Chereads / Youniversal / Chapter 2 - Dia yang di kirim Tuhan

Chapter 2 - Dia yang di kirim Tuhan

Sial!!!

Ailen mengumpat yang sesalnya hanya terucap didalam hatinya.

Kenapa? Kenapa Ailen tidak mampu berbuat apa-apa saat bertemu dengan si brengsek Alif itu. Semua kata makian yang awalnya bertumpuk didalam otaknya hilang seketika. Menguap, dan hanya berhasil berakhir di ujung kerongkongannya.

Ailen sungguh merasa dirinya begitu menyedihkan. Padahal jika mengingat ke belakang, sungguh Alif selalu berhasil membuat hatinya terkoyak berkali-kali. Lelaki itu seperti tidak mempunyai hati nurani padanya. Memaki, menjatuhkan harga dirinya bahkan tatapannya pun seolah menganggap Ailen itu sampah.

Lamunan Ailen terhenti ketika suara bel tanda pelajaran akan segera dimulai berbunyi. Ia mempercepat langkah nya menuju kelas yang masih beberapa meter di depan. Tidak jarang ia bertabrakan dengan murid lain yang juga sedang sama-sama tergesa. Ailen meringkuk, menahan sakit dari luka yang tidak sengaja bergesekan dengan beberapa murid lain yang berlarian di samping kanan dan kirinya.

Syukurlah Ailen masuk ke kelas tepat waktu. Dia baru saja menjatuhkan tubuhnya di bangku paling belakang ketika Bu Rahma masuk dengan seorang anak laki-laki yang mengekor dibelakangnya.

"Selamat pagi anak-anak!" Sapa wanita muda itu dengan wajah cerianya.

"Pagi Bu!" Serentak seluruh kelas menjawab kecuali Ailen. Gadis itu lebih memilih mengamati sekitarnya dari balik hoddie.

"Wah, ibu bawa siapa tuh Bu?!" Seru salah seorang anak perempuan yang duduk dibaris paling depan dengan wajah berseri-seri.

Suasana kelas mulai riuh.

Bu Rahma tersenyum. "Diam semuanya. Ibu harap tenang! Minta perhatiannya sebentar yah semua?!"

"Silahkan Nata, kamu bisa mulai memperkenalkan diri kamu!" Sambung Bu Rahma mempersilahkan.

Beberapa murid saling berbisik-bisik dengan tatapan yang masih tertuju ke depan kelas. Ailen tak sengaja mendengar salah satu murid yang berkomentar lirih sambil tersenyum kecut.

"Ganteng sih mukanya. Tapi liat deh penampilannya! Urakan banget, kaya preman. Iya kan?!"

Ailen berdecih. "Mereka nggak pada ngaca apa?!!" Gumamnya mengutuk. Lalu ia kembali memilih tak perduli pada keributan kelas atau pun pada alasan keributan itu tercipta. Yang ia lakukan justru sibuk pada buku pelajaran yang terbuka lebar dihadapnnya itu.

"Nama saya Nata." Ucap anak laki-laki yang sekarang sedang menjadi pusat perhatian di dalam kelas.

Jeda beberapa detik setelah anak bernama Nata itu membuka suaranya. Semua murid hening, menunggu. Kalau-kalau Nata akan menambahkan sesuatu pada perkenalannya.

Bu Rahma kembali menghampiri Nata. Dengan gerakan tangannya ia mencoba memberi isyarat kepada Nata yang justru mengerutkan kening tanda tidak mengerti.

"Apa sudah selesai Nata?"

Sambil memandang sekeliling Nata mengangguk pelan.

"Oh, ibu kira ada yang mau kamu tambahkan." Bu Rahma tertawa canggung.

"Apaan sih, perkenalan diri macam apa kaya gitu doang?!" Celetuk Anak perempuan yang di awal terlihat antusias. Seisi kelas kembali riuh setelahnya.

Ailen memicingkan matanya. Dia sangat terganggu dengan suasana ramai yang dibuat oleh anak perempuan itu. Ah, Ailen bahkan tidak mengenal siapa dia. Tunggu! Ailen memang tidak mengenal satu pun teman sekelasnya. Lagipula dia tidak perduli. Dia hanya ingin secepatnya lulus dengan hasil memuaskan dan pergi ke universitas impiannya.

