Chereads / Youniversal / Chapter 3 - Jangan pernah mendekat

Chapter 3 - Jangan pernah mendekat

Lamat-lamat Ailen membuka matanya perlahan. Hal pertama yang ia jumpai adalah cahaya lampu dari luar jendela yang menerobos masuk ke dalam kamar. Gadis itu mengernyit, saat berusaha mengumpulkan tenaganya dengan susah payah hanya untuk mengangkat tubuhnya. Kepalanya masih terasa pusing, namun tubuhnya terasa jauh lebih baik daripada kemarin.

Ailen melihat sekeliling. Ruangan kamar yang begitu asing untuknya. Matanya sekali lagi mengerjap, memastikan bahwa sekarang ia memang sudah bangun dan bukan lagi berada di alam mimpi.

(Tunggu!!)

Sekelebat ingatan tentang malam itu di kafe tempat ia bekerja kembali terlintas di kepalanya. Ailen tersentak, matanya terbelalak. Segera ia bergegas berdiri, lalu memeriksa tubuhnya sendiri dengan begitu cemas. Hingga akhirnya dia menghela nafas lega. Tubuhnya masih menggunakan pakaian yang lengkap.

Ailen baru menyadari ada sesuatu yang salah dengan dirinya ketika dia berjalan melewati cermin yang ada disamping lemari pakaian. Bola matanya membulat nyaris keluar saat ia tau bahwa pakaian yang ia kenakan bukan pakaian miliknya.

Gadis itu semakin cemas tidak karuan. Ia berjalan seperti orang kebingungan. Sambil terus mengamati sekeliling, ia mencoba mengingat-ingat apa yang telah terjadi sebelumnya. Namun ingatannya selalu terputus pada saat malam di kafe tempat ia bekerja.

Ailen meremas rambut kesal. Begitu banyak pertanyaan muncul di atas kepalanya. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa ia bisa ada disini? Rumah siapa ini? Lalu pakaian milik siapa yang sekarang ia pakai? Pikirkan Ailen benar-benar buntu saat itu.

(Gue ada dimana, sebenarnya?!) Batinnya. Tangannya meremas kemeja biru tua yang terlihat kebesaran di tubuhnya. Sudah sangat jelas kemeja ini milik laki-laki. Lalu siapa?

Sosok Angga yang pertama kali terlintas di kepala nya. Batinnya meyakinkan diri bahwa mungkin saja Angga yang telah membawanya kesini. Bukannya selama ini yang sering mencampuri urusan nya itu adalah bosnya sendiri. Lagi pula Ailen hanya mengingat wajah Angga yang terakhir di lihat nya sebelum akhirnya semuanya menjadi kabur.

Dengan langkah tergesa-gesa, Ailen berlari keluar kamar. Menuruni tangga dengan hati-hati, sembari memastikan bahwa dugaan nya itu tidak salah.

Langkah kakinya menyusuri lorong tangga yang sedikit gelap, hanya ada sinar lampu dari luar sisi jendela yang membantu penglihatan Ailen malam itu. Rumah yang sangat sepi dan kosong. Ailen mengernyit, bahkan dinding-dindingnya begitu dingin.

"Udah bangun?"

Mendengar suara laki-laki dari ruangan di belakang nya membuat Ailen beringsut kaget. Sungguh, ia benar-benar takut sekarang. Sampai-sampai keringat dingin mulai berjatuhan dari pori kulitnya.

"Siapa Lo!!!" Serunya dengan suara bergetar namun sebisa mungkin Ailen menyembunyikan rasa takutnya itu.

Ailen sudah mengambil ancang-ancang melarikan diri saat langkah kaki laki-laki itu semakin mendekat. Dia hampir saja berteriak sekuat tenaga kalau saja lampu di ruangan itu tidak menyala dan menampakan pemilik suara tersebut.

Kali ini Ailen mematung di tempatnya berdiri dengan mulut yang menganga.

(Nata!!!)

"Sampe kapan lo mau berdiri disitu?!"

Ailen menoleh. Ternyata Nata sudah berada di dapur. Sejak kapan dia berada disana? Gadis itu keheranan. Dari tempatnya berdiri, Ailen mengamati Nata yang sedang sibuk mengeluarkan beberapa kotak makanan dari kantong plastik lalu memindahkannya di dalam mangkok yang ada di atas meja makan.

Perlahan Ailen menghampiri. Ia berhenti di ujung meja dapur sambil tetap mengamati. Entahlah, sekarang dia tidak tau harus memulainya dari mana. Meskipun banyak pertanyaan yang menghinggapi hatinya.

