Malam sudah semakin larut hanya menyisakan suara merdu jangkrik yang saling bersahutan. Gadis kecil yang sebelum nya tengah berkelana di dalam mimpi indahnya terbangun. Ia kini hanya terbaring, meringkuk didalam selimut dengan tubuh yang gemetar hebat. Gadis kecil itu menangis.
Suara berisik dari luar kamarnya menjadi satu-satunya alasan yang membuat dia menangis terisak. Sesekali ia mendengar suara ibunya berteriak, atau suara beberapa barang pecah belah yang jatuh dan beradu dengan lantai. Meski tidak begitu mengerti, isi di dalam kepala kecilnya itu mencoba mencerna situasi yang sedang terjadi di dalam rumahnya.
Perlahan kaki-kaki kecilnya turun dari ranjang. Malam itu ia akan mencoba memberanikan diri melihat apa yang sedang terjadi sebenarnya. Alasan kenapa ia selalu mendengar suara ibunya yang selalu menangis di setiap malam.
Tak ada lagi pelukan yang menyambutnya begitu ia membuka pintu rumah. Tak ada lagi kecupan yang selalu Ailen kecil tunggu di kala ia ingin beranjak tidur. Semuanya menjadi kaku, dingin, benar-benar tak ada kasih yang memancar dari wajah ke dua orang tua nya.
Ibunya yang selalu duduk melamun, tatapannya kosong melihat dedaunan yang gugur dari balik jendela. Lalu setelah itu, ia melihat Ibunya menangis histeris hingga nyaris memutus pergelangan tangannya menggunakan pisau dapur.
Lalu bagaimana cara Ayahnya pulang ke rumah dengan penampilan berantakan. Ailen kecil menyambutnya dengan senyuman begitu membuka pintu, tapi ia seperti tidak terlihat olehnya. Ayahnya melewatinya begitu saja, langsung masuk menuju kamar dan setelah itu teriakan dan tangisan Ibunya kembali menggema di seluruh ruangan rumah sederhana itu.
Kejadian itu terus menerus berulang, hingga Ailen kecil mengerti bahwa semua yang terjadi di dalam keluarganya itu adalah salah.
"Kenapa kamu nggak bunuh saja aku mas?!"
Kata-kata itu keluar dari mulut ibunya yang duduk tersungkur di lantai begitu ia membuka pintu kamarnya. Kakinya hampir melangkah untuk menghampiri Ibunya yang sedang menangis tersedu-sedu namun tertahan begitu melihat sosok Ayahnya yang muncul dari dari balik tubuh ibunya.
Gadis itu melihat sendiri. Bagaimana rambut Ibunya dijambak dan di seret hingga membentur lantai.
"Siapa yang nyuruh Lo ke rumah si tua sialan itu! Siapa?!" Teriak ayahnya. Suaranya begitu menggelegar ditengah malam yang begitu sunyi.
Detik itu juga gadis kecil itu menangis histeris. Tak ada yang bisa ia lakukan. Tubuhnya hanya diam berdiri di depan pintu kamar dengan gemetar. Ia menangis hingga ia merasa pandangannya mulai kabur. Hingga tanpa disadari tubuhnya direngkuh oleh ayahnya, pergi meninggalkan rumah itu dengan tubuh ibunya yang tergeletak begitu saja dilantai.
"Jangan harap kamu bisa bertemu dengan Ailen lagi!"
(Krrriinggggg...)
Ailen tersentak kaget. Matanya terbelalak menatap langit-langit kamarnya. Ia melirik jam weker yang ada di samping tempat tidurnya, lalu menghela nafas panjang setelah mematikan dering jam wekernya. Samar-samar cahaya matahari mengintip dari tirai jendela.
Mimpi buruk lagi. Resahnya dalam hati.
Ia kemudian bangkit. Mengumpulkan seluruh tenaganya untuk bangun dan bergegas menuju kamar mandi. Mungkin guyuran air dingin bisa membuat perasaannya lebih baik pagi itu.
