Sore itu hujan turun begitu derasnya, bahkan di iringi dengan petir dan kilat yang saling sahut-menyahut. Lewat kaca taksi Ailen menengadah memandang ke atas langit gelap yang terkadang berkelap-kelip oleh kilat. Ia iri pada langit yang dengan begitu mudahnya menumpahkan kesedihan setiap waktu.
Kenapa ia tidak menangis? Ailen tertunduk lesu. Benarkah ia merasa lega mengetahui jika sekarang Ayahnya sudah meninggal? Ailen menarik nafas frustasi. Ia menjatuhkan punggungnya pada sandaran kursi penumpang.
"Ailen, lo baik-baik aja kan?" Tanya Nata yang duduk di sampingnya. Entah sudah ke berapa kalinya ia melirik Ailen yang masih tetap setia memandang hujan dari balik jendela.
Ailen bergumam. Pikirannya masih melayang memenuhi semesta di lubuk hatinya. Gadis itu ingat betul, beberapa hari yang lalu ia masih mengharapkan kematian Ayahnya bisa segera terjadi. Tuhan ternyata mengabulkan harapannya bahkan lebih cepat daripada dugaan Ailen.
Ayahnya memang benar-benar mati, tidak tanggung tanggung Tuhan menjemputnya dengan cara yang begitu menyakitkan. Haruskah ia mengucapkan terima kasih pada hadiah yang sudah Tuhan berikan untuknya. Inikah alasan kenapa Ailen tidak sekalipun meneteskan air mata, meskipun ia mendapati kejadian yang menimpa Rei-Ayahnya saat ini.
Ailen memejamkan mata kuat-kuat. Kepalanya di penuhi berbagai macam pertanyaan yang semuanya se akan menohok, memojokan, dan bahkan Ailen merasa mereka tengah menertawakannya saat ini.
"Gue pengen pulang!"
Nata menoleh, ia sedikit mengerutkan dahi heran. "Emm, kita emang lagi dalam perjalan pulang Ai."
"Gue pengen pulang, gue pengen sendiri." ulangnya lagi.
Kali ini Nata baru mengerti. Ailen butuh waktu untuk mencerna segalanya, dan ia akan memberikan waktu sebanyak yang gadis itu inginkan. Nata juga pernah berada di posisi itu, Dan mungkin rasa sakit yang Ailen rasakan jauh lebih dalam di banding dengan sakit yang pernah ia derita.
Waktu berlalu, menyisakan kebisuan di antara mereka berdua. Nata membiarkan Ailen bergumul dengan perasaannya yang bercampur tidak karuan. Hingga akhirnya mereka berdua sampai di rumah petak tempat Ailen tinggal. Nata mengantarnya hingga ke depan pintu kamar Ailen, memastikan bahwa keadaan gadis itu benar-benar masuk ke dalam kamar dan tidak melakukan hal-hal gila apa pun.
Dan sekarang Nata mulai khawatir, Ailen bahkan tidak meninggalkan dia dengan sepatah katapun. Gadis itu masuk ke dalam kamar kosnya begitu saja, seperti tidak menyadari bahwa saat itu ia sedang bersama dengan seseorang.
Namun ia sangat menghormati keinginan Ailen yang tidak ingin Nata ikut masuk ke dalam hatinya dan bersama-sama menanggung rasa sakit itu. Lalu dengan berat hati, ia melangkah menjauh dari pintu kamar kos Ailen. Pergi dengan setumpuk gundah yang menggantung di hatinya.
****
Ailen duduk mematung di samping ranjang. Sudah beberapa jam ia masih seperti itu, menghabiskan sore hingga tanpa terasa jam menunjukkan pukul sembilan malam. Ia menggenggam ponsel yang sudah sedikit usang, membolak-baliknya sebentar seakan sedang menimbang sesuatu. Tadi siang polisi memberikan ponsel itu yang katanya di temukan di dalam saku Ayahnya.
Ia sedikit ragu untuk sekedar memeriksa isi dari ponsel tersebut. Jelasnya, Ailen takut jika akan mengetahui kebenaran lain yang sebenarnya tidak ingin ia ketahui. Meskipun rasa penasaran di dalam dirinya mendorong nya untuk tetap membuka dan melihat isi ponsel Rei itu.