"Tenang anak-anak. Tenang semuanya!" Bu Rahma memberi peringatan. " Ya sudah Nata, kalau memang sudah tidak ada yang ingin kamu katakan lagi, kamu bisa duduk di...."

"Yah Bu, kursi yang kosong tinggal satu saja Bu. Tuh di belakang! Di samping Le-l..., Maksud saya Ailen Bu."

Bu Rahma mengangguk. "Baiklah Nata, kamu bisa duduk disana! Disamping Ailen yah?!"

"Ehm,, Nata..."

Langkah Nata terhenti. Ia kembali berbalik menatap bingung ke arah Bu Rahma.

"Pertemuan selanjutnya Ibu minta kamu berpakaian lebih rapi sedikit saja, boleh kan? Lalu, Ibu juga minta jangan pakai-pakai perhiasan seperti itu yah?" Tuturnya lembut sambil menunjuk telinganya.

Nata diam. Tidak bereaksi apapun. Ia lalu kembali menuju kursinya yang berada di deretan paling belakang. Sekilas ia mengamati teman sebangkunya yang duduk tertunduk dengan hoddie hitam yang sebetulnya kebesaran untuk ukuran tubuh mungil miliknya.

"Ok sekarang kita mulai pelajarannya yah! Kita lanjutkan materi yang kemarin." Bu Rahma membuka buku modul Fisika yang berada di atas meja. "Tapi sebelum kita lanjut. Ibu minta Ailen, tolong bisa kamu lepaskan jaketmu dulu!"

Semua mata kini tertuju pada Ailen. Tak terkecuali Nata yang kini duduk disampingnya.

Haruskah mereka melakukan itu? Bukannya menuruti perintah Bu guru, Ailen justru semakin beringsut dan bersembunyi di balik jaket besarnya.

"Ailen, kamu dengar perintah Ibu guru?" panggil Bu rahma.

Ailen menarik nafas dalam. Tentu ia bisa mendengar suara Ibu Rahma di dalam ruang kelas yang tiba-tiba hening seperti ini. Bukannya tidak menuruti perintah, hanya saja Ailen tidak ingin semua orang mengetahui keadaannya saat itu. Ia sudah hafal betul, bagaimana penilaian orang-orang terhadap dirinya.

Anak aneh. Anak pemabuk. Anak pencuri. Apa lagi nama yang mereka sematkan untuk Ailen. Karena terlalu banyak, Ailen jadi tidak bisa menghitungnya lagi.

Padahal apanya yang aneh. Ailen hanya berusaha hidup dalam dunianya sendiri. Tanpa perlu melibatkan orang lain di dalamnya. Dia bisa melakukan semuanya sendiri, dan selama ini dia mampu bertahan tanpa bantuan dari siapa pun.

Dia tidak butuh kehadiran orang lain. Yang hanya datang sesaat untuk mencampuri hidupnya. Mengambil alih kepercayaan hatinya lalu setelah itu di lempar dan dijatuhkan seperti sebuah sampah. Ailen tau itu. Ailen tau bagaiman rasa sakitnya, karena dia pernah berada di fase dimana dia begitu di dambakan lalu dengan secepat angin dia dicampakkan begitu saja.

"Ailen, kamu dengar ibu? Ayo lepaskan jaketmu dulu, baru kita akan mulai pelajaran hari ini!" Bu Rahma mengulangi perkataannya lagi.

Perlahan Ailen menarik hoddie yang menutupi kepalanya. Semua terperanjat kaget begitu melihat keadaan Ailen saat itu, hingga menimbulkan kegaduhan di se isi kelas. Dari tempat nya duduk, Ailen bisa mendengar beberapa anak yang saling berbisik dan membicarakannya. Beberapa diantaranya tersenyum sinis ke arahnya.

Bu Rahma yang sejak tadi mengamati dari depan kelas segera bergegas menuju bangku paling belakang.

Sungguh Ailen benci situasi ini. Menjadi pusat perhatian dan sumber kegaduhan pagi itu. Tidak bisakah semua orang pura-pura tidak melihatnya? Ailen lebih suka mereka menganggap nya tidak ada.

(Apa aku begitu terlihat menyedihkan?)

Pertanyaan itu muncul dibenak Ailen. Saat melihat raut wajah Ibu Rahma yang begitu khawatir mendekat. Menimbulkan perasaan gundah. Ia tidak ingin terlihat menyedihkan dan lemah dihadapan orang lain. Ailen benci jika harus menerima bahwa dirinya di kasihani orang lain.