Ailen mematut dirinya di cermin, lalu menghela nafas kasar. (Kapan semuanya akan berakhir?) Pertanyaan itu muncul kembali di benaknya. Pertanyaan sama yang selalu ia utarakan namun tak pernah ia temukan jawabannya. Jika memang Tuhan belum mengijinkan dia untuk tiada, kenapa Tuhan harus selalu mempersulit langkahnya.
Dunia memang begitu kejam padanya. Dunia seperti ingin melihat Ailen hancur perlahan-lahan. Hingga akhirnya ia menua dan mati lalu di lupakan.
****
Ailen memeriksa ponselnya sambil terus berjalan menuju ke sekolahnya, ia membaca satu persatu pesan yang masuk ke ponselnya. Gadis itu meringis, sudah berapa lama ia melupakan ponselnya hingga ratusan pesan masuk muncul begitu ia mengaktifkan dan menyalakan notifikasi.
Angga lebih banyak mengiriminya pesan, menanyakan kabarnya yang tidak masuk kerja selama empat hari terakhir lalu ia memberikan sebuah foto struk pengiriman gaji yang Ailen terima bulan ini. Ailen berdecih, ada berapa orang aneh yang ia temui dan salah satu diantaranya adalah bos pemilik kafe tempat ia bekerja.
Laki-laki itu selalu mengancam akan memecatnya jika Ailen selalu absen pada jadwal kerjanya, tapi nyatanya itu tidak pernah terjadi. Ia tersenyum, saat mendapati jika bosnya itu mengirim penuh uang gajinya bulan ini, tanpa adanya potongan satu rupiah pun.
Ailen memantapkan hati, ia harus berterima kasih padanya nanti. Sebelum benar-benar sampai ke sekolahnya, ia harus melewati beberapa ruko toko dari halte tempat bus nya berhenti. Salah satunya adalah ruko apotik yang buka selama dua puluh empat jam, Ailen menghentikan langkahnya disana.
("Jangan pernah lakukan itu lagi! Jangan pernah berfikir untuk mengakhiri hidup lo sendiri, Ai!")
Cukup lama Ailen berdiri mematung di halaman toko apotik. Ia nampak menimbang, sebelum akhirnya ia mantap memilih untuk memasuki toko itu.
"Selamat datang. Bisa saya bantu mba, mau mencari obat apa?"
Pelayan yang berdiri di meja kasir langsung menyapa begitu lonceng di pintu masuk berbunyi.
Ailen memaksakan senyum terbaik nya meski terkesan begitu kaku. "Saya mau cari obat oles buat luka lebam mba."
Pelayan itu balas tersenyum. "Ada, sebentar akan saya ambilkan!" lalu tidak lama kemudian pelayan itu kembali membawa satu bungkus obat oles dan memasukkannya ke dalam kantong plastik. "Ini mba!"
"Berapa?"
Pelayan apotik menuliskan nota, lalu menyerahkannya kepada Ailen. "Tiga puluh ribu,"
Ailen mengambil beberapa lembar uang sepuluh ribuan dari dalam dompet. Setelah mereka berdua selesai melakukan transaksi, Ailen keluar dari dalam apotik itu. Ia menyimpan obat oles lebam di dalam saku jaket nya. Lalu kembali melanjutkan perjalanan nya.
Entah kenapa, pagi itu langkahnya begitu ringan. Seperti tak ada lagi rasa enggan yang menggelayuti hatinya. Ailen merasa sedikit lebih tenang daripada sebelumnya. Yang jelas satu beban seperti terangkat dari kedua pundaknya.
(Apakah ini akan menjadi awal yang baik?) Ailen berharap, jika memang akan seperti itu. Bahkan sekarang gadis itu tidak menyadari kalau perasaan nya mulai menumbuhkan harapan baru pada sesuatu yang belum tentu akan ia dapatkan.
Gadis itu tidak mengira, hari ini semuanya berjalan dengan begitu lancar bahkan hingga tiga mata pelajaran berlalu. Tak ada kesulitan yang berarti. Nata yang biasanya selalu mengganggunya juga lebih banyak diam dan fokus memperhatikan pelajaran, anak itu sama sekali tidak mengajak Ailen bicara alih-alih basa-basi untuk mengajaknya diskusi tentang beberapa soal yang tadi mereka kerjakan.
