Chereads / Youniversal / Chapter 4 - Semuanya sudah terlambat

Chapter 4 - Semuanya sudah terlambat

Ailen menutup buku paket yang baru selesai ia rangkum. Ujian akhir tinggal menghitung hari lagi, ia sepertinya sudah begitu siap. Ailen menghirup nafas dalam-dalam, tidak sabar menunggu saat itu tiba. Ia hanya ingin cepat-cepat keluar dari tempat itu. Meninggalkan semuanya. Hatinya, perasaannya, juga kenangannya. Untuk memulai lembar baru di hidupnya tanpa ada siapapun yang mengusiknya.

Ia bangkit dari kursi perpustakaan. Sebelum mengembalikkan buku-buku itu kembali ke tempatnya. Ia memilih keluar ke arah balkon perpustakaan yang menghubungkan langsung dengan pemandangan taman belakang sekolah.

Ailen begitu suka menyendiri disini. Di bagian belakang perpustakaan. Apa lagi kalau bukan jauh dari keramaian. Kebanyakan siswa sekolah ini jarang menggunakan bagian belakang perpustakaan yang katanya berhantu. Benar-benar konyol memang, tapi Ailen beruntung karena hal itu. Tempat ini menjadi tempat favoritnya untuk berkencan dengan buku-buku disana.

Tangannya menggenggam erat pagar balkon yang dingin itu. Matanya terpejam, merasakan hembusan angin dingin menerpa wajahnya. Benar-benar kedamaian. Sudah lama Ailen tidak merasakan hatinya se-tenang ini.

Tak ada beban yang menggelayuti fikirannya. Sungguh, Ailen hanya ingin seperti sekarang ini. Diam-diam hatinya memohon kepada Tuhan, kali ini tolong biarkan doanya naik ke atas menembus langit. Jangan biarkan hatinya kembali berharap. Ia takut, bahwa jika dibiarkan hatinya akan kehilangan kepercayaan-Nya.

Senyum Ailen memudar, matanya terbelalak terkejut ketika ia merasakan hembusan nafas di belakang telinganya. Ia segera berbalik ke belakang, namun tidak di seseorang disana. Ailen berlari masuk ke dalam, ia menoleh kesana kemari barang kali tadi memang ada seseorang yang datang ke tempatnya itu. Namun dari kejauhan, di bagian tengah perpustakaan hanya ada beberapa siswa yang sedang duduk membuat kelompok belajar.

Ailen menunduk lemah. Mungkin memang hanya perasaannya yang salah. Mungkin juga karena ia yang selalu menyendiri seperti ini mulai mengalami halusinasi.

"Nyari siapa?"

Gadis itu tersentak ke belakang. "Astaga NATA!!!"

Nata tengah berdiri dihadapannya mengamati. Lagi-lagi sorot matanya begitu tajam, langsung membidik tepat pada sasaran di depannya. Membuat Ailen gelagapan dan memilih menghindar.

Ailen sendiri tidak mengerti, apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya saat ini. Gadis itu seperti melemah, keteguhannya mulai goyah. Rasanya ingin berteriak, menolak se keras-kerasnya dan menyuruh laki-laki itu untuk pergi.

"Apa muncul tiba-tiba itu emang hobi lo ya? Bisa nggak sih lo nggak bikin gue kaget!" Ailen meremas dadanya yang masih bergejolak hebat. Ia hampir percaya cerita konyol yang menyebutkan jika bagian belakang perpustakaan ini memang berhantu. Dan hantu itu kini memang tengah berdiri di sampingnya. Berdiri, dan tidak berhenti menatap. "Dasar setan!"

"Ada apa?" tanya nya setelah lama tak ad tanggapan dari lawan bicara.

Ailen kemudian bergegas kembali ke meja perpustakaan tempatnya menyalin rangkuman. Lalu segera mengemas tumpukan buku untuk di kembalikan ke tempatnya.

Nata terlihat masih mengekorinya di belakang. Lalu ikut berhenti begitu Ailen berhenti pada salah satu rak buku.

"Lo nggk nanya kenapa gue ada disini?"

"Emang penting gitu? Bukan urusan gue!" Jawab Ailen tak perduli.

Lama-lama Ailen jengah. Nata sepertinya tidak berniat untuk berhenti mengganggunya saat itu. Ailen tidak nyaman jika Nata terus memperhatikannya dengan raut wajah yang tak bisa ia baca.