Lantas setelah banyak sekali pertimbangan yang ia pikirkan, Ailen akhirnya membuka juga ponsel itu. Tak ada yang spesial saat pertama kali ponsel itu menyala dan menunjukkan bagian depan layar. Ailen lalu memilih memeriksa tombol kontak disana, hanya ada satu nomor yang tertera dan itu adalah nomor miliknya.
Ailen mendengus ketika menyadari bahwa Rei—ayahnya menamai nomornya dengan nama putriku. Lalu kemudian setelah itu Ailen berpindah memeriksa kotak pesan, ada sebuah pesan disana dengan nomor yang tak di kenal. Isi pesan itu hanya sebuah alamat, dan di pesan kedua nomor itu menyuruh Ayah untuk datang ke alamat tersebut.
Dahi Ailen berkerut bingung. Jadi ini adalah pesan terakhir sebelum Ayahnya meninggal. Ia baru menyadari jika alamat itu hanya berjarak beberapa meter dari tempat Ayahnya meregang nyawa.
(Apa hanya sebuah kebetulan?) Kerutan di dahi Ailen semakin kusut. Setelah meninggalkan pesan itu dengan sejuta kejanggalan, Ailen memilih untuk mengunjungi penyimpanan file. Hanya ada beberapa fotonya disana, foto saat dia pertama kali berlajar memakai sepeda lalu beberapa lagi ketika ia memegang beberapa kantong permen dan balon di tangannya.
Tiba-tiba dada Ailen terasa nyeri. Sakit, dan begitu menyesakkan. Dia tidak memungkiri bahwa sekarang hatinya mulai sedikit goyah. Ia bimbang pada dirinya sendiri yang sepertinya terbesit perasaan sesal.
Apakah Rei benar-benar menganggap Ailen sebagai putrinya? Apakah memang masih ada sedikit cinta yang tersisa untuk Ailen?
Pertanyaan itu seolah menampar Ailen. Menyeretnya ke dalam lubang penyesalan yang semakin dalam. Malam ini, ia telah melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana cara Rei memperlakukan ia dibelakangnya. Namun, ada sisi di diri Ailen yang masih mencoba keras untuk menyanggah itu semua.
"Tapi kenapa, kenapa Ayah? Kenapa selalu bersikap seolah aku adalah musuh mu? Ayah selalu membenciku, Ayah selalu mencoba membunuh ku dengan semua sikap dan perilaku Ayah,"
Pertahanan itu akhirnya hancur, Ailen menangis. Luka yang selama ini sedang coba ia obati terkoyak kembali hingga membuat air mata yang terbendung turun dengan derasnya. Tubuh Ailen merosot dan jatuh ke lantai, di tengah-tengah suara isakan tangisnya ia menjerit, meluapkan seluruh emosinya pada ke bodohan dan juga pada keegoisannya sendiri.
Ailen memukul-mukul dadanya. Barangkali cara itu bisa sedikit membuat rasa sakit itu hilang dari sana. Sungguh, Ailen sendiri tidak bisa menggambarkan bagaimana rasanya. Saat itu ia hanya ingin mati. Ia ingin itu lebih dari siapa pun. Ailen sudah tidak kuat lagi menanggung rasa sakit itu sendirian. Perasaan itu bahkan lebih besar dari pada yang ia rasakan sebelumnya.
Mungkin nanti Ailen bisa bertemu kembali dengan Ayahnya disana. Ia akan menanyakan banyak hal yang ingin ia ketahui. Semuanya, Ailen ingin mendengar Ayahnya menjelaskan kebenarannya. Dan kemudian Ailen akan memaafkan segala, ia akan melupakan semua masa lalu pahit antara mereka berdua. Itu adalah janjinya.
Ailen tersenyum getir. Luka itu memberinya sebuah kekuatan untuk berdiri, ia melangkah tak tentu arah. Kakinya membawa ia pergi tanpa tujuan. Ia bahkan tak memperdulikan bagaimana penampilannya yang sangat payah saat ini. Tak ada alas kaki, ataupun jaket yang melindunginya dari guyuran gerimis.
Setelah cukup jauh ia berjalan tak tentu arah meninggalkan rumah kosnya, lantas ia berhenti tepat di sebuah jembatan sungai. Ailen sedikit berjingkut ketika kulitnya menyentuh besi jembatan yang begitu dingin, ia melongok sekilas ke bawah sana.
(Bagaimana?)
