Saat Ana hendak membuka pintu kantor, ada mas Jupri dari dalam kantor ingin keluar. Hingga akhirnya Ana menghentikan tangannya dan menunggu mas Jupri keluar terlebih dahulu.
"Pagi mbak Ana?" sapa seseorang.
"Pagi mas Jupri," Ana menyapa balik.
"Mbak Ana, itu di rambut mbak Ana gak mau diambil dulu?" ucap mas Jupri sambil menunjuk ke rambut Ana.
"Rambut? Emang ada apa di rambut aku mas?" tanya Ana penasaran.
"Ada sehelai benang gitu mbak."
"Seriusan mas?" Ana bertanya memastikan.
"Iya mbak. Mau aku ambilin?"
"Coba mas, tolong!" ucap Ana sambil menundukkan kepala, agar mas Jupri bisa mengambil benang di rambut Ana.
Mas Jupri akhirnya mengambil sesuatu di rambut Ana. Benar kata mas Jupri, yang ada di rambut Ana adalah sehelai benang wol berwarna coklat.
"Dasar Kino!" ucap Ana.
"Siapa mbak?" tanya ma Jupri.
"Oh, bukan siapa-siapa mas. Makasih ya mas," ucap Ana sambil memasuki kantor.
Setelah melakukan absen menggunakan jari telunjuk, Ana bergegas menuju toilet.
"Kinooo!" ucap Ana di ponsel yang ia letakkan di telinga kanannya.
"Jahil banget sih lu. Awas ya! Gue bales nanti," ucap Ana lalu mematikan sambungan telfonnya.
"Aduh, gue udah salah paham nih sama Bapak yang di lift tadi. Semoga gue gak ketemu dia lagi selamanya," ucap Ana, lirih.
***
Meeting yang dibicarakan Riko kemarin malam benar-benar terjadi pagi ini. Walau anak magang, Ana selalu mengikuti setiap meeting yang dilakukan perusahaan. Bu Lidya yang selalu memanggil Ana untuk selalu hadir.
"Proposal yang kalian buat benar-benar memuaskan, thanks Riko!" ucap bu Lidya di akhir meeting.
"Iya Bu sama-sama. Untung saya lemburin di rumah Bu, semalem." ucap Riko.
"Dia yang lembur? Hah, dasar karyawan bermuka dua," batin Ana sambil tersenyum sarkas.
"O iya, Ana. Nanti ikut saya meeting dengan klien, ya?" ajak bu Lidya.
"Saya, Bu?" ucap Ana sambil menunjuk dirinya sendiri.
"Iya. Dan sehabis meeting ini, kamu ke ruangan saya, ya!"
"Baik, Bu"
Semua mata yang berada di dalam ruangan meeting menatap Ana dengan tatapan bermacam-macam, tak terkecuali Riko si karyawan nyebelin bagi Ana. Bu Lidya meninggalkan ruang meeting lebih dulu, baru menyusul karyawan-karyawan yang lain.
Saat Ana ingin beranjak dari kursi dan meninggalkan ruangan, ada sebuah kalimat yang diucapkan oleh seseorang.
"Seneng lu diajak meeting ketemu klien? Bu Lidya lu kasih apaan sih bisa baik sama lu?" ucap Riko.
"Aku gak ngasih apa-apa kok ke bu Lidya," ucap Ana.
"Dasar anak magang bermuka dua lu," ucap Riko lagi sambil berlalu meninggalkan Ana.
"Elu tuh yang bermuka dua," ucap Ana kesel dengan nada nyaris tidak bisa didengar oleh orang lain.
***
Masih di gedung yang sama tapi berbeda lantai. Ada seorang lelaki yang tampak memandangi luar gedung di dinding kaca belakang kursi kuasanya. Dia menatap ke arah jauh di luar gedung dengan tangan kanan menopang tangan kiri dan tangan kiri menopang dagunya yang tampak kasar karna rambut dagunya telah tumbuh pendek.
Aktifitas yang ia lakukan seolah sedang memikirkan suatu hal yang mengganggunya selama ini. Saat tengah terhanyut dengan segala pikirannya, ada sebuah bunyi yang bersumber dari pintu kantornya yang terketuk.
Tok tok tok.
"Masuk!"
"Maaf Pak, Ada klien yang ingin bertemu dengan Bapak di ruang meeting," ucap seorang wanita, berpakaian rapi.
"Dari perusahaan periklanan?"
"Iya, Pak."
"Baiklah, saya akan segera datang ke ruang meeting. Tolong kamu siapkan berkas yang harus saya bahas dengan mereka!"
"Baik, Pak," ucap seorang wanita cantik berlipstik merah merona sambil menutup pintu.
***
Ana dan bu Lidya telah sampai di sebuah perusahaan besar pemilik berbagai macam bisnis di Indonesia, dari mulai property, kuliner, bahkan departemen store ternama. Dan perusahaan ini juga sebagai pemilik untuk gedung yang ditempati perusahaan Ana magang. Dialah perusahaan Adi Guna Jaya, perusahaan bonafit yang memperkerjakan karyawan-karyawan dari penyandang disabilitas sampai semua orang yang mumpuni.