Ia kembali mengingat-ingat kejadian malam itu. Dan hasilnya tetap nihil. Ailen tidak berhasil mengingat apapun setelah kejadian malam itu. Padahal ia begitu yakin, jika ia sempat berbicara pada seseorang. Seperti bayangan, dan sangat samar.

"Ini hari apa?" Dari sekian banyak pertanyaan. Justru pertanyaan itu yang pertama kali keluar dari bibirnya. Ailen mengumpat.

Nata berhenti, lalu menatap Ailen sejenak sebelum kembali sibuk menyiapkan makanan di atas meja makan. "Sabtu."

"Sabtu?!" Ailen mengulang kata-kata Nata, keningnya berkerut. "Tapi bukannya hari ini, hari Jum..."

"Bukan. Ini hari Sabtu." Tambah Nata dengan penuh keyakinan.

Kerutan di kening Ailen semakin kusut. "Tapi waktu itu gue ada di kafenya Mas Angga, kenapa gue bisa ada disini? Terus sebenernya gue ada dimana sekarang? Kenapa juga bisa ada Lo?" Serbu Ailen.

Lain halnya Nata yang tampak begitu santai. Ia menyantap semangkuk soto mie tanpa perduli pada Ailen yang sedang menunggu jawaban Nata dengan cemas.

"Pertanyaan Lo bakal gue jawab satu-satu. Gue nggak bisa jawab sekaligus karena gue lagi makan."

Nata melirik sejenak ke arah Ailen sebelum melanjutkan. "Lo ada di rumah gue. Kenapa Lo bisa ada disini, ya karena waktu Lo pingsan kemarin, gue yang bawa Lo kesini! Ke rumah gue!"

Ailen terbelalak. Mulutnya sudah terbuka hendak menyanggah namun Nata lebih dulu menimpali.

"Lo kemarin demam. Kayaknya gue kasih obat kebanyakan dosis deh, makanya Lo sekarang baru bisa bangun!"

Sudut bibir Nata terangkat. Jelas ia sedang tersenyum, meski tipis Ailen bisa melihat itu dari tempat ia berdiri sekarang.

"Hah-!!! Apa?!" Ailen tercekat, tidak bisa berkata apa-apa. "Te-te-rus siapa yang gantiin baju gue?"

"Gue." Sambil sesekali memasukkan sesendok kuah soto Nata menjawab pertanyaan Ailen tanpa rasa bersalah.

"Apa?!" Sekali lagi Ailen mendelik. Suaranya terdengar meninggi karena merasa tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.

"Iya, Gue. Kenapa emang?" Ulang Nata.

"YAAAAKKK!!!! Lancang banget sih Lo! Dasar cowok brengsek, Lo it—"

Nata berdiri, menggeser kursi lalu mengemasi mangkok bekas makanannya ke dalam wastafel. "Baju lo kemarin basah banget kena keringat, kalo nggak langsung gue ganti nanti lo bisa nambah demam karena kedinginan." jawabnya enteng.

"Tapi lo nggak bisa seenaknya gitu aja gantiin baju gue dalam keadaan gue yang lagi nggk berdaya! Itu sama aja lo melakukan pelecehan seksual sama gue tau nggak?!" Tungkas Ailen geram. Ia mengeluarkan seluruh amarahnya. Seperti nya sekarang tenaganya sudah mulai pulih seratus persen.

Nata berdecih. Ia melirik Ailen sekilas. "Lo mending makan dulu. Gue udah beliin nasi Padang beserta lauk pauknya tuh di meja! Gue tau Lo pasti laper. Abis makan nanti Lo gue anterin pulang. Dikamar udah ada baju ganti bersih, tadi pagi Angga dateng kesini nganterin itu." Katanya panjang lebar.

Ia menyipratkan sisa air yang ada di tangannya. Setelah dirasa cukup kering dan bersih ia hendak melangkah menuju kamarnya. Sebelum itu, ia berhenti sejenak dihadapan Ailen yang masih melongo dengan raut wajah kesalnya. Nata menahan senyuman ketika menyadari sikap Ailen yang langsung menyilangkan kedua tangannya begitu ia mendekat.

"Tenang aja kali Ai, Gue nggak napsu sama cewek ber dada rata kaya Lo." Tuturnya sembari menggerakkan ke dua tangannya memutar.

