 42 - (flash Back) Secercah Harapan

Indah menatap pilu lelaki dihadapannya, matanya mulai berkaca-kaca hingga genangan airnya pun tak sadar menetes, bukan karena terharu atas pernyataan Dimas barusan, ia hanya tak bisa menahan air mata yang seharusnya tumpah sejak di acara pernikahan tadi, dan bagaimana cara menjelaskan jika hatinya kini sedang terluka karena Angga.

"lah jangan nangis Ndah.. maaf kalau gue salah ngomong tapi gue enggak maksa lu buat jawab sekarang kok, kalau emang lu masih kaget sama pernyataan gue barusan" panik Dimas refleks mengusap air mata Indah yang mengalir dipipi.

"maaf Dim... aku-"

"jangan! jangan dijawab sekarang... lu gue kasih waktu buat mikir lagi.. oke! jadi stop jangan ngomong apa-apa" potong Dimas menyela ucapan Indah, kemudian melajukan mobilnya lagi.

Suasana hening tanpa kata, hati Indah rapuh dan terlalu sakit mengetahui kenyataan pahit malam ini.

Lima hari berlalu Indah melalui hari-harinya dengan perasaan tak kunjung terobati, setiap hari matanya sembab karena tangisnya tiap malam, bahkan wajahnya tampak lesu dan sayu karena nafsu makannya berkurang.

"Ndah, muka kamu pucat banget" ucap salah satu rekan kerja Indah dengan wajah penuh khawatir.

Indah hanya membalasnya dengan senyum yang terpaksa dilukis pada ujung bibirnya.

"belakangan ini kamu kelihatan lemas terus Ndah, kamu beneran gak apa-apa Ndah? kamu sakit? atau ada masalah apa?" celoteh Meta ingin tahu, ia tak pernah melihat Indah tak bersemangat seperti ini.

Indah menggeleng malas "enggak... aku baik-baik aja kok" balas Indah melanjutkan suapan keduanya.

Belum sampai melewati tenggorokan makanan yang baru disuapnya Indah merasakan mual yang tak tertahan, refleks kedua tangannya menutup mulutnya.

Indah berlari menuju toilet, dan memuntahkan makanan pertama yang baru ia konsumsi hari ini. Indah merasa mungkin asam lambungnya naik karena selama lima hari belakangan ini ia makan tidak teratur.

Namun apa daya baru saja kakinya melangkah keluar dari toilet pandangannya berubah menggelap, kakinya melemah dan tubuhnya mulai terhuyung, refleks orang yang baru lewat didepannya menopang tubuhnya.

Indah belum sepenuhnya jatuh pingsan, ia masih sadar hanya saja pandangannya terlalu gelap dan seluruh otot tubuhnya melemah.

Orang tadi dan Meta membantu memapahnya dan menyandarkannya di sofa.

"Ndah.. sadar Ndah.. kamu gak apa-apa kan?" ucap Meta panik masih menopang Indah duduk disampingnya.

Suara Indah lemah "hem" cuma itu yang bisa terucap dengan mata yang masih terkatup mencari sedikit cahaya agar pandangannya normal kembali.

"tangan kamu dingin banget Ndah, kita kedokter ya Ndah" panik Meta mengait telapak tangan Indah.

"enggak Ta.. aku enggak apa-apa" jawab Indah terbata setelah mengumpulkan tenaganya untuk mengeluarkan suara.

Dua hari berikutnya Indah masih merasakan mual setiap mencium bau atau makan sesuatu, karena ia mengira itu hanya asam lambung maka ia mengkonsumsi obat untuk menyembuhkan lambungnya, namun sia-sia ia masih merasa mual dan muntah-muntah.

Esok harinya Indah memutuskan untuk pergi keklinik yang ada didekat rumahnya, ia menjelaskan segala keluhannya pada dokter.

"kapan terakhir kali ibu datang bulan?" tanya dokter dihadapan Indah.

"datang bulan?!" ucap Indah memastikan pertanyaan dokter.

"iya"

Indah mulai berfikir menghitung siklus menstruasinya "tunggu, kenapa dokter bertanya tentang siklus menstruasi saya?" tanya Indah bingung.

"maaf sebelumnya, karena dari keluhan yang ibu jelaskan pada saya itu seperti tanda kehamilan, atau mungkin ibu mau cek darah untuk memastikan?" jelas Dokter.

Indah tertegun mendengar ucapan dokter, ia sadar jika bulan ini ia belum mendapat haid, bahkan mungkin sudah terlambat, tangan Indah gemetar keringat dingin membasahi keningnya.

"sepertinya saya belum menstruasi dibulan ini dok" jawab Indah kikuk.

"kalau begitu biar saya cek darah ibu untuk memastikannya" pinta dokter.

Indah mengangguk samar, hatinya berdebar takut, bukan tanpa alasan karena kehamilan tentu saja bisa terjadi akibat perbuatannya, namun bagaimana ia harus menjalani hidup kedepannya, bahkan ayah sang calon buah hati sudah mencampakkannya dan menikah dengan perempuan lain.

Dokter menjelaskan hasil tes yang baru ia jalani, tentu saja jika ia sudah menikah ini adalah kabar paling membahagiakan kalau ternyata usia kehamilannya sudah tujuh minggu, namun sebuah cobaan terberat jika ia harus membesarkan anak ini sendirian.

Langkah Indah gontai masuk kedalam kamar, ia menangis tersedu meratapi nasibnya.