Rencananya Ana dan bu Lidya akan meeting bersama direktur utama di sini, dirut tersebut bernama Ridwan Adi Guna. Saat Ana tengah menata nafas agar tidak grogi saat mengikuti meeting, terdengar bunyi pintu diketuk lalu seorang wanita cantik yang Ana temui di ruangan depan sebelum memasuki ruangan meeting.
"Sebentar ya, Bu! pak Ridwan akan segera datang kemari," ucapnya.
"Baik, Mbak," balas bu Lidya.
Lalu si wanita cantik tadi yang tak lain adalah sekretaris pak Ridwan menutup kembali pintu ruang meeting dan meninggalkan Ana dan bu Lidya.
"Bu, saya balik ke kantor saja, ya?" ucap Ana tiba-tiba.
"Lhoh, kenapa?"
"Saya takut bikin salah, Bu, atau saya panggilkan kak Riko saja, bu?"
"Tidak usah An, kita gak butuh Riko."
"Kenapa, Bu?"
"Saya tahu kalau yang bikin proposal ini bukan dia, tapi kamu An."
"Ibu tahu dari mana?" tanya Ana penasaran.
"Jupri tadi yang bilang, katanya kamu sering lembur buat ngerjain kerjaan Riko dan beberapa karyawan lainnya."
Ana tak tahu harus bagaimana menanggapi kalimat bu Lidya, hingga akhirnya Ana hanya mengucapkan satu kata saja, yaitu "Oh."
"Jadi, sekarang kamu harus bisa membantu saya agar proposal kita mampu disetujui oleh pak Ridwan," pinta bu Lidya.
"Dengan cara apa, Bu?" tanya Ana dengan muka bingung.
"Dengan kamu menjelaskan isi dan maksud dari proposal ini," ucap bu Lidya sambil menunjuk ke berkas di hadapan Ana dan bu Lidya.
"Insya Allah, Bu, saya akan melakukan semampu saya"
"Oke, An."
Pintu ruang meeting kembali terketuk dan saat si sekretaris membukakan pintu untuk memberikan ruang bagi seseorang masuk. Spontan Ana dan bu Lidya bangkit dari duduknya untuk memperhatikan seseorang yang akan masuk, mungkin si pria tersebut adalah pak Ridwan.
Saat Ana telah berdiri sempurna dan menantikan siapa yang akan masuk, disitu Ana benar-benar tercekat dan terkejut. Serasa bumi berhenti berputar, dan hanya si pria yang bergerak sendirian. Ana tidak menyangka bahwa seseorang yang dia nantikan adalah seorang yang tadi pagi membuat dia salah paham.
"Mati gue," batin Ana.
Tatapan si lelaki benar-benar terlihat tenang tak terganggu dengan kehadiran Ana, dia mulai mempersilahkan Ana dan bu Lidya untuk duduk kembali dan memulai meeting hari ini.
Sepanjang meeting hari ini, pikiran Ana tidak full fokus ke arah materi meeting. Saat diminta bu Lidya untuk menjelaskan proposal meeting, Ana tetap menjelaskan setenang mungkin dan sejelas mungkin. Walau terkadang tatapan pria satu-satunya di ruang meeting instens menatap Ana, Ana selalu berusaha mengalihkan tatapan agar tak selalu berpapasan dengan tatapan pria di ujung meja meeting.
Beberapa saat kemudian, meeting hari ini selesai dengan hasil bahwa Ridwan Adi Guna menyetujui semua isi proposal yang dijelaskan oleh Ana.
"Saya akan tunggu proses iklan dari kalian," ucap seseorang yang bernama Ridwan.
"Baik, Pak," ucap bu Lidya.
"Kalau begitu, saya mohon undur diri," ucapnya.
"Silahkan pak Ridwan, sekali lagi terima kasih," ucap bu Lidya bersemangat.
"Anaaa, thank you, ya?" ucap bu Lidya sambil memeluk Ana.
"Iya, Bu, sama-sama." ucap Ana kikuk.
"Kamu akan aku beri komisi untuk hal ini, An."
"Ini bukan korupsi kan, Bu?" ucap Ana polos.
"Bukan An, aku memberikan ini karna aku merasa berterima kasih ke kamu."
"Bener ya, Bu, bukan korupsi?" tanya Ana menyakinkan.
"Bukan Ana!"
"Terima kasih, Bu"
"Sama-sama An, yaudah ayo balik ke kantor!"
"Baik, Bu," ucap Ana.
Saat Ana dan bu Lidya keluar kantor Adi Guna Raya, Ana melangkahkan kaki lebih cepat dan lebih lebar, hingga membuat bu Lidya menatap aneh gerak-gerik Ana.
"Kamu udah kayak maling yang lagi mau kabur aja An, jalannya."
"Hehehe, maaf bu. Ana kebelet pipis," ucap Ana memberikan alasan.
"Oh, pantesan. yaudah yuk buruan!"
"Iya, Bu."
Meeting barusan ternyata tanda bahwa doa Ana tidak dikabulkan oleh Tuhan, karna nyatanya Ana malah bertemu bahkan berada dalam satu ruang dengan pria lift yang Ana temui tadi pagi