"Oke! Kenapa Lo disini?" akhirnya Ailen yang menyerah.

Nata tersenyum tipis. Lalu memberikan sebuah plester luka kehadapan Ailen. "Nih, buat ganti plester di lengan Lo yang udah buluk!"

"Oh., Iya nanti gue ganti." Ailen hendak memasukan plester luka itu kedalam saku bajunya namun Nata tiba-tiba merebut dengan kasar plester luka itu dari tangannya.

Cowok itu menyergap Ailen. Mengunci tubuhnya di antara rak buku. Ia Menarik lengan Ailen dengan paksa, dengan ujung giginya Nata membuka plester luka lalu menempelkannya ke luka di lengan Ailen yang masih setengah kering.

"Nat, Lo apa-apaan sih?" Ailen mulai meradang.

"Timbang di suruh ganti plester aja susah amat sih?!" Nata tak kalah garang.

"Gue bisa sendiri Nat!!!"

Nata mengepalkan tangannya erat. Sekali lagi hendak menyanggah, namun kehadiran guru BK di ujung lorong mengejutkan mereka berdua.

"Nata, sudah kamu susun semua buku-buku yang masih dikarton sana?"

Nata mengangguk pelan. "Sudah Bu.,"

"Ya sudah kalo gitu, jangan bolos-bolos lagi ya kalo nggak mau kena hukuman yang lebih berat! Ini tahun terakhir kamu lho, harusnya kamu mengejar ketertinggalan kamu, bukan malah membuat masalah seperti itu." Tuturnya panjang lebar. Lantas setelah itu berlalu pergi.

Ailen mendengus. Ia lalu melempar sisa buku yang ada di genggamannya ke depan dada Nata dengan sekuat tenaga. Kali ini ia berniat meninggalkan perpustakaan, namun tertahan karena Nata kembali mengurung tubuhnya dengan salah satu tangannya yang bebas.

"Nat!! Please, apa lagi sekarang? Minggir nggak?!" Kata Ailen nyaris berbisik namun penuh penekanan.

Nata tetap tak bergeming. Gerahamnya mengatup kuat, ia seperti menahan sesuatu. Sesuatu yang akan meledak disana. Dan sekarang Ailen mulai ketakutan, sorot mata itu persis seperti sorot mata Rei yang selalu mencoba untuk membunuhnya.

"Minggir atau gue teriak sekarang!" Ancam Ailen.

Gadis itu bisa bernafas lega ketika Nata yang perlahan melepaskan genggaman tangannya dari rak buku. Bahkan sekarang Ailen tidak berani balas menatap ke arah Nata. Entah lah, Ailen tidak tau kenapa ia menghindar. Takut kah? Ia sendiri tidak bisa menjelaskan pada siapa sebenarnya perasaan itu ia tunjukkan. Pada dirinya? Atau pada Nata? Laki-laki misterius yang menyimpan segudang rahasia dan kesakitan di wajahnya.

Pertanyaan-pertanyaan itu tidak berhasil menemukan jawabannya bahkan setelah Nata pergi tanpa sepatah katapun. Laki-laki itu meninggalkan Ailen yang masih terpaku sendirian, bersama dengan perasaan yang sudah tidak mampu lagi ia kenali.

****

Kakinya menuruni tangga metromini dengan goyah, pandangannya kosong menatap ke dapan. Rumah kosnya masih jauh beberapa ratus meter disana, ia harus berjalan kaki lagi dari halte tempat ia turun. Dan sekarang kenapa rasanya perjalanan menuju rumah kosnya terasa begitu panjang dan memuakkan.

Ailen mendengus. Lebih tepatnya mengeluh. Lalu dia mengernyit sesaat, merundung dirinya sendiri yang entah sejak kapan jadi sering mengeluh seperti ini.

Tidak tau.

Ia menghela nafas frustasi. Langkahnya berhenti tepat di ujung lorong bawah jalan tol yang sepi. Ke dua tangannya terangkat menutupi wajahnya dan mengusapnya ke atas hingga menyisir ruas rambutnya yang dibiarkan terurai berantakan. Tubuhnya bergetar. Ailen menangis. Batinnya meronta, jiwa nya seperti menyerah.

Kenapa hidupnya begitu menderita? Kenapa semuanya terasa begitu sulit untuknya? Pertanyaan itu berputar di kepalanya. Tidak, ini takdir. Sudah seharusnya hidup Ailen menderita. Itu sudah dituliskan begitu ia lahir kedunia ini. Selamanya akan tetap seperti itu, tak ada yang berubah meskipun ia sudah dengan berusaha keras mencobanya.

