Kino langsung menghentikan mobilnya, dan mulai menghadap Ana.
"Eh, eh, mau ngapain lu?" ucap Ana sambil mengepalkan dua kepalan tangannya di depan dadanya.
Kino semakin dekat dengan tubuh Ana. Hingga hanya beberapa centi saja, keduanya berjarak. Tangan Kino, mulai mengarah ke bagian belakang kepala Ara. Dan bug, suara tonjokan tangan Ara, tepat bersarang, di perut rata Kino.
"Aw, sakit, An?" ucap Kino meringis.
"Oh, sorry Kin. Abis, lu ganjen, sih." Ucap Ana, masih mengepalkan kedua tangannya, di depan dada Ara.
"Ganjen, apaan coba. Orang, gue mau benerin seatbelt lu, An. Kenapa, sampai ditonjok segala," gerutu Kino, dengan memegangi perutnya.
"Oh, abisnya, muka lu, nyeremin."
"Bukannya, elu yang nantangin tadi? kenapa, malah takut sendiri?"
"Ya, bukannya gitu, Kin. Gue kan, cuman becanda." Ucap Ana, merasa bersalah.
"Yaudah, benerin dulu, gih!" pinta Kino.
"Benerin, apaan?" tanya Ana, yang masih terlihat bingung.
"Seatbelt-nya, Ana kebo!" Kino merasa geregetan.
"Iih, ngeselin." Gerutu Ana, sambil membenarkan, seatbelt miliknya.
***
Kino dan Ana, sudah berada di sebuah restoran, yang menyajikan ramen. Karena memang, restoran tersebut, khusus untuk pecinta ramen. Kino dan Ana, menempati sebuah kursi, yang dapat melihat keadaan luar restoran.
"Mau, makan ramen yang apa?" tanya Kino, sambil membuka buku menu restoran.
"Jigoku Ramen Beef Bulgogi, level sepuluh." Ucap Ana dengan sangat yakin.
"Seriusan? lu gak takut kebakar, itu mulut!" ucap Kino, yang sebenarnya, sudah terbiasa dengan selera Ana. Jika Ana tengah ingin makan, makanan pedas, maka saat itu, Ana lagi banyak pikiran, atau pun stress.
"Serius banget," jawab Ana dengan sangat yakin.
"Yaudah kalau gitu," ucap Kino sambil melambai ke arah pegawai restoran.
Setelah mengucapkan pesanan yang diinginkan oleh Ana dan dirinya sendiri. Kini, Kino mulai membuka obrolan kembali, dengan Ana.
"Lu, kenapa?" tanya Kino.
Ana membenarkan posisi duduknya, saat mendengar pertanyaan Kino. Ana telah duduk menghadap Kino, setelah sebelumnya, ia menatap fokus, suasana di luar restoran.
"Om-om itu, bikin ulah lagi, Kin. Gak ngerti gue, sama maunya dia." Jawab Ana, dengan raut wajah yang terlihat kesal.
"Ulah apalagi, dia?""
"Masa, dia minta gue, buat ngelaporin perkembangan project, langsung ke nomer HP dia. Padahal kan, udah ada orang yang bertugas ngelaporin ke dia, Kin. Emang dasar, ngeselin itu orang." Ana menggerutu.
"An, kayaknya, lu harus hati-hati sama dia!"
"Iya, pasti itu, Kin."
Selang beberapa saat kemudian, pesanan mereka datang. Dua porsi ramen beda jenis dan rasa, dan beberapa pelengkap lainnya. Ana langsung fokus dengan mangkok ramen, dan menghirup aroma makanan tersebut, lalu membasahi kedua bibirnya.
Terkadang, mereka berdua suka berbagi ramen. Ana memakan sesuap dua suap ramen pesanan Kino. Lalu, Kino pun sebaliknya. Ia juga akan melakukan hal sama yang sama. Jika dilihat, mereka sudah seperti pasangan kekasih. Karena terlalu dekatnya mereka, dalam bepergian berdua.
Kino, akan selalu terlihat menjaga Ara, dan membuatnya merasa nyaman. Tak ada rasa canggung, bagi mereka berdua. Sekali pun, membahas hal yang privat, semisal, tentang perasaan mereka, pada orang lain.
Kino terkenal gonta-ganti pacar. Entah mengapa, hubungan percintaannya, tidak pernah lebih, dari dua bulan. Pasti, setelah memasuki bulan ketiga, Ana akan mendengar status Kino yang sudah jomblo lagi.
Ana hanya geleng-geleng kepala, memiliki sahabat yang kelewat playboynya.