Ailen tidak tau apakah ia harus bersyukur pada Nata yang tiba-tiba berubah menjadi anak pendiam. Ia senang, setidaknya tak ada yang mengganggu atau pun mencampuri urusannya hari ini. Namun sisi lain di hatinya merasa menyesal. Ailen menduga perubahan Nata pagi ini sepertinya karena ada hubungannya dengan dirinya.
Dari tempat Ailen berdiri sekarang di depan gedung aula sekolahan ia bisa melihat segerombolan anak sedang melakukan penilaian dengan guru olahraga mereka. Anak perempuan memilih berteduh di bawah pepohonan, menghindari sengatan matahari yang begitu membakar kulit siang itu. Mereka asik bercanda, berlarian kesana kemari.
(Bagaimana rasanya seperti itu?) Ailen bergumam dalam hati. Ia ingin melakukan hal yang sama seperti anak-anak perempuan di bawah sana. Lantas pandangannya beralih ke arah kumpulan anak laki-laki yang sedang bermain bola di tengah lapangan. Mereka tertawa lepas, bergurau hingga melakukan hal konyol bersama-sama.
Di sana, tepat di bangku yang berada di pinggir lapangan duduk seorang anak laki-laki yang sedang memegang sesuatu di tangannya. Ailen tidak melepaskan tatapan padanya, ia bahkan tersenyum senang ketika melihat anak itu memakaikannya pada luka lebam di wajahnya.
Jangan tanyakan bagaimana caranya Ailen bisa memberikan obat oles itu hingga ke tangan penerimanya. Ia sampai harus mengukuhkan diri agar keberaniannya benar-benar bisa di andalkan meskipun tubuhnya benar-benar tegang dan gemetar.
Tidak pernah terpikirkan sebelumnya oleh Ailen bahwa ia bisa melakukan hal se nekat itu. Dia ingat betul bagaimana jantungnya berdegup kencang saat ia mengendap-ngendap masuk ke ruang ganti anak laki-laki. Benar-benar melelahkan, ia harus memeriksa keadaan di sekitar sebelum akhirnya berhasil masuk dan menaruh obat oles itu pada loker yang ia tuju. Gadis itu sempat berucap bahwa ini adalah untuk yang terakhir kalinya, dan dia tidak akan mengulanginya lagi.
"Siapa dia?"
Seseorang datang dan menginterupsi tiba-tiba. "Alif," tanpa sadar Ailen mengucapkan nama yang sejak tadi mengapung di dalam kepalanya.
"Oh, namanya Alif?!" tambahnya lagi.
"Ya, apa?" Ailen menoleh nampak linglung.
Disampingnya sudah berdiri Nata yang sama-sama melempar pandangan pada anak-anak yang sedang berolahraga di bawah sana. "Jadi cowok itu namanya Alif? Dia siapa? Pacar lo?"
"Hah?!!" Ailen sempat terdiam sejenak, lalu setelah kembali pada kesadarannya ia memilih melenggang pergi. "Bukan!"
"Lalu kenapa lo ngelihatin dia terus sampe kaya gitu?" Nata ternyata mengikuti langkahnya di belakang. Tentu saja anak itu tidak akan menyerah sebelum dia mendapatkan jawaban yang di inginkan nya.
"Maksudnya?" Ailen mengerutkan dahi. Sungguh rasa ingin tau Nata itu benar-benar mengusiknya. "Emang harus gue kasih tau semua yang gue lakuin ke elo?"
"Iya," Nata menjawab mantap. Kakinya berhenti tepat saat Ailen tiba-tiba berbalik dan menatapnya dengan tangan terlipat di depan dadanya.
"Kenapa?"
Kini giliran Nata yang mengalihkan pandangan. Ia tertunduk, lalu menggaruk keningnya sesaat.
"Kenapa lo nggak bales pesan-pesan gue?!" Dia justru balik bertanya alih-alih menjelaskan kenapa ia selalu ingin tau dan ikut campur kehidupan gadis dihadapannya itu.