Usahanya seperti sia-sia, kekuatan yang selama ini ia banggakan bagai runtuh tak tersisa. Keputusannya memilih untuk bertahan dan menjalani hidup yang semestinya memang salah. Seharusnya sudah sejak lama ia mati. Ailen ingin hilang, Ailen ingin pergi bersama semua kesakitan dan penderitaannya yang tidak berujung ini.

Lagi pula tidak ada yang ia harapkan lagi. Selama ini ia sendirian, tak ada siapa pun yang sudi berbagi luka dengannya. Bahkan Tuhan pun sepertinya enggan memberikan rahmat padanya. Lalu untuk apa lagi ia masih berada disini? Toh, lagi pula jika ia benar-benar mati tidak akan ada yang mencarinya. Ia akan menghilang sebagai kenangan tanpa nama.

Ailen sudah lelah. Ia ingin semuanya berakhir. Gadis itu hanya inginkan kedamaian, ketenangan. Itu saja. Jika Tuhan saja tidak mengijinkan hidupnya penuh dengan ketenangan dan kedamaian bagaimana dia bisa meminta sebuah kebahagiaan dari-Nya. Ailen tidak se serakah itu.

(Haruskah?)

(Haruskah aku melakukannya?) Ailen menyeringai.

"Benar. Aku harus melakukannya. Agar semuanya selesai, aku harus menyelesaikannya sekarang!"

Pandangannya menyapu sekeliling. Mencari sesuatu yang cukup tajam, yang bisa mengoyak pergelangan tangannya hanya dalam satu sayatan saja. Lalu tatapannya berhenti pada tumpukan botol minuman keras yang tersembunyi di antara semak-semak. Gadis itu berlari ke sana, tanpa pikir panjang mengambil sebuah botol lalu melemparkan nya ke sisi tembok hingga menyisakan ujung botol yang runcing.

(Satu sayatan saja. Ya, satu sayatan saja dan semuanya akan selesai.)

Gadis itu sudah mengambil ancang-ancang. Ia mengangkat ujung botol kaca itu ke depan pergelangan tangannya. Matanya terpejam, menunggu detik-detik panjang kematiannya yang akan terasa begitu menyakitkan.

Satu...

Dua...

Tiga...

Prraanggg!!!!

Ailen terbelalak ketika ia merasakan kerah bajunya dijenggut oleh seseorang. Kejadian itu begitu cepat, Ailen bahkan tidak menyadari dirinya sudah berada di pinggir lorong dengan tubuh yang membentur tembok.

"Gadis goblok!!! Apa yang mau Lo lakuin?!! Lo mau mati? Apa lo mau coba bunuh diri hah?!"

Laki-laki paruh baya, dengan tubuh tinggi besar berdiri dihadapannya. Penampilannya begitu berantakan. Rambut gerondongnya seperti dibiarkannya tak tersisir. Ia menatap Ailen dengan nafas tersengal-sengal. Sementara Ailen berdiri mematung dengan tubuh yang masih gemetar hebat.

"Benar. Gadis goblok yang udah Lo selametin nyawanya. Kenapa? Kenapa Lo lakuin itu?" Mata Ailen mulai berkaca-kaca. "Nggak. Gadis goblok ini baru sadar, Lo nggak pernah nyelametin gue. Dari awal Lo pembunuhnya! Lo yang udah bunuh gue sejak lama. Ayah!!!"

Kini giliran Rei yang terbelalak. Suara Ailen yang gemetar terdengar begitu menyakitkan baginya. Selama ini Rei tidak perduli pada ratapan Ailen yang menangis meminta ampunan darinya saat tangan-tangan itu menyiksa tubuh putrinya yang tidak berdaya. Bahkan Ailen tidak pernah mencoba melawan nya. Namun hari ini hatinya benar-benar terasa pilu saat mendengar kelimat itu keluar dari bibir Ailen.

Ailen mengangkat kemeja seragamnya. Menunjukan bekas-bekas luka sayatan dikedua pergelangan tangannya. "Lihat! Lihatlah baik-baik! Seberapa banyak Lo udah bunuh gue? Lo selalu bilang ini semua salah gue? Ah, nggak. Bukan. Ini bukan salah gue. Ini semua salah Lo, semuanya salah Lo! Gue yang pergi, gue yang mati dan Lo yang sendiri, semuanya hilang, bahkan mamah yang pergi. Itu semua karna Lo!" ucap Ailen penuh amarah.

