Ding dong, bing bong....
Suara bel yang menandakan dimulainya istirahat menggema di kelas. Hampir semua murid yang ada di kelas ini menghela napas lega setelah menelan semua materi dan pelajaran yang disuguhkan di meja makan. Satu persatu dari mereka mulai berjalan keluar dari kelas menuju ke kantin. Ada yang memilih untuk bersantai dan bersandar di kursinya, ada yang memilih untuk membawa bekal untuk dimakan di kelas, ada juga yang memilih untuk tidur.
Tak terkecuali aku. Aku mungkin tak membawa bekal, namun aku membawa uang jajan yang siap untuk digunakan kapan saja.
"Yang lebih penting..." Aku menoleh ke arah sebuah meja. Itu adalah meja dimana Leila Fitriani, biasa duduk. Seorang teman sekelasku yang namanya tertulis dalam pesan yang kubaca semalam.
Oh, apa aku baru saja berkata "biasa"? Itu dikarenakan hari ini Leila tidak masuk sekolah.
Alasan dibalik absensinya adalah, terjadinya musibah terhadap adik perempuannya. Kemarin sore, adiknya mengalami sebuah kecelakaan mobil. Aku kurang tahu kronologisnya, namun dengar-dengar kecelakaan itu terjadi saat adiknya sedang dalam perjalanan pulang dari sekolah.
Akibatnya aku tak bisa menanyakan langsung mengenai pesan itu kepadanya.
Hal itu jugalah yang menuntunku pada satu hal yang lebih penting yang harus kubicarakan dengan Zaki. Berhubung sekarang sedang jam istirahat, kurasa sekarang waktu yang tepat untuk membicarakan pesan semalam sambil makan dan ngemil.
Baiklah, kurasa aku akan mengajaknya ke kantin.
Aku berbalik, menghadap orang yang duduk tepat di tempat duduk yang berada di belakang tempat dudukku. Untuk yang kesekian kalinya aku melakukan hal ini, berbalik menghadap seseorang yang biasa membuat kesal dan juga senang. Entah sudah berapa kali aku melakukan ini sehingga aku sudah merasa bosan.
"Oi Zaki—eh...."
Kenapa aku malah terkejut? Seharusnya aku sudah menduga ini.
Sebenarnya aku ingin menegurnya dan mengajaknya untuk pergi ke kantin, tapi ternyata dia malah tertidur di mejanya.
"Hei Zaki.... Zakiii...." Aku memanggil namanya sambil mencoba membangunkannya dengan terus menerus menepuk pundaknya.
"Ah, iya BU?!"
Kh—Kenapa dia tiba-tiba berteriak saat terbangun? Mendengar itu membuat telingaku terasa sakit.
Zaki tiba-tiba terbangun dan langsung berdiri sambil mengangkat bukunya. Meskipun begitu, pensil dan pulpen serta penghapus miliknya masih menempel di pipinya.
"Ah, eh?" Dia terheran-heran saat melihat kondisi kelas yang agak sepi. Dia terus menengok ke kanan dan ke kiri sambil mencoba mencerna situasi yang ada.
Baiklah, mungkin ini agak telat.
Dia adalah Zakaria Maulana. Bisa dibilang dia adalah sahabatku. Aku dan dia sudah kenal sejak kami berdia masih berada di kursi sekolah dasar. Dia itu agak keras kepala dan lumayan licik. Meski begitu, dia orang yang baik dan peduli dengan sekitarnya. Aku memanggilnya Zaki karena menurutku Zakaria itu terlalu panjang dan terlalu ribet untuk disebutkan.
Ngomong-ngomong dia adalah keponakannya Paman Tedi.
"Hah.... kenapa kau malah tertidur?" Kenapa aku malah menanyakan pertanyaan yang aku sendiri sudah tahu jawabannya?! Dia pasti akan menjawab 'Habisnya bosan.... ngantuk....' dan sebagainya.
"Yah... habisnya matematika itu membosankan dan membuatku merasa mengantuk. Ngomong-ngomong yang lain kemana? Apa sekarang sudah jam istirahat?" Balas Zaki sambil kembali duduk lalu berpangku dagu sambil sedikit menguap.
Tuh kan, benar apa kataku.
"Seperti yang kau bilang, sekarang sudah jam istirahat. Karena itulah aku membangunkanmu dan ingin mengajakmu ke kantin. Aku juga ingin membahas sesuatu denganmu." Balasku sambil perlahan berdiri lalu berjalan menuju pintu keluar.
"Kebetulan sekali, aku juga." Tanpa menahan diri, Zaki berjalan mengikutiku menuju pintu keluar.
'Kebetulan sekali, aku juga'
Hah.... aku bisa menebak apa itu.
Aku menghentikan langkahku di pintu keluar lalu berbalik menghadap Zaki.
"Permainan lagi?" Tanyaku.
"Yoi." Balasnya dengan santai tanpa dosa sedikitpun.
Sudah kuduga. Kalau begitu perkiraanku benar. Permainan yang dimaksud olehnya adalah permainan yang berada di balik pesan yang kubaca semalam.
Selalu saja begini. Kenapa dia tak menyerah begitu saja? Sudah berapa kali kubilang kalau aku sudah berhenti bermain, tapi kenapa dia masih saja....
Ck.... ini semakin membuatku kesal. Kapan dia akan menyerah? Kenapa dia begitu keras kepala?
Sudah berapa kali dia—
["Wah hebat! Kau benar-benar hebat lho, Dimo!"]
Suaranya lagi-lagi melintasi pikiranku. Suara yang menggali semua kenangan yang sudah kukubur di ingatanku yang paling dalam.
[Aku terbayang oleh sosoknya. Rambutnya yang cokelat yang belumuran darah. Serta kacamatanya yang retak. Aku bisa melihatnya dengan jelas. Seakan dia berdiri tepat di hadapanku.]
Tiba-tiba aku merasa pusing. Dunia seakan diputar dengan kecepatan 100 mil per-jam. Cairan asam di lambungku langsung naik keatas tenggorokanku. Semua makanan yang kumakan tadi pagi langsung memanjat naik seakan memiliki kehendak untuk keluar dari perutku.
Perlahan aku menengok kearah tangan kananku yang gemetaran.
[Merah.]
[Di telapak tanganku terdapat noda darah yang nampak begitu segar. Begitu segar sampai aku bisa mencium bau amisnya.]
[Merah, segar, cerah.]
[Begitu merah. Seperti kulit apel yang baru dipetik.]
Aku menggelengkan kepalaku lalu mengatur pernapasanku.
Tenang.....
Tetap tenang....
Ini tidak nyata....
Aku baik-baik saja.
Baik-baik saja....
[Apa aku benar-benar baik-baik saja?]
"Dimo, ada apa? Kau terlihat agak pucat." Tanya Zaki.
"Enggak, bukan apa-apa." Balasku. Selagi pusing tadi, tangan kiriku langsung bersandar di tembok sehingