Tok tok tok, Ana mengetuk pintu ruangan, milik bu Linda.
Setelah itu, ia mulai membuka perlahan pintu dan mengucapkan sebuah pertanyaan.
"Ibu, memanggil saya?" tanya Ana.
"Iya, An. Duduk!" pinta bu Linda.
Ana duduk dengan rasa penasaran. Penasaran, akan apa yang akan dibicarakan oleh bu Linda, siang ini.
"Gimana magang di sini? Kamu betah?" tanya bu Linda, dengan sangat santai.
"Oh, iya Bu. Saya betah kok," jawab Ana terbata.
"Kamu belum merasa betah, ya?" tanya bu Linda.
Ara yang mendapat pertanyaan tersebut, hanya bisa tersenyum ragu, tak tahu harus menjawab apa.
"Berapa lama lagi, kamu magang di sini?"
"Lima bulan lagi, Bu," jawab Ana.
"Syukurlah," ucap lega bu Linda.
"Kenapa, Bu?" ucap Ana penasaran.
"Pak Ridwan, minta project ini, harus kamu yang menyelesaikannya. Sedangkan batas penyelesaian project ini, masih ada tiga bulanan. Makannya, saya memanggil kamu ke sini, dan menanyakan berapa lama lagi kamu magang di sini. Sebenarnya, jika kamu sudah merasa betah, saya ingin meminta kamu untuk menjadi karyawan di sini," ucap bu Linda panjang lebar.
"Karyawan? Di sini? Dengan karyawan-karyawan yang gak suka sama gue?" batin Ana, lalu mengeleng-gelengkan kepalanya. Tanpa Ana sadari, bu Linda melihat gerak-gerik Ana. Dan sepertinya, ia paham dari sikap Ana.
"An?" panggil bu Linda.
"Oh, iya Bu."
"Kamu belum merasa nyaman, ya?"
"Hmm, sejujurnya, saya belum berpikiran sampai ke sana, Bu. Berpikiran untuk menjadi karyawan di perusahaan Ibu, rasanya berlebihan. Saya masih harus segera menyelesaikan kuliah terlebih dahulu, Bu," ucap Ana memberikan alasan, tanpa menjelekkan karyawan yang lain.
"Baiklah, mungkin memang kamu butuh waktu lagi. Kalau begitu, kita harus selesaikan project kita dengan pak Ridwan dengan baik dulu, ya? Saya hanya tidak ingin, mereka tidak puas dengan hasil kerja kita."
"Iya Bu. Saya akan berusaha dengan lebih baik, agar tidak mengecewakan project ini," jawab Ana dengan yakin.
Setelah perbincangan dengan bu Linda selesai, Ana kembali menuju kursi kerjanya, dan fokus dengan layar monitornya. Jangan tanya bagaimana pandangan karyawan-karyawan yang lain, setelah melihat Ana keluar dari ruangan bu Linda. Mereka seperti predator yang tengah mengintai mangsanya.
"Sumpah, gue berasa kayak nara pidana atau buronan aja!" batin Ana.
***
"Besok, aku mau ke Surabaya. Jangan bilang ke Papi, Mami, kalau aku ke sana sendirian," ucap Maya ke Ridwan, masih dengan posisi berdiri di dekat sofa ruang TV.
"Iya," jawab Ridwan singkat, sambil melihat ke arah Maya.
Dan secepat itu, Maya langsung pergi meninggalkan Ridwan di ruang TV, setelah kalimatnya ditanggapi oleh Ridwan. Maya berjalan menuju tangga ingin memasuki kamar pribadinya. Kehidupan keduanya, benar-benar tidak terlihat seperti pasangan suami istri. Mereka tetap tidur terpisah, dan hanya mengobrol seperlunya saja. Ridwan dan Maya telah sepakat, bahwa pernikahan mereka selama ini, hanya sebatas hubungan di atas kertas. Bukan atas dasar rasa suka dan cinta. Sampai saat ini pun, Maya masih memiliki hubungan dengan pacar sebelumnya. Pacar yang tidak pernah mendapat restu dari keluarga besarnya. Sedangkan Ridwan, ia masih sibuk dengan segala aktifitas dan kegiatan perusahaannya.
Ridwan memang tidak sedang menjalin hubungan dengan siapa pun, karena memang Ridwan belum menemukan seseorang yang bisa memikat hatinya. Dan baru beberapa hari ini, hati dan pikirannya teralihkan oleh seorang gadis muda yang ia temui di dalam lift. Siapa lagi kalau bukan Ana.
Ridwan seperti orang gila yang selalu menunggu segala hal tentang Ana. Baik hanya pesan singkatnya ataupun sebuah laporan project, yang sebenarnya bukan tugas Ana. Tapi Ridwan meminta Ana untuk melakukannya. Semua Ridwan lakukan, karena memang ia ingin bisa terus terkoneksi dengan Ana.