Ailen meringis, sepertinya cukup menyenangkan jika ia menerjunkan diri ke bawah sana. Gadis itu membayangkan ketika dinginnya air sungai yang menusuk hingga ke tulang-tulangnya, membuat ia kesulitan bernafas dan mati secara perlahan-lahan.
Jalanan itu sangat sepi karena memang itu bukanlah jalan raya utama, hanya mungkin beberapa mobil atau sepeda motor yang melewati jalan itu secara kebetulan. Namun di tambah hujan gerimis yang turun malam itu membuat jalanan di dekat sungai semakin sepi. Situasi yang menguntungkan bagi Ailen untuk mewujudkan rencananya itu. Diam-diam gadis itu bersyukur di dalam hati.
Ia sudah mengambil ancang-ancang. Salah satu kakinya sudah mulai memanjat pada salah satu pagar jembatan itu. Keputusannya sudah bulat, sudah tidak ada yang bisa Ailen harapkan lagi. Masa depannya pun kini mulai samar, sekarang waktunya ia berhenti. Ailen menyerah.
Ailen memejamkan mata. Menghitung mundur waktu kematiannya yang sebentar lagi akan ia jemput. Ia telah melepaskan segalanya, hingga rasanya tubuhnya begitu ringan seringan kapas. Membiarkan dirinya meluncur menabrak aliran air sungai yang ternyata benar-benar dingin.
Ia pasrah pada takdir yang sedang mengombang-ambingkan dirinya. Seakan ia bisa melihat Ayah dan Ibunya sedang tersenyum dan mengulurkan tangan padanya.
(Ayah, mamah. Aku pulang. Ailen akan pulang dan bertemu kembali dengan kalian.)
Saat semuanya mulai memudar dan menghitam, sisa kesadaran Ailen menangkap bayangan seseorang yang menarik lengannya. Ia mendengar beberapa kali namanya di panggil oleh seseorang. Dia menangis dan memeluk tubuh menggigil Ailen.
(Apa ini? Aku sudah mati, kenapa bisa ada kamu disini?) Dan kemudian setelahnya, Ailen tidak pernah melihat bayangan itu lagi. Suara yang memanggil namanya dan begitu khawatir kini tak pernah ia dengar lagi.
****
(3 jam sebelumnya,)
Nata duduk termenung di samping ranjang rumah sakit. Tubuhnya berada disini, tapi pikirannya berada di tempat lain. Perasaannya sangat gundah, dan itu jelas tergambar dari raut wajahnya.
"Nata,"
Nata menoleh kaku. "Emm, ya kenapa Nat?"
Natalie tersenyum. Entah itu panggilan ke berapa yang ia lakukan hingga akhirnya Nata menoleh tampak kebingungan.
"Aku tanya, kamu udah makan belum?"
Nata mengangguk pelan. "Oh, iya nanti aku turun sebentar ke kantin buat beli makanan,"
"Aku panggil kamu sampe lima kali lho! Kamu lagi mikiran apa emang? Apa lagi ada masalah yah?!"
Kali ini Nata memaksakan senyum yang justru terkesan kaku di mata Natalie. "Enggak kok! Aku lagi nggak mikirin apa-apa." sanggahnya. "Kamu perlu apa Nat, sini biar aku ambilin."
Natalie menggeleng lemah. "Aku cuman khawatir sama kamu yang sepertinya lagi menghadapi masalah yang serius,"
Sambil menggenggam erat tangan Natalie, ia berusaha meyakinkan saudarinya itu bahwa ia baik-baik saja. "Aku nggak papa kok Nat, kamu tenang aja yah?!"
Mereka berdua sama-sama mengangguk dan tersenyum, saling menguatkan. Lalu Nata menyuruh Natalie untuk segera ber-istirahat dan tidur setelah sebelumnya ia berjanji akan menemani saudarinya itu dan menginap di sini.
Waktu terasa berjalan sangat lambat. Nata sampai bisa mengingat sudah berapa kali ia mondar-mandir keluar untuk sekedar menghirup udara segar. Namun usahanya itu tetap saja gagal, perasaannya masih tetap sama. Ia masih gundah, memikirkan Ailen yang sedang sendirian di kamar kosnya. Nata sungguh sangat khawatir hingga ia merasa jantungnya hampir meledak karena menahan perasaan cemas itu.
Nata melirik ponselnya yang bergetar di nakas samping ranjang tempat saudaranya itu berbaring. Nama Angga tertera disana, sedang mencoba menghubunginya.
"Lo dimana?"