"Apa?" Sekarang Ailen benar-benar kebingungan.
"Coba periksa dulu handphone lo!"
Ailen menuruti perintah Nata. Ia mengambil ponsel dari saku baju seragamnya. Gadis itu kembali membuka kotak pesan, memang ada banyak pesan masuk dari nomor tak di kenal namun Ailen tidak begitu tertarik untuk membacanya waktu itu. Kemudian ia berdecih.
"Jadi lo yang spam pesan sebanyak ini ke gue?" Ailen menggeleng tak percaya.
"Itu karena lo nggak kunjung bales pesan-pesan gue," timpal Nata.
Sekarang Ailen tau alasan dibalik sikap Nata yang begitu dingin padanya hari ini. Tanpa sadar ia mengangguk, hatinya tergelitik hingga ingin menertawai sikap konyol Nata itu.
"Lo nggak simpen nomor gue?" Tanya Nata ketika melihat gelagat Ailen yang hendak memasukkan kembali ponsel miliknya ke dalam saku baju seragam.
"Iya nanti gue simpen,"
"Sini!" dengan cepat Nata merebut ponsel itu dari tangan Ailen.
"YAAA, NATA!!" teriak Ailen. Ia berusaha mengejar Nata yang sudah jauh berlari menjauh darinya. Anak itu selalu bersikap seenaknya, dan kini Ailen sedikit menyesal telah membiarkan Nata menyelami kehidupannya.
"Nih, ada telepon masuk!" Nata berhenti dan berbalik, ia menyerahkan ponsel kepada Ailen yang bergegas merebutnya. Ailen benar-benar kesal, dan Nata bisa mengetahuinya lewat raut wajah yang gadis itu tunjukkan padanya.
"Balikin Nat! Jangan berbuat seenaknya kaya gitu sama gue lagi, ingat itu!" Ailen mendengus. Ia lalu mengangkat telepon tanpa melihat dahulu siapa yang sedang menghubunginya. "Iya hallo," Ailen mengernyit, lalu melirik sekilas layar ponselnya. "Iya benar saya Ailen, anda siapa?"
Mata Ailen terbelalak begitu mendengar seseorang di seberang sana melanjutkan kalimatnya, bahkan setelah itu ia merasa telinganya berdengung hingga terasa kebisingan di sekitarnya lenyap begitu saja.
"Ai, ada apa?" Tanya Nata menyadari keanehan di raut wajah Ailen yang tiba-tiba menegang setelah menerima telepon itu.
(Ayah meninggal.)
Ailen merasa lututnya lemas seketika. Ponsel yang sejak tadi berada di samping telinganya kini terjun bebas di lantai. Gadis itu tak menghiraukan Nata yang sekarang benar-benar khawatir pada keadaannya. Ia memilih mengambil langkah pergi, setengah berlari menuju rumah sakit yang alamatnya sempat di beri tau oleh seseorang di seberang telepon itu.
Kakinya terus berlari, menerabas kerumunan anak-anak yang ramai berkeliaran di depan kelas mereka. Tak perduli beberapa anak yang mengumpatnya karena merasa terganggu dengan kehadiran Ailen yang merusak suasana. Ia bahkan lupa meminta ijin terlebih dahulu untuk meninggalkan sekolahan, ia hanya ingin secepatnya pergi untuk memastikan bahwa kabar yang ia dengar bukanlah kabar yang sebenarnya.
****
Ailen mengatur nafas sejenak begitu kakinya menginjak lantai IGD rumah sakit tersebut. Dadanya terasa nyeri setelah ia berlari dari persimpangan jalan jauh di depan jalan sana hingga ke rumah sakit. Ia terlalu tidak sabar menunggu kemacetan jalanan yang tampaknya tidak akan mengurai dalam waktu cepat.
Setelah bertanya pada perawat yang berjaga di ruang IGD, ia bergegas kembali masuk lebih jauh ke dalam rumah sakit. Perawat itu menyuruh Ailen untuk pergi ke kamar jenazah yang berada di bangunan paling belakang. Lambat laun gerakannya makin melambat, kakinya terasa begitu berat melangkah apa lagi ketika Ailen semakin memasuki lorong demi lorong rumah sakit itu.