"YAAAA!!! Nata brengsek! Cowok bangsat! Cabul! Pergi lo ke neraka!" Ailen sungguh meradang. Sepertinya kata-kata makian di dalam kamusnya tidak cukup memuaskan amarahnya malam itu. Dan ia begitu yakin, Nata cabul itu sedang menertawakannya di balik punggungnya itu.

Ailen kembali ke kamar dengan wajah memerah. Di sana, disofa samping jendela kamar ia melihat Tote bag. Ia mengintip isi didalam Tote bag itu, lalu mengeluarkannya satu per satu. Sebuah celana jeans biru serta kaos longgar abu-abu, tak lupa juga jaket kesayangan miliknya. Angga memang benar-benar tau selera berpakaiannya. Untuk sejenak Ailen tersenyum.

Dia lalu menanggalkan kemeja yang melekat di tubuhnya. Mengganti dengan celana jeans dan kaos oblong. Ailen menatap sebentar dirinya dari balik cermin. Dengan susah payah tangannya meraba balutan kain kasa di punggungnya. Masih ada sedikit rasa nyeri disana, namun lebih baik daripada kemarin.

"Udah selesai?" Nata sudah bersandar di pintu kamar. Kedatangannya sepertinya mengejutkan Ailen yang baru saja meloloskan kaos oblong di tubuhnya.

Ailen mengehela nafas kesal. "Bisa nggak sih lo ketuk pintu dulu? Gue lagi ganti baju!"

Nata mengangkat kedua bahunya. "Tapi udah selesai kan? Lain kali tutup pintu kalo emang mau buka-bukaan di kamar. Udah lah Cepet turun, gue tunggu di luar! Sebelum kemaleman, dan kayaknya bentar lagi ujan. Gue nggk mau kehujanan gara-gara nganterin Lo pulang!"

"Dasar! Siapa juga yang minta dianterin balik! Gue bisa balik sendiri!" Ailen menggerutu begitu Nata menghilang dari hadapannya.

****

Mobil berhenti di sebuah gang sempit yang terlihat begitu gelap karena memang hanya ada satu penerangan yang berada di ujung gang itu. Di tambah hujan turun begitu deras, membuat pandangan terhalang tirai-tirai hujan yang berkabut.

Prediksi Nata memang tepat. Malam itu hujan benar-benar turun, bahkan tanpa ampun. Langit seperti sedang menumpahkan semua kesedihannya, dan melampiaskannya pada bumi.

"Dimana kos-kosan Lo?" Tanya Nata setelah mereka diam cukup lama di dalam mobil.

Ailen tidak langsung menjawab. Dia masih kesal. Sebelum ini, ia ngotot ingin pulang sendiri. Tidak sudi menerima tawaran Nata. Mereka berdua terlibat adu mulut yang lagi-lagi membuat Ailen diam tak berkutik. Apa lagi sekarang ia berhasil sampai dengan selamat tanpa kehujanan sedikit pun. Cowok itu pasti merasa menang dan diatas angin. Ah, Ailen benci jika harus berhutang budi pada seseorang.

"Disana! Masuk gang itu!" Ailen menunjuk dengan menggerakan wajahnya ke samping.

"Tunggu!!!" Nata mencegah Ailen yang hendak membuka pintu mobil.

"Apa lagi?"

Nata mengambil payung yang tersimpan dibawah jok belakang. "Gue anterin sampe depan kos-kosan Lo!"

"Nat. Nggak usah, gue bisa sen—" suara Ailen tertelan. Nata sudah terlanjur turun menerabas hujan.

"Ayo turun!" Teriak Nata di tengah suara deras hujan.

Ailen menurut. Dia tidak berkata apa pun karena ia tau semuanya akan percuma saja.

"Kenapa jalannya minggir-minggir gitu sih! Sini, nanti Lo kena air ujan!" Nata menarik lengan Ailen untuk mendekat. "Lo mau bikin usaha gue sia-sia, karena udah susah payah nganterin lo, hah? Mana hujan, dingin begini!"

Langkah Ailen berhenti, ia menoleh sambil memicingkan mata ke arah Nata yang sama-sama menatapnya tajam. "Gue emang dari awal nggk mau ya buat dianterin pulang!"

Ia bisa melihat Nata menarik nafas dalam. Dia tidak bicara, namun sorot matanya itu membuat Ailen langsung bungkam. Gadis yang sudah membentengi diri dengan tembok besar bernama apatis itu kini seperti tidak berkutik. Ia sendiri bingung, kenapa dirinya dengan begitu mudahnya dapat terintimidasi oleh Nata, lelaki yang bahkan belum satu minggu ia kenal.

