Sudah semingguan sejak Ridwan memberikan nomer ponselnya ke Ana di sebuah toko buku. Dan sampai sekarang, Ridwan belum mendapatkan pesan atau pun telfon yang mengatasnamakan Ana. Ridwan merasa frustasi di dalam ruangannya sendiri, rasanya ingin berteriak dan menanyakan kenapa, tapi tak mungkin ia melakukan hal tersebut di ruang kerjanya.
Sepanjang hari, sejak pertemuan tak sengajanya dengan Ana, Ridwan tidak bisa tidur dengan nyenyak. Ia selalu terbayang dengan senyum ceria yang Ana selalu tampakkan saat membicarakan sesuatu yang ia suka dan ia pahami. Dan sikap badmoodnya kalau ia berhadapan dengan seseorang yang telah merusak waktunya.
Bagi Ridwan, Ana adalah wanita yang tidak bisa menyembunyikan perasaannya dengan baik, jika ia suka, ia akan menunjukkannya dengan sikapnya, namun jika tak suka, ia pun menunjukkannya lewat sikapnya. Bagi yang peka dalam memahami perilaku seseorang, maka Ana akan langsung terdeteksi.
Ridwan sudah dibuat penasaran dengan gadis mungil yang ia lihat untuk pertama kalinya di dalam lift kala itu. Dan dengan cueknya, Ana tak memperhatikan wajah tampan Ridwan yang mencoba menggodanya. Bahkan, Ridwan sampai menjatuhkan uang miliknya sendiri, untuk dapat mendengar suara Ana secara langsung.
Dan saat ini, sudah seminggu lamanya, Ana tidak menghubunginya. "Seharusnya gue gak percaya begitu saja tentang Ana yang akan menghubungi gue terlebih dahulu. Arrrrrrrgh, bodoh banget sih, gue." gumam Ridwwan dengan kesal.
"Ah, gue tahu harus bagaimana." ucap Ridwan sambil menjentikkan jarinya, seolah ia baru saja mendapat ide brilian.
***
"An, tolong ke ruangan saya!" pinta bu Linda, atasan Ana.
"Baik, Bu." Ucap Ana sambil berjalan menuju ruangan bu Linda.
Semua mata pegawai kantor memperhatikan Ana, termasuk Riko, pegawai yang sangat tidak menyukai Ana.
"Duduk, An!" pinta bu Linda.
"Makasih, Bu." Ucap Ana sambil menduduki sebuah kursi.
"Pak Ridwan, meminta kamu untuk selalu melaporkan, semua hal yang berkaitan tentang project yang tengah kita jalankan."
"Bukankah, sudah ada yang melaporkannya ke pak Ridwan, Bu?" tanya Ana.
"Iya, sebenarnya sudah ada yang bertugas melakukan hal tersebut. Hanya saja, pak Ridwan meminta kamu untuk yang melaporkannya mulai sekarang. Ini kartu nama pak Ridwan, kamu bisa melaporkannya ke nomer tersebut." Ucap bu Linda.
"Saya tidak melaporkannya ke sekretarisnya saja, Bu?" ucap Ana.
"Pak Ridwan inginnya, kamu melaporkannya langsung ke dia."
"Itu om-om, ngapain sih?" batin Ara.
"Baik, Bu. Mulai besok, saya akan melaporkan ke pak Ridwan, tentang proses project kita." Ucap Ana.
"Thank you, An. Kamu bisa lanjutin kerjaan kamu!"
"Baik, Bu." Jawab Ana.
Ana meninggalkan ruangan bu Linda, ia berjalan malas menuju meja kerjanya. Ia yang awalnya sudah tenang karna tidak harus bertemu dengan om-om itu, kenapa sekarang, malah disuruh menghubungi om-om itu.
Ana belum mengenal dekat semua pegawai di kantornya. Mereka masih me-anaktirikan Ana, dengan tidak mengajak ngobrol bareng, dan makan bareng. Ana sempat down gara-gara hal tersebut. Bagaimana bisa, seseorang bisa setega itu sama Ana.
"Mbak Ana kenapa?" tanya mas Jupri.
"Oh, gak papa, Mas. Biasa, mendekati makan siang, jadi lemot begini karna laper." Jawab Ana.
"Aku kirain kenapa? Mbak Ana mau nitip makanan?" tanya mas Jupri lagi.
"Gak usah Mas, makasih. Aku makan di luar aja, kok."
"Kalau gitu, saya turun duluan ya, Mbak?" pamit mas Jupri.
"Oke, Mas."
Sejak Ana diminta untuk menangani sebuah project iklan milik perusahaan besar di Indonesia, para pegawai sudah tidak meminta Ana untuk membelikan mereka makan siang. Tapi sebagai gantinya, Ana semakin dijauhi, dan tak pernah diajak berbincang dan bercanda lagi.
Sudah masuk bulan kedua, Ana magang di kantor bu Linda. Ana berharap, jika ia bekerja nanti, dan menjadi pegawai kontrak atau tetap, ia tak ingin bersikap seperti para pegawai di perusahaan bu Linda.
Ana menuruni lift, saat sudah waktunya para pekerja untuk istirahat makan siang. Tak lupa, Ana membawa sebuah ponsel dan dompet kesayangannya. Dompet yang sudah terlihat usang, tapi masih betah ia pakai. Bukannya Ana tidak mampu membeli yang baru, hanya saja, dompet tersebut adalah hadiah dari kakak lelakinya. Hadiah saat Ana merayakan ulang tahun yang ke lima belas tahun.
Saat ini, kakaknya tengah berada di luar negeri, menjalani pendidikan S2nya ke Inggis. Sang kakak tak tahu, jika Ana telah lama pergi dari rumah. Dan sepertinya, sang ayah juga tidak menceritakan tentang kepergian Ana, ke kakak lelakinya itu.
Ting, bunyi pintu lift terbuka.
Ana yang tengah sendirian menunggu di depan lift, langsung memasuki lift tersebut. Tak ada orang lain di dalam lift, hanya ada diri Ana dan pantulan dirinya sendiri di dinding lift. Ana memikirkan sesuatu, ingin makan siang apa hari ini. Setelah ia keluar dari lift, sebuah dering ponsel terdengar sangat nyaring. Memainkan sebuah lagu milik Bigbang, yang berjudul If.
Ana menjawab panggilan masuk tersebut, lalu mulai mengucapkan sebuah kalimat. "Kenapa, Kin?"
"Lu dimana? Gue udah di depan gedung kantor lu," ucap Kino.
"Ngapain?" tanya Ana.
"Mau ngajakin makan."
"Seriusan?" ucap Ana.
"Iya. Makannya, buruan nonggol!" ucap Kino.
"Iya, ini udah di lobby gedung.
"Oke, ditempat biasa ya?" ucap Kino.
"Okey." Jawab Ana sambil menutup sambungan telfonnya.
Ana sudah melihat mobil Kino berada di dekat gedung kantor Ana. Ia menghampiri mobil Kino, dan membuka pintu mobil lalu memasukinya.
"Kita mau ke mana?" tanya Ana setelah ia memasuki mobil Kino.
"Dipakai dulu seatbeltnya!" pinta Kino.
"O iya, maaf, sering lupa gue." Ucap Ana sambil menepuk jidatnya.
Ana memang selalu seperti itu, melupakan hal yang seharusnya dilakukan. Dan selalu Kino yang mengingatkan Ana.
"Kita mau makan ramen, gak papa, kan?" ucap Kino sambil melajukan mobilnya.
"Gak papa banget, dong. Lu gajian, ya?" tanya Ana tiba-tiba.
"Tahu aja lu, kalau gue nerima duit." Ucap Kino.
"Iyalah. Kan kalau lu dapet duit, gue selalu kecipratan. Dapet berapa, lu?" selidik Ana.
"Rahasia dong, kepo banget sih." Jawab Kino.
"Yee. Nanti kalau lu udah nikah tu, ATM lu bakal dibawa sama bini, lu. Dan elu, gak bakal pegang uang." Ucap Ana.
"Emang iya, ya An?" tanya Kino dengan muka terkejutnya.
"Kalau gue yang jadi bininya sih, bakal begitu." Ucap Ana dengan tawa ngeselinnya.
"Dasar lu! lu nakutin gue, ya?" tanya Kino.
"Nah, itu lu tahu." Ucap Ana dengan tawanya yang semakin ngeselin.
"Awas, lu ya! gak gue traktir nih," ucap Kino menatap kesel ke arah Ana.
"Jangan dong! Masa gitu aja, ngambek sih? Feminim banget sih, lu?" ucap Ana.
"Gue laki tahu, mau bukti?" ucap Kino.
"Mana buktinya?"
Kino langsung menghentikan mobilnya, dan mulai menghadap Ana.
"Eh, eh, mau ngapain lu?" ucap Ana sambil mengepalkan dua kepalan tangannya di depan dadanya.