"O iya, An. Kakak lu, balik kapan?" tanya Kino, saat keduanya telah menyelesaikan, kegiatan memakan ramen. Kini, mereka tengah bersantai, menghabiskan segelas minuman, yang dipesan.
"Gak tahu, gue belum nanya. Terus, Abang juga belum cerita apa-apa. Emang, kenapa, Kin?"
"Gue ngerinya, kalau pas Abang lu balik, lu gak ada di rumah. Kan bisa perang dunia tuh, Abang lu sama Bokap lu!" ucap Kino, bergidik ngeri.
"Iya juga sih, berarti, gue harus tahu dulu, kapan Abang mau balik. Biar gue bisa nyari-nyari alasan. Iya gak?" ucap Ana sambil mengedipkan sebelah matanya, ke Kino.
"Iya banget, itu. Nanti, gue coba nanya-nanya ke Abang lu juga deh. Kali aja, dia mau cerita ke gue."
"Nanti, kabarin gue, ya?!" pinta Ana.
"Siap, siap."
Setelah keduanya selesai menyantap ramen, mereka memutuskan untuk kembali lagi ke kantor. Kino, akan mengantarkan Ara terlebih dahulu, baru ia kembali ke kantornya.
Sebuah dering ponsel, mengalihkan Ana, yang baru saja memakai seatbelt-nya. Ia merogoh saku celana jeans yang ia kenakan, lalu mengambil ponsel miliknya.
Sebuah nomer tanpa nama, tengah menelfonnya. Ana terdiam sejenak, tak menjawab panggilan telfon tersebut. Hingga Kino, mulai menanyakan sesuatu.
"Siapa, An?" tanya Kino, sambil menyalakan mobilnya.
"Gak tahu, nomer baru." Jawab Ana, lalu memasukkan kembali ponselnya, tanpa ia jawab, panggilan telfonnya.
"Kenapa, gak diangkat? kali aja, itu Bokap lu."
"Kalau bener Ayah, berarti beruntung, kagak gue angkat." Jawab Ana dengan entengnya.
"Hush, gak boleh gitu, An!" ucap Kino.
"Karena kalau gue angkat, udah pasti, Bokap bakal nyeramahin gue lagi, Kin. Terus, ujung-ujungnya, minta gue buat nikah sama orang gak jelas itu."
"Ya, tapi kan, setidaknya, lu harus berbagai kabar sama Bokap lu."
"Iya, iya. Tapi, kenapa sekarang, malah elu yang nyeramahin, gue sih?" gerutu Ana.
"Hehehe, abisnya, enak nyeramahin elu." Tawa Kino menggelegar.
"Ngeselin."
"Yaudah, gue jalan, nih?" ucap Kino, mencoba mencairkan suasana lagi.
"Hem em," jawab Ana.
***
Tepat jam satu siang kurang sepuluh menit, mobil Kino sudah sampai di depan gedung, perkantoran Ana. Sepanjang perjalanan, mereka sudah kembali seperti semula. Awalnya, memang terlihat merasa saling diam. Oh, bukan mereka, tapi hanya Ara yang mendiamkan Kino.
Tapi, sebisa mungkin, Kino tetap berusaha mengajak Ana berbicara dan bercanda. Hingga akhirnya, Ana luluh, dan kembali ke versi Ana sebelumnya.
Ana memang sedikit sensitif, jika membicarakan ayahnya. Ia masih merasa kesal, jika membicarakan hal itu. Dan semakin kesal, saat Kino, sahabatnya, selalu membela ayahnya.
"Kin, thank you ramennya, ya? sorry, buat yang tadi?" ucap Ana, sambil melepas seatbelt.
"Sama-sama bocil, kan, elu emang begitu. Yaudah, happy working, ya? jangan banyak ngalamun!"
"Siap, Bos." Jawab Ana sambil melakukan sikap hormat.
Ana keluar mobil, dan berjalan memasuki gedung kantornya. Sedangkan Kino, ia memandangi Ana lama, sampai Ana tak terlihat lagi. Baru setelah itu, Kino melajukan mobilnya, meninggalkan area perkantoran Ana.
***
"Mbak Ana, dipanggil sama bu Linda." Ucap mas Jupri.
Ana, baru saja akan memasuki kantornya. Bergegas ia menuju ruangan bu Linda, setelah dia meletakkan semua yang ia bawa tadi. Ponsel, dan dompet kecil.
Tok tok tok, Ana mengetuk pintu ruangan, milik bu Linda.
Setelah itu, ia mulai membuka perlahan pintu dan mengucapkan sebuah pertanyaan.
"Ibu, memanggil saya?" tanya Ana.