Mereka berdua kini berjalan beriringan dalam diam. Keduanya tenggelam dalam perasaan masing-masing hingga akhirnya mereka berhenti didepan sebuah rumah bertingkat tiga yang hanya di pagari dengan kayu tripleks yang sudah menghitam.

"Udah sampe, sekarang Lo boleh pergi!" Sergah Ailen ketus tanpa menoleh ke arah Nata.

Nata mengangguk. Ia hendak memutar tubuhnya saat ia melihat dua orang laki-laki keluar dari salah satu kamar kos itu. Seorang perempuan muda dengan pakaian minim ikut keluar mengiring mereka sampai ke pintu.

Dua orang laki-laki itu melewati mereka berdua, pergi menerabas hujan menggunakan sepeda motor. Nata bisa mencium bau alkohol begitu menyengat saat ia berpapasan dengan dua laki-laki itu. "Dimana kamar Lo?"

Ailen mendelik. "Astaga Nat!"

"Gue pulang setelah liat Lo masuk ke kamar! Jangan lupa kunci rapat pintu sama jendela kamar!" Tutur Nata.

Ailen mendengus. Ia lalu berlari meninggalkan Nata menuju ke kamarnya yang berada di lantai dua. Dan benar saja, dari balik tirai jendela Ailen melihat Nata benar-benar pergi setelah ia berhasil masuk ke dalam kamar kosnya.

Gadis itu mencengkeram ujung tirai lusuh hingga akhirnya tubuhnya merosot ke lantai. Perasaan yang sama yang dulu pernah ia rasakan kembali menyeruak di dalam hatinya. Ailen menggeleng kasar, mengusir semua pikiran serta menyanggah segala perasaan yang sedang menyelimutinya.

Untuk ke dua kalinya. Dia tidak akan jatuh ke lubang yang sama. Dia tidak akan tertipu untuk ke sekian kalinya. Perasaannya sudah mati, ia tidak akan membiarkannya menghangat lagi. Hatinya telah lama kosong, dan sudah seharusnya seperti itu. Dia tidak akan membiarkan seseorang untuk datang dan mengisi kekosongannya lagi.

Ailen hanya tidak ingin dipermainkan oleh harapan yang selalu meninggalkannya di saat ia benar-benar membutuhkannya.

****

Langkah gadis itu berhenti di tengah-tengah lapangan sepak bola yang akan menuju ke kelasnya. Sejenak ia menghirup udara dalam-dalam. Pagi ini cuaca begitu cerah, Ailen tidak suka sebenarnya. Namun setidaknya hari ini semuanya kembali seperti semula. Orang-orang kembali sibuk dan tidak memperdulikannya lagi. Ailen suka itu, seperti layaknya bayangan yang keberadaannya tidak akan di sadari oleh orang-orang di sekelilingnya.

Semuanya masih berjalan dengan lancar, hingga akhirnya ia kembali berhenti saat ia melihat pemandangan di depannya. Disana, di lorong di depan kelas 9c Alif sedang berdiri bersama gerombolan temannya bercanda menggoda beberapa teman perempuan mereka yang lewat.

Anak itu melihat ke arah Ailen, seketika tawa di bibirnya pudar. Namun kali ini rasanya berbeda. Ailen tidak melihat sengat kebencian terpancar dari sorot matanya. Entahlah, Ailen hanya merasa seperti itu saja.

"Hai Ailen?!!" Sapa salah seorang cowok di tengah gerombolan itu.

"Senyum dong Ai! Tiap hari liat Lo berasa suram banget kaya kuburan masih basah." Teman yang lain, yang berada di samping Alif ikut menimpali. Terdengar beberapa yang lainnya tertawa terbahak-bahak mendengar celotehan temannya itu.

"Bisa aja lho bro, kuburan basah!" Sahutnya lagi.

Dari sudut matanya, Ailen melihat Alif hanya diam sambil sesekali tertunduk dan sibuk dengan ponselnya. Cih! Ailen tidak ingin ambil pusing, ia tidak perduli. Bahkan jika anak itu menari-menari telanjang di hadapannya, gadis itu akan acuh. Meskipun terkesan aneh dan membingungkan, dia tidak akan terkecoh lagi.

Ailen melewati gerombolan itu tanpa reaksi. Walaupun ia di goda habis-habisan bahkan di antara mereka ada yang meneriakinya dengan kata-kata yang tak pantas di ucapkan. Babon?! Ailen mendesah pasrah. Ah, rumor itu memang sudah merebak cukup lama. Tapi memang apa yang bisa Ailen lakukan? Tidak ada guna nya menyangkal dan berkoar-koar mereka tidak akan percaya padanya.