Saat sampai pada persimpangan lorong terakhir, disana Ailen melihat beberapa orang polisi tengah berdiri di depan sebuah ruangan. Ailen menelan ludahnya, tubuhnya begitu gemetar hingga nyaris terjatuh kalau saja tangannya tidak bertumpu pada pegangan kayu yang memanjang di sepanjang tembok rumah sakit.
Seorang polisi datang menghampiri Ailen. "Dek Ailen? Ailen yuki kazuto?"
Ailen mengangguk pelan. Polisi itu terus berbicara kepadanya, namun bagi Ailen suara polisi itu terdengar samar di telinganya. Langkahnya yang sedikit tersendat memberanikan diri masuk ke dalam ruangan itu.
Disebuah ranjang yang terhampar didepannya terbaring tubuh yang yang sudah terbungkus kantong penutup jenazah. Saat itu jantung Ailen serasa berhenti. Apalagi ketika ia menyadari banyaknya darah yang masih menetes hingga jatuh ke lantai.
Gadis itu meremas rok nya dengan erat saat seorang polisi menyuruh perawat laki-laki untuk membuka kain penutup jenazah.
(Jangan!) Sanggah Ailen yang sayangnya hanya mampu tertahan di dalam hatinya. Tubuhnya kini mulai dibasahi oleh Keringat dingin yang turun tanpa komando. Ia hampir saja menjerit ketika ia merasa seseorang menarik tubuhnya untuk berbalik.
"Jangan lihat! Lo nggak perlu melihatnya!" seru Nata yang kini tengah berdiri memeluk erat Ailen yang menggigil. Nata bisa merasakan ketakutan yang dirasakan Ailen saat itu. Tangan gadis itu yang begitu dingin mencengkeram kuat lengan nya hingga kebas.
Seorang perempuan dengan perekam suara di tangannya datang menghampiri polisi. (Wartawan), Ailen melirik sekilas ketika mereka berdua berpapasan saat Nata mencoba menuntunnya untuk keluar dari ruang jenazah itu.
Samar-samar Ailen mendengar polisi menuturkan kronologi terjadinya kecelakaan pada dini hari tadi. "Iya, sudah di periksa. Ini murni kecelakaan, dari hasil laboratorium di temukan kadar alkohol yang tinggi di dalam darahnya,"
(Berhenti! Jangan teruskan!) Ailen memejamkan mata, otaknya mulai menggambarkan bagaimana kronologi kejadian. Ia mengibaratkan dirinya sendiri berada disana menyaksikan bagaimana Ayahnya pergi menjemput ajal dengan cara sangat mengenaskan.
"Ya, ada saksi disana. Menurut penuturannya, korban memang sedang mabuk saat itu. Dia berusaha menyeberangi jalan, namun tidak menyadari kedatang truk. Malam itu, memang sedang terjadi pemadaman listrik sementara, mungkin pengemudi truk tidak melihat ada seseorang yang akan menyebrang hingga akhirnya terlambat menekan tuas rem."
Tanpa sadar cengkeraman Ailen pada lengan Nata semakin kuat.
"Ailen?" panggil Nata memastikan bahwa gadis di sampingnya itu baik-baik saja.
"Kita bisa melihat dari sisa-sisa darah di TKP, korban sepertinya sempat terlindas sebelum akhirnya terseret oleh mobil truk yang melaju hingga...,"
"Cukup. Hentikan! Jangan di teruskan lagi, saya mohon berhenti!" Ailen berteriak dari balik bahu Nata. Suaranya tercekat dan begitu menyayat, Ia tidak tahan mendengar polisi yang terus membicarakan Ayahnya yang bahkan sudah terbaring membeku disana.
Bagi Ailen itu sudah cukup. Ayahnya sudah menerima hukuman dari Tuhan. Tak perlu orang-orang ikut menghakimi, dan menjadi peradilan bagi Ayahnya yang kini sudah tidak ada lagi di dunia ini.
🥀🥀🥀