Pertanyaan itu langsung menyambut Nata begitu ia menjawab panggilan dari Angga.
"Gue lagi ada di rumah sakit, nemenin Natalie. Kenapa emang?" Jawab Nata. Perasaannya mendadak menjadi cemas.
"Gue lagi dalam perjalanan kesana, sekarang!"
Angga di seberang sana terdiam. Tidak melanjutkan kalimat yang sekarang sedang di tunggu-tunggu oleh Nata yang justru semakin membuat jantungnya berdegup kencang tidak karuan.
"Ngga? Hallo? Emang ada apa? Apa yang terjadi?" tuntut Nata dengan nada suara yang semakin meninggi.
"Lo tunggu gue disana! Gue sama temen lo mau bawa Ailen ke rumah sakit secepatnya. Dia benar-benar butuh pertolongan sekarang!"
Tubuh Nata menegang, kedua matanya terbelalak ketika mendengar Angga menyebutkan nama Ailen disana. Ia tidak berani membayangkan pikiran terburuk nya yang sebenarnya sudah menari-nari di dalam kepalanya yang semakin berdenyut hebat.
Ia berlari secepat kilat, menyusuri lorong hingga tangga rumah sakit dengan tergesa-gesa. Otaknya sudah tidak bisa dia pakai lagi untuk berfikir jernih sampai ia melupakan lift yang bisa membawanya lebih cepat untuk sampai ke lobi rumah sakit.
Kamar Natalie berada di lantai tujuh rumah sakit dan ia setidaknya membutuhkan waktu lima belas menit untuk benar-benar sampai ke lobi rumah sakit dan setelah itu ia harus berjalan sebentar untuk menuju ruang IGD yang berada di bagian depan rumah sakit.
Nata berhenti sejenak tepat di depan ruang radiologi untuk mengatur nafasnya. Dari tempatnya berdiri sekarang ia bisa melihat Angga berdiri di depan pintu IGD dengan risau. Tepat saat itu ponsel Nata yang berada di genggaman tangannya bergetar.
"Angga!" panggil Nata sambil menghampiri Angga. Langkahnya panjang dan cepat, sungguh apapun yang terjadi Nata tidak ingin mendengar Angga menyampaikan kabar terburuk yang sangat mengusik hatinya.
"Apa yang terjadi sama Ailen?" Nata langsung mengutarakan pertanyaan yang sejak tadi mengganggunya.
Angga tak langsung menjawab, ia melirik sekilas lelaki yang duduk di kursi tunggu dengan tubuh yang basah kuyup. Nata mengikuti arah pandang Angga lalu mengernyit tidak mengerti.
"Ngga?" panggil Nata mulai tidak tenang.
"Lo kenapa biarin dia sendirian?" bukannya menjawab pertanyaan Nata, Angga justru balik bertanya padanya.
Mendadak tubuh Nata melemas. Kedua tangan yang tadinya mencengkeram lengan Angga turun mengikuti gravitasi bumi. "Kenapa? Bukannya udah gue bilang, lo harus terus temani dia apapun yang terjadi! Gue tau banget siapa Ailen, saat ini dia lagi benar-benar rapuh. Udah berapa kali gue ingetin lo setelah gue denger kabar bokap nya dia meninggal."
"Maaf," bibir Nata bergumam samar, namun tatapan matanya kosong, menatap lurus pada lantai putih rumah sakit. "Maafin gue,"
Angga menarik nafas panjang. Ia menepuk bahu Nata pelan. "Gue tau banget Ailen Nat. Dia gadis terkuat yang pernah gue temui, tapi percaya sama gue kalo dia sebenarnya benar-benar butuh seseorang di sampingnya. Dia takut sendirian disini Nat,"
"Untung ada dia!" Angga menunjuk Alif yang sejak tadi duduk tertunduk lesu. "Gue nggak ngerti lagi kalo waktu itu kami berdua datang terlambat satu detik saja!" tambah Angga lagi.
Nata terduduk di lantai. Ia tidak henti-hentinya menyalahkan dirinya sendiri. Ia yang bodoh, Ia yang salah. Ailen tidak benar-benar ingin sendirian, gadis itu ingin seseorang yang bisa menemani dan memeluknya. Seharusnya Nata berada disana, menemani Ailen menangis sepuasnya, menggenggam tangannya, menguatkannya, dan berbagi pedih bersamanya.