Bahkan, Ridwan sempat mengajak Ana untuk bertemu, dengan alasan membahas tentang perkembangan project. Tapi tetap saja, selalu ditolak oleh Ana dengan berbagai jenis alasan. Bukan Ridwan namanya, kalau dia mudah putus asa. Ridwan malah semakin gentar untuk terus menghubungi Ana.
Ridwan merasa, Ana menjadi gadis yang membangkitkan gairah cintanya. Setiap saat selalu terbayang wajah Ana, dan terkadang, ia mendengar suara Ana. Ridwan tidak peduli, jika akhirnya, Maya mengetahui akan Ana. Karena selama ini pun, Ridwan sudah tahu akan pacar Maya yang masih ia kencani.
Mereka berdua memang menikah, tapi kehidupan keduanya, tidak pernah menjadi satu, kecuali di depan kedua orang tua mereka masing-masing.
***
"Kin," panggil Ana, sambil menopangkan wajahnya ke kedua tangan yang berada di atas meja. Ana dan Kino, tengah berada di sebuah cafe. Karena sepulang dari kantor, Ana mengajak Kino untuk mampir ke cafe, untuk makan ice cream.
"Iya," jawab Kino. Lalu melakukan sesuatu yang sama seperti yang Ana lakukan. Yaitu menopangkan wajahnya ke kedua tangan di atas meja.
"Bu Linda, minta gue jadi karyawan di sana."
"Terus, jawaban lu gimana?" tanya Kino, yang masih betah dengan posisinya.
Banyak pasang mata, melihat tingkah Ana dan Kino. Kino pun menyadari itu. Tapi, ia lebih memikirkan Ana daripada pandangan orang lain terhadap dirinya. Ia tidak peduli, jika mereka beranggapan, bahwa Kino aneh dan lainnya. Yang terpenting, Ana tidak sendirian saat ini.
"Gue gak mungkin bisa di sana, Kin. Lu tahu sendiri, kan? Gimana karyawan di sana sama gue. Apalagi Riko," jawab Ana, sambil mengangkat kepalanya dari meja.
Kino yang melihat Ana sudah beranjak dari posisinya, membuat Kino melakukan hal yang sama juga. "Yaudah, kamu selesaiin magang aja! terus fokus sama skripsi," pinta Kino.
Ana yang mendengar kalimat Kino, hanya menganggukkan kepala, sambil mengaduk-aduk ice cream-nya asal.
"Andai aku bisa bantu kamu, An!" batin Kino sambil memperhatikan wajah Ana intens.
Dering ponsel, menyadarkan Ana yang tengah hanyut akan kegiatannya mengaduk-aduk ice cream. Ia pun langsung melihat layar ponselnya, yang tergeletak di meja. Ana dan Kino, memang selalu seperti itu. Meletakkan ponsel keduanya, jika mereka tengah bertemu dan berbincang.
Bukankah, mereka terlihat seperti sepasang kekasih?
Itu yang mungkin orang lain kira tentang keduanya. Tapi nyatanya, mereka hanya sebatas teman. Teman yang kata Kino, tak akan mungkin saling memiliki perasaan suka satu sama lain. Dan akhirnya, Kino malah memiliki perasaan itu terhadap Ana. Ia seperti senjata makan tuan, karena perkataannya sendiri.
Tertera dengan jelas, nama yang ada di layar ponsel Ana. Si Tukang Rempong, itulah nama yang tertera. Kino memiringkan kepalanya sedikit, seolah tengah menerka, siapa pemilik nama tersebut.
Ana langsung menjawab panggilan telfon tersebut, dan menjawabnya dengan sangat sopan. Tentu saja, jawaban yang Ana berikan, membuat Kino semakin penasaranm Bagaimana mungkin, Ana bisa sesopan itu dengan seseorang yang Ana namai aneh kontak nomer ponselnya.
"Kin, gue tinggal bentar, ya?!" ucap Ana pelan, sambil menutup layar ponselnya. Mungkin Ana berharap, suaranya tidak terdengar oleh seseorang yang tengah menelfonnya.
**
"Iya , Pak? maaf, tadi saya lagi sama temen saya," ucap Ana, melanjutkan sambungan telfon.
"Besok, temui saya di kantor saya! Jam Sembilan pagi," pinta seseorang ke Ana melalui sambungan telfon.
"Oh, ada perlu apa ya, pak?" tanya Ana, dengan nada yang hati-hati.
"Apakah, harus saya jelaskan di sini? Sebenarnya, di sini itu, yang harus mentaati dan ditaati itu, siapa?" ucap seseorang, yang sangat membuat Ana kesal.