Ibu melati yang sudah tak asing lagi mendengaf tangis anaknya kini masuk kedalam mendekati Indah "nak, sudah ikhlaskan jika memang dia bukan jodohmu, jangan kau tangisi lagi" ucap Melati merangkul anaknya yang duduk memelas dikasur.

"ibu... hiks hiks" raung Indah tangisnya semakin pecah sambil memeluk Melati "maafin Indah bu... hiks hiks"

"ada apalagi nak, jelaskan?" pinta Melati sambil mengusap air mata anak semata wayangnya.

"Indah harus bagaimana bu... aku hamil bu... hiks hiks" terang Indah masih terisak.

Jantung Melati sakit mendengar ucapan anak perempuan kesayangannya, cobaan apalagi yang diderita anaknya, belum usai luka hatinya terobati, kini ia harus menanggung aibnya sendirian.

"aku takut bu... dosa besar bukan kalau aku menggugurkannya, aku harus bagaimana? hiks hiks hiks"

"jangan, sedikitpun jangan pernah berfikiran sempit seperti itu nak... kita akan membesarkannya, dia titipan Tuhan yang diberikan padamu" balas Melati memeluk putri semata wayangnya, ikut menangis tersedu meratapi nasib anaknya.

Minggu pagi Indah masih menutupi tubuhnya dengan selimut, cuaca cerah yang menyegarkan diluar tak dapat mencerahkan harinya saat ini, baginya hidupnya sudah teramat gelap, lelaki yang dikaguminya memberi siksaan pedih padanya.

Suara motor sport yang menggema berhenti tepat dihalaman rumah Melati, lelaki yang sudah tak asing dimata Melati turu dari motor sambil membuka helm.

"pagi Tante Mel" sapa Dimas berjalan pelan menghampiri Melati sambil menggenggam helm fullface yang baru dibukanya.

"pagi juga nak Dim" sahut Melati yang kini tangannya sudah disalimi Dimas untuk dicium.

"Indah ada Tan?" tany Dimas dengan wajah sumringah penuh binar bahagia dimatanya.

Melati menoleh sedih ke arah dalam rumahnya memikirkan anak perempuannya pasti masih sesang menangis didalam kamarnya.

"ada didalam nak Dim, tapi dia lagi enggak enak badan" jawab Melati.

"Indah enggak bilang kalau dia sakit Tan" sambung Dimas dengan wajah yang berubah penuh khawatir.

"nak Dimas tunggu disini sebentar ya, biar Tante lihat Indah dulu" pamit Melati langsung masuk kedalam setelah melihat anggukan Dimas yang setuju dengan ucapannya.

Tak butuh waktu lama Indah dan Melati keluar kamar. Melati melenggang kedapur untuk membuat minuman, Indah berjalan menghampiri Dimas yang duduk dikursi depan rumah.

"ada apa Dim?" tanya Indah malas dengan nada yang teramat lemah, bahkan wajahnya semakin pucat.

"lu beneran sakit Ndah?" ucap Dimas menatap Indah yang ikut duduk di kursi sebelahnya.

Indah menarik nafas "hemm.. menurut kamu!" balas Indah malas, bagaimana tidak melihat Dimas membuka luka nya tentang Angga, mengingatnya tak berdaya untuk meminta pertanggung jawaban.

"jutex banget dah, gue kesini cuma pengen ngajak lu jalan, mumpung gue masih di Jakarta, tapi lu malah sakit, udah kedokter belum?" sambung Dimas.

Mendengar ucapan Dimas membuat Indah semakin kesal, rasanya ia ingin teriak pada Dimas jika saat ini kakaknya lah yang harus bertanggung jawab atas dirinya, namun lidahnya terlalu kelu untuk meluapkannya pada orang yang bahkan tidak tahu apa-apa.

"udah" hanya itu yang dapat Indah ucapkan.

"hmm, kayaknya gue ganggu istirahat lu ya Ndah, yaudah kalau gitu gue balik aja" ucap Dimas melas.

"hemm" jawab Indah dingin diiringi anggukan samar.

"tega banget Ndah, beneran disuruh pulang gue, emang lu gak ada kepikiran buat jawab pernyataan gue waktu itu apa" Dimas putus asa dengan harapannya.

Indah menatap dalam kearah Dimas, rasa putus asanya mungkin lebih dalam dari Dimas saat ini, pemikirannya yang sempat buntu meminta pertanggung jawaban orang yang sudah tak mungkin bisa diharapkan lagi membuatnya berfikir ulang tentang Dimas.

Jantung Indah kembali berpacu, tangannya gemetar memikirkan apa yang akan ia ucapkan saat ini "aku enggak mau pacaran, kalau kamu mau... nikahin aku sekarang juga, tapi kalau kamu enggak bisa, enggak ada kesempatan lainnya" tegas Indah seolah bertaruh dengan kelangsungan hidupnya.

Dimas sedikit syok mendengar jawaban yang selama satu minggu ini ia nantikan "oke! kita nikah" seru Dimas tanpa berfikir panjang setuju dengan permintaan Indah.

Indah lebih syok dengan jawaban Dimas, sejujurnya hanya harapan kecil yang ia punya untuk mempertimbangkan Dimas.

'tapi jika ini yang harus aku jalani, akan lebih adil bukan toh aku juga ingin bahagia, aku hanya tak ingin anak yang belum lahir ini bernasib sama sepertiku, hidup tanpa tahu sosok seorang ayah'.