Sekelumit rasa takut akan kenangan buruk tentang Ibunya muncul di tengah-tengah perasaan bersalah Nata. Ia takut, ia sangat takut bila sesuatu yang pernah Ibunya rasakan terjadi pada Ailen. Gadis yang langsung menarik perhatiannya sejak pertama kali mereka bertemu, gadis yang berhasil menggugah perasaannya hingga berbentuk sedemikian rupa.
"Siapa diantara kalian yang menjadi wali dari pasien bernama nona Ailen yuki kazuto?"
Kedatangan seorang suster membuyarkan lamunan tiga laki-laki yang sibuk pada pikirannya masing-masing. "Saya mba,"
Angga langsung mengajukan diri. "Saya kakaknya," lanjutnya lagi.
"Baik mas, bisa ikut saya sebentar untuk mengisi beberapa berkas data diri?!" Suster itu mengajak Angga untuk masuk ke dalam ruang IGD.
Sekarang hanya tinggal Alif dan Nata yang duduk saling berhadapan. Tatapan keduanya seakan saling bercerita tentang bagaimana perasaan mereka kepada Ailen. Sama-sama menganggap Ailen adalah sesuatu yang berarti bagi keduanya.
"Apa sekarang lo udah menyerah?" setelah sekian lama keduanya terjebak dalam diam yang menyeramkan, Alif membuka suara.
"Maksud lo? Ngomong apa lo?" Nata yang duduk di seberangnya menanggapi.
"Kenapa? Lo takut hah?" Alif tersenyum mengejek. "Kalo emang dari awal lo bersedia untuk berada di sampingnya, kenapa nggak lo lakuin itu sampai akhir? Kenapa lo nggak ada waktu Ailen butuh seseorang di sampingnya?"
Nata berdecih. "Seharusnya pertanyaan itu lebih cocok di tunjukin buat lo deh!"
Alif melotot, ia spontan berdiri dari kursi tunggu dan menghampiri Nata. Tubuhnya mendadak panas, seakan merambat hingga ke ubun-ubun. Ia menarik kerah baju Nata dan memaksanya untuk berdiri.
"Kenapa, kaget?" Nata tertawa. Ia teringat kembali ketika beberapa hari yang lalu saat tidak sengaja mencuri dengar pada beberapa anak yang bergerombol membicarakan Ailen di belakang mereka.
("Gue sering ngelihat Ailen makan dan jalan bareng sama Alif dulu. Ya! Gue rasa mereka emang pernah punya hubungan.)
("Hei, jangan bercanda! Nggak mungkin lah Alif mau deket sama cewek aneh kayak Ailen")
("Kalian nggak percaya?! Gue ngomong begini karena gue dulu satu sekolahan sam mereka waktu SMP!")
"Kalo emang lo berniat buat ninggalin dia, kenapa nggak lo lakuin itu sampai akhir?! Kenapa lo kembali sekarang? Jangan pernah berfikir lo bisa berubah pikiran sekarang!"
Genggaman tangan Alif pada kerah baju Nata merosot. Kata-kata Nata baru saja menampar keras dan menyadarkan dirinya. (Kenapa? Kenapa aku kembali?.) Alif terus mengulang isi di dalam kepalanya itu.
"Gue nggak akan pernah ngebiarin lo masuk ke dalam hidupnya lagi! Kalo untuk nyakitin dia lo bisa se tega itu, mending sekarang lo pergi jauh-jauh dari Ailen. Jangan pernah datang, dan jangan pernah berharap. Gue akan pastikan Ailen nggak akan pernah kembali sama lo!"
Tepat setelah Nata meluapkan semua kekesalannya pada Alif, pintu IGD terbuka dan ke dua laki-laki itu menoleh bersamaan. Angga memberitahu kalau Ailen akan di pindahkan segera ke ruang rawat inap dan menyuruh mereka berdua untuk masuk.
Namun Alif masih tidak berkutik di tampatnya. Ia hanya mampu menatap pintu IGD dengan berat hati selepas Nata dan Angga menghilang dari pandangan nya. Ia benar-benar terpukul. Perkataan Nata memang tidak sepenuhnya salah. Harusnya Alif tidak pernah kembali dan harusnya ia melakukan itu hingga akhir. Kenyataan bahwa mereka berdua hanya akan saling menyakiti membuat ia melangkah pergi membawa segenggam luka dan kenangan pahit yang selalu tertanam di hatinya.
🥀🥀🥀