Rasanya sore itu hatinya benar-benar remuk dan hancur. Semuanya terluapkan, namun ia tidak merasakan kelegaan apapun didalam dadanya. Justru seperti tercabik hingga tubuhnya hancur tak tersisa.

"Lo yang ninggalin kami berdua. Lo yang pertama pergi, Lo yang berubah. Satu-satunya yang bikin kita berdua hancur itu adalah Lo! Jadi sebenernya siapa disini yang goblok? Gue?! Atau Lo?!"

Mendengar itu Rei langsung mencengkeram leher Ailen dengan kedua tangannya. Seperti kerasukan setan Rei nampak sudah tidak mengenali Ailen yang semakin kehabisan nafas.

"Dasar jalang! Tau apa lo? Lo cuman anak bau kencur yang nggak tau apa-apa! Memang seharusnya gue bunuh lo sebelum si Linda melahirkan lo ke dunia ini! Lo penyebab semua, lo anak pembawa sial!" Serunya dengan beringas.

Kenyataan bahwa Lelaki yang sedang mencekik lehernya itu adalah Ayahnya sendiri membuat air mata turun dari kedua sudut mata Ailen. Kini bisa merasakan seluruh tubuhnya yang mati rasa, kulit tangannya pun mulai menguning. Inikah saatnya? Ailen tersenyum.

"Bener. Bunuh aja gue! Lagipula gue emang menginginkan hal ini. Bunuh aja gue! Bunuh kalo emang bisa buat Lo puas, Ayah!" kata Ailen dengan susah payah.

Detik itu, tubuh lelaki yang dipanggilnya Ayah itu gemetar. Genggaman kedua tangan di lehernya mulai mengendur. "Kenapa?" Tanya Ailen sambil berdecih.

Sudut bibir Ailen terangkat, melukis sebuah senyum merendahkan.

Saat keduanya terdiam saling beradu tatapan. Ailen menunggu. Entah apa yang sedang Rei pikirkan. Kedua matanya menatap Ailen, namun dengan penuh arti. Gadis itu meringis, sempat hatinya hampir mengikuti alur suasana yang diciptakan oleh Ayahnya sore itu.

Satu-satunya yang patut disalahkan adalah Ayahnya. Lelaki itu yang berubah, lelaki itu yang meninggalkan semuanya. Dia monsternya, dia penjahatnya. Dan Ailen tidak akan pernah melupakan hal itu.

(Bruuuk!!!!)

Tubuh Ailen terpelanting. Ia sungguh merasakan seakan tulang rusuknya bergemeretak saat beradu dengan jalanan aspal. Dengan susah payah ia berdiri. Di seberang jalan sana, gadis itu melihat seseorang tengah bergulat dengan tubuh tinggi besar Rei.

Ailen tidak bisa melihat dengan jelas karena lampu jalan yang begitu remang-remang. Hanya ia seperti mengenali anak laki-laki berseragam sekolah yang sama seperti dirinya sedang bersusah payah mengunci tubuh gempal Ayahnya dengan kedua kakinya.

Tak butuh waktu lama, Ailen sudah pasti tau siapa pemenang dari pergulatan dua laki-laki tersebut. Ya, Ayahnya berhasil lolos dengan luka lebam tak berarti yang terdapat di beberapa sudut wajahnya. Ia sudah beranjak pergi, setelah menatap sebentar ke arah Ailen dengan raut muka yang begitu menyesal.

Gadis itu berjalan menghampiri anak laki-laki yang terkapar sambil memegangi perutnya.

"Hai," sapa nya canggung. Ia masih memegangi bagian bawah perutnya sambil meringis menahan sakit.

Ailen mendengus. "Lo bego atau apa, hah?"

****

Alif memperhatikan gadis yang sejak tadi sibuk mencari-cari handuk di laci kecil yang terdapat disamping tempat tidurnya. Lalu ia merendam handuk itu ke dalam baskom berisi air hangat yang sudah ia siapkan beberapa saat yang lalu.

"Jadi ini tempat tinggal Lo?" Alif melihat sekeliling kamar kos itu dengan seksama hingga ke atap-atapnya.

"Iya." Jawab Ailen setelah terdiam sesaat. Dari sudut matanya ia mengawasi gerak-gerik Alif yang duduk disamping ranjang. Dia masih melihat-lihat ke sekeliling kamar kosnya. "Jangan lakukan itu! Lo bikin gue tersinggung."