Ia sudah menduga lama, bahwa rumor itu berawal ketika salah seorang temannya tanpa sengaja melihat nya di tengah-tengah bar cafe dini hari. Dan entah bagaimana beberapa foto dirinya di tempat kerjanya itu serta foto ia tengah keluar dari kos-kosan daerah lokalisasi bisa tersebar dan terpampang di Mading sekolah.

Jika hanya karena itu, Ailen tidak akan menangis. Hatinya tidak sesakit, ketika mendapati Alif juga berada di tengah-tengah kerumunan itu, dengan tatapan yang entah tidak bisa dibaca oleh dirinya. Semua orang memandang rendah dirinya dengan kata-kata kasar yang nyaris menembus jantungnya. Alih-alih mati terbunuh oleh mulut-mulut liar mereka, Ailen justru terpojok dan mati hanya oleh tatapan Alif yang langsung meremukkan hatinya.

Ailen tidak menyangka siapa yang akan di temuinya di ruang BK. Alif sedang duduk disana, menoleh ke arahnya tanpa ekspresi. Dihadapannya berserakan foto dirinya yang menjadi topik mading pagi itu. Dan begitu ia tidak ingin mempercayainya, dunia seperti menyangkalnya.

"Eheeemm!!"

Gadis itu tersentak. Ia kembali dari lamunannya. Seseorang menarik hoddienya dari belakang membuat Ailen menoleh.

Nata sudah duduk di sampingnya. Ia menunjuk ke depan kelas dengan ujung dagunya, lalu menatap Ailen yang masih mengerutkan kening kebingungan.

Ahhh! Ailen tersadar. Ia melirik ke depan kelas. Seorang guru tengah berjalan masuk sambil membawa beberapa buku dan notebooknya. Dengan tergesa Ailen melepaskan jaketnya dan memasukkannya ke laci meja.

Untuk beberapa saat, suasana diantara mereka begitu canggung. Beberapa kali Ailen mencuri pandang, namun teman sebangkunya itu terlihat fokus mengikuti pelajaran. Ailen memejamkan mata sejenak, mungkin hanya dirinya yang merasakan kecanggungan itu mengintimidasi.

Entah, yang jelas Ailen merasa ada sesuatu yang mengganjal di dalam hatinya. Sungguh, ia hanya ingin segera keluar dari situasi seperti ini.

"Ehhmmm, makasih!"

Meski terdengar dingin. Jujur Ailen mengucapkan itu dengan setulus hatinya. Dia bukan orang sejahat itu yang memperlakukan seseorang yang sudah sedikit menyelamatkannya.

Nata menoleh. Aktivitas mencatatnya berhenti sejenak untuk sekedar menatap Ailen. Duduk di baris paling belakang memang sedikit menguntungkan jika ada di saat-saat seperti ini.

"Buat yang kemarin, makasih. Karena udah bantuin gue!" Ailen cepat-cepat menambahkan.

Nata hanya mengangguk samar. Lalu kembali melanjutkan catatannya. Tanpa ada komentar apapun keluar dari ujung bibirnya.

Ailen yang menunggu sadar tengah dipermainkan. Dia mendengus kasar, hingga tanpa sadar membanting buku tulisnya di atas meja hingga seisi ruangan tertuju padanya.

Harusnya Ailen tidak berterima kasih. Harusnya dia tidak membiarkan perasaannya luluh pada laki-laki seperti Nata. Ia tidak boleh percaya pada siapapun, Ailen sungguh paham jika tidak ada yang memperlakukannya dengan benar-benar tulus.

Tangan nya meremas ujung meja, tatapannya berusaha fokus pada buku pelajaran namun fikirannya nyalang entah kemana. Bukankah Ailen sudah memutuskan, ia sudah bertahan sejauh ini. Dan rasanya jika harus kembali menyerah pada hidupnya, Ailen justru merasa ia seperti mengkhianati dirinya sendiri.

"Sama-sama," Bisik Nata.

Suara itu pelan seperi angin yang tertiup masuk menggelitik telinga Ailen. Begitu tiba-tiba hingga Ailen menghentikan aktifitas menulisnya. Gadis itu menoleh, terpaku dan mematung saat disana ia melihat Nata tersenyum. Meski tidak kentara, Ailen tau senyum itu adalah untuk dirinya.

🥀🥀🥀