"Kamu kenapa? Apa yang terjadi sampai wajah kamu terluka begini Ailen?" Tanya Bu Rahma khawatir.

Ailen hanya tertunduk lesu. Kedua tangannya sibuk menautkan jari-jari tangan yang mulai berkeringat.

"Tolong semuanya buka halaman 50. Kerjakan tugas essay di bagian paling atas! Tidak usah semua, kerjakan 10 soal saja. Nanti akan ibu periksa setelah ibu kembali." Bu Rahma menyadari kegaduhan diruang kelasnya.

"Ailen bisa ikut ibu dulu sebentar!" Bu Rahma memanggil Ailen dari depan kelas.

Dengan terpaksa Ailen bangkit dari tempat duduknya. Ia mengekori Bu Rahma yang berjalan menuju UKS. Di sana, di dalam ruang UKS Ibu Rahma dengan cekatan menyiapkan beberapa kain kasa dan alkohol. Ia menyuruh Ailen untuk duduk di atas matras disampingnya.

"Biar saya aja, Bu." Cepat-cepat Ailen menjauhkan wajahnya. Ia meminta kain kasa yang sudah dibasahi oleh alkohol dari tangan Bu Rahma. Untung saja Bu Rahma mengerti, ia hanya tersenyum sambil menyerahkan kain kasa tersebut.

Sesekali Bu Rahma melirik Ailen yang nampak menahan kesakitan ketika membalut luka di wajahnya. "Setelah dibersihkan nanti kamu minum obat ini yah! Ini untuk mengurangi peradangan, dan biar luka di bibir kamu itu cepat kering. Memangnya apa yang terjadi? Siapa yang melakukan semua ini sama kamu, Ailen? " Kali ini ia menyodorkan dua butir obat ke tangan Ailen.

Lagi -lagi Ailen tertunduk. Dia tidak ingin menceritakan apapun.

"Baiklah. Ibu tidak akan memaksa kalau kamu nggak mau menceritakannya kepada ibu. Untuk tugas yang tadi ibu berikan di kelas kamu bisa kumpulkan besok saja ya Ailen?!"

"Lho, kenapa Bu? Saya baik-baik saja kok, saya nggak papa kalo harus kembali lagi ke kelas." Ailen menolak.

"Tapi ibu yang keberatan. Kamu lebih baik istirahat saja dulu dirumah selama beberapa hari ini sampai luka-luka kamu ini membaik. Nanti biar ibu yang tulis surat ijin untuk bagian konseling." Bu Rahma mengelus lembut puncak kepala Ailen. "Ibu ambilkan dulu tas kamu di kelas!"

Untuk beberapa saat Ailen tertegun. Entah apa yang sedang dipikirkannya saat itu. Ia menggeleng lemah, cepat-cepat ia singkirkan semua yang mengganggu pikirannya sekarang. Ailen berjalan ke arah tempat sampah yang berada di samping nakas lalu melemparkan dua butir obat yang sejak tadi berada digenggaman tangannya.

(Tolong! Siapapun, abaikan saja aku. Perlakukan aku seperti biasa. Anggap aku tidak pernah ada di antara kalian semua.)

****

Diam menyendiri di dalam perpustakaan memang begitu menyenangkan, bagi Ailen tentunya. Aroma buku-buku lama sedikit membuatnya rileks, setidaknya disini dia tidak perlu dipusingkan dengan kehadiran murid lain. Ailen kabur dari ruang UKS, setelah menerima surat ijin dari Ibu Rahma.

Tanpa di sadari Ailen tersenyum. Entah pada deretan buku yang terbuka di hadapannya atau pada hal lain yang sedang berkelumit di dalam fikirannya.

Haruskah ia menghabiskan waktu hingga jam pelajaran sekolah berakhir? Ailen melihat jam di ponselnya, masih 3 jam lagi dan dia sudah duduk di perpustakaan itu selama 2 jam. Ailen mengernyitkan kening, sudah selama itu kah dia berada disini? Dia lalu bangkit, mengemas buku-buku yang tadi dia ambil untuk di kembalikan ke tempatnya masing-masing.

"Eh bisa minggir sebentar! Gue mau ambil buku disitu!"

Suara itu!

Tubuh Ailen beringsut tanpa menoleh ke asal suara. Ia menyusun buku-buku yang ia bawa dengan tergesa-gesa. Ruangan perpustakaan yang tadinya luas serasa menyempit. Membuat dadanya sesak, Ailen kesulitan bernafas.

"Aau..." Ailen mengaduh ber barengan dengan buku yang kini terlepas dari genggamannya dan mendarat tepat diatas kakinya.

Ailen bisa mendengar Alif berdecih. Dia melihat anak itu membantu mengambil buku di lantai sambil mengeluh. "Ceroboh banget sih!!"

Salah! Keputusannya berlama-lama di perpustakaan memang sudah salah. Harusnya Ailen langsung pulang saja setelah mendapat surat ijin dari Ibu Rahma.

Alif terkejut begitu melihat Ailen yang sedang berdiri dihadapannya. Dia lebih terkejut lagi ketika menyadari keadaan Ailen yang menurutnya begitu kacau dan menyedihkan.

"Elo-"

Belum sempat Alif menyelesaikan kalimatnya. Ailen langsung memakai tudung hoddienya, lalu ia langsung memilih pergi dari tempat itu.

Pulang. Ailen ingin pulang. Menenangkan hatinya yang berkecamuk. Lagi-lagi, ia tidak berhasil berkata-kata. Padahal Ailen ingin menampar anak itu. Ailen ingin mencaci makinya. Ailen ingin bertanya dan menuntut penjelasan, namun selalu berakhir dengan dia yang mematung dan pergi dengan air mata.

Kenapa? Kenapa?

(Kamu nggk pernah ngasih tau dimana kesalahan aku. Disaat aku ditinggalkan, aku berharap banyak sama kamu. Tapi kenapa kamu setega itu mempermainkan ku?!)

Ailen menyeka air matanya. Memalukan! Bahkan ia melakukan itu diatas busway yang sedang melaju. Untungnya ia duduk dibarisan paling belakang. Ailen memutuskan untuk memejamkan matanya sejenak sambil menunggu busway itu sampai ke tempat tujuannya. Namun belum satu menit matanya terpejam kedatangan seseorang yang tiba-tiba duduk disampingnya memaksa Ailen membuka kedua matanya.

"Bolos juga?" Nata membuka suara.

Tidak begitu tertarik Ailen hanya melirik acuh. Ia kemudian berbalik memandang ke luar jendela.

"Sekolah Lo itu ngebosenin banget yah? Baru juga tiga jam gue anteng disana udah pengen muntah aja." Tambah Nata seperti tidak menyerah.

Beberapa penumpang menoleh ke arah mereka duduk. "Dasar anak muda jaman sekarang!" Celetuk seorang perempuan tua yang duduk di bangku samping.

Ailen jengah. Ia menatap Nata dengan kesal. "Gue nggak bolos! Gue ijin karena sakit!"

Apa ia terlihat seperti anak seperti itu? Ailen menggeram dalam hati.

"Oh..." Nata mengangguk hampir tanpa ekspresi. "Mau permen?" Ia mengeluarkan selembar bubble gum dari saku seragamnya.

"Apaan sih?!" Ailen menepis tawaran Nata. Ia bangkit memutuskan untuk pindah ke tempat duduk lain. "Minggir!" Katanya sembari menendang kaki Nata yang menghalangi jalan.

Gadis itu mendengus kesal. Ia hanya ingin menikmati perjalanan pulangnya dengan tenang. Kedatangan anak baru itu sungguh sangat mengganggu baginya. Ah, Siapa tadi namanya? Ailen lupa.

Ketan? Atau Atan?

Ailen menggeleng pelan. Sejak kapan dia perduli pada nama seseorang. Dia saja tidak mengenal satu pun teman di kelasnya. Baginya isi kepalanya itu terlalu berharga jika dipakai untuk mengingat hal yang tidak begitu penting.

****

Malam itu suasana kafe begitu ramai. Mungkin karena ini malam Minggu, dan di luar sedang hujan. Ailen begitu sibuk kala itu, banyak pesanan yang harus ia antarkan ke meja pengunjung.

"Lo nggk papa Ai? Muka Lo pucet banget loh!" Suara Angga yang baru keluar dari dalam dapur membuat Ailen menoleh.

Si Pemilik kafe baik hati yang sudah mau menerima pelajar seperti Ailen kerja ditempatnya itu. Dia juga yang selalu menolong Ailen ketika kegilaan gadis itu untuk mengakhiri hidupnya muncul. Entah apa sebutan yang pantas untuknya. Malaikat, atau seorang pengganggu. Yang jelas adanya Ailen masih disini itu karena dirinya.

Ailen menggeleng. "Nggk papa mas." Sesekali ia memegangi bahunya pelan. Rasa perih yang terbakar menjalar di sekujur tubuhnya ketika jemari tangan Ailen menyentuhnya.

"Beneran?!" Tanyanya tidak yakin. Angga sudah merasa ada yang tidak beres dengan gadis itu ketika pertama kali melihatnya dengan wajah lebamnya. Angga ingin bertanya lebih jauh, namun niatnya itu ia urungkan.

Kali ini Ailen mengangguk lemah. Padahal sejak tadi siang Ailen merasa dirinya masih baik-baik saja. Tapi kenapa malam ini ia justru merasa tubuhnya menggigil. Apa ini karena luka yang ada di sekujur punggungnya? Ailen mengernyit.

Suara lonceng dari arah pintu masuk berbunyi. Keduanya menoleh secara bersamaan. Ailen langsung bersiap siaga di tempatnya.

"Eh Nat. Tumben kesini?" Mas Angga menyapa dari balik meja bar. Sedangkan Ailen lebih tidak perduli, ia lebih fokus melayani beberapa pengunjung yang memesan minuman.

"Iya. Lagi suntuk, makanya kesini!" Jawabnya setelah cukup lama. Pandangannya ter alih pada gadis yang sedang sibuk meracik minuman.

"Gimana keadaan Natalie?" Mas Angga kembali bertanya.

"Baik Ngga. Setelah di operasi kemarin dia sekarang udah di pindahin di ruang rawat inap."

Angga mengangguk. "Syukur deh. Gue ikut seneng dengernya."

Mereka berdua melanjutkan obrolan. Kadang sesekali di tengah obrolan mereka lewat ekor matanya Nata memperhatikan Ailen yang masih sibuk diseberang sana. Gadis itu sama sekali tidak menyadari kehadirannya malam itu.

"Eh mba, gue mau pesen dong!" Akhirnya Nata mengambil inisiatif.

"Ya-," Ailen menoleh. Dari mimik mukanya tampak jelas ia begitu terkejut.

"Jadi lo kerja disini?!" Tanya Nata tanpa mengindahkan Ailen yang gelagapan.

Angga yang berada diantara keduanya mengerutkan kening. "Kalian saling kenal?"

"Iya."

"Nggak!!!"

Nata dan Ailen menjawab bersamaan. Kini keduanya saling menatap namun sama-sama terdiam. Nata mengerutkan kening, heran. Mereka berdua seperti sedang melakukan komunikasi lewat tatapan mata. Tak ada yang bicara, dan tak ada yang tau apa yang ada di dalam pikiran masing-masing.

Ailen berdehem. "Ma—mau pesen apa?"

Tanpa menjawab Nata menunjuk gambar menu yang tertempel di meja bar. Ailen terdengar mendengus, lalu ia bergegas menuju meja samping untuk meracik minuman pesanan Nata.

"Dia temen se kelas gue di sekolah yang baru Ngga." Nata menjawab rasa kebingungan Angga.

"Oh gitu,"

"Temen sebangku malah." Tambah Nata lagi. "Iya kan Ailen?!"

(Diem lu, banyak bacot!)

Suara Ailen tertahan di tenggorokan. Kalau saja bukan di tempat kerja, Ailen sudah pasti menyumpal mulut anak itu dengan serbet makan.

"Oh ya?! Bagus dong, Lo langsung dapet temen baru di sekolah yang baru."

Baru saja Nata akan menimpali selorohan Angga. Ailen datang dengan membanting baki yang diatasnya terdapat minuman pesanan Nata. Keduanya terkejut, Angga bahkan sampai beringsut mundur ketika itu.

"Lo kenapa sih Ai?"

Ailen melirik bosnya itu, ia hendak mengucapkan kata maaf saat tiba-tiba perasaan itu datang. Ia merasa kepalanya pusing, seperti dihantam beban yang beratnya beribu-ribu kilo. Pandangannya mulai kabur. Ailen melihat sekeliling, bahkan ia sempat melihat Angga dan Nata berbicara namun suara mereka seperti hilang di telan bumi. Lalu setelah itu yang ia rasakan hanya gelap.

Gelap yang begitu panjang dan melelahkan.

🥀🥀🥀