"Apa?" Pandangan Alif beralih ke arah Ailen yang berdiri memunggunginya. Ia masih sibuk menyiapkan sesuatu.

"Jangan pernah coba untuk kasihan dengan keadaan gue!" Ailen memutar bola matanya. "Lo tau sendiri maksud gue!"

Alif tersenyum samar karena masih menahan perih akibat luka lebam di seluruh wajahnya. "Nggak kok, gue biasa aja." Jawabnya.

"Bagus," Ailen membalas cepat.

Ia kini berjalan menghampiri Alif dengan membawa handuk dan kotak obat kecil ditangannya. Ailen mengambil posisi duduk dengan bertumpu pada kedua lututnya menghadap ke arah Alif.

Untuk sesaat ketegangan di antara mereka berdua mencair. Seperti tidak ada lagi rasa enggan dan kebencian di antara mereka. Tembok besar yang menghalangi keduanya seakan hilang dengan sekejap. Alif juga sepertinya melunak. Tak ada tatapan benci dimatanya, tak ada kata cemoohan yang menyayat hati Ailen keluar dari bibirnya itu.

Entah lah, Ailen sendiri tidak mengerti kenapa ia bisa mencair dan melupakan semua mimpi buruknya tentang Alif hanya dalam hitungan detik saja.

Malam itu hanya ada cerita tentang Ailen dan Alif, itu saja.

Ailen menyeka noda darah di wajah Alif dengan hati-hati. "Kenapa Lo bisa ada di sekitar sini? Lo ngikutin gue?"

"Iya." Jawab Alif tanpa mengalihkan pandangannya dari Alien, meski sesekali ia meringis ketika gadis itu menyeka lukanya.

Ailen berhenti sesaat, pandangan mereka bertemu. "Hmm, kenapa?" Tanyanya sambil berusaha menguasai degup jantungnya yang tiba-tiba tak beraturan.

Alif mengangkat bahu. "Nggak tau,"

Gadis itu tersenyum samar. Ia kini beralih pada obat luka, lalu pelan-pelan kembali mengoleskan ke wajah Alif. "Dasar bego! Untung cuman bonyok. Bisa aja Lo mati dipukulin orang segede bokap gue!"

"Ya kalo gue mati, anggep aja gue lagi nggak beruntung."

Ailen langsung berpaling. Manik mata keduanya kembali bertemu. Untuk sekian detik batinnya mencelos mendengar kalimat yang keluar dari bibir Alif itu. Lalu dengan senyum yang sedikit mengambang, Ailen menggeleng pelan.

Ia kembali mengoles obat ke wajah Alif dengan telaten. Mencoba tak perduli, namun gejolak didadanya kian berantakan.

"Apa ini sakit?" Kata Alif tiba-tiba. Tangannya perlahan terjulur hendak menyentuh leher Ailen yang sedikit kemerahan.

"Apa?!" Ailen begitu terkejut. Tubuhnya menegang saat permukaan kulitnya bersentuhan dengan telapak tangan Alif yang sedikit berkeringat namun terasa begitu hangat di sekujur tubuhnya.

Gadis itu melihat tatapan mata Alif yang begitu sayu. Sadar bahwa situasi yang terjadi saat itu adalah kesalahan, Ailen langsung beringsut menjauh. "Lo ngomong apa sih? Pertanyaan itu tuh lebih cocok ditunjukin buat lo dari pada gue!"

"Lihat! Keadaan lo itu lebih memprihatinkan dari pada gue!"

"Maaf. Harusnya gue datang lebih cepet tadi," tambahnya benar-benar menyesal.

Ailen terdiam dan mulai berkeringat. Ia merasa udara semakin panas di ruangan kamarnya itu.

(Kenapa?)

"Sebaiknya Lo pulang deh sekarang!" Ailen hendak beranjak keluar kamar, namun langkahnya terhenti saat mendengar Alif membuka suaranya.

"Maafin gue. Ailen." Katanya lirih. "Dan jangan pernah lakukan itu lagi! Jangan pernah berfikir untuk mengakhiri hidup lo sendiri, Ai?!"

Ailen tertegun. Hatinya mencelos, dan perasaannya campur aduk. Suara Alif bagai sebuah bisikan yang berdesir dan menggoyahkan hatinya kembali.

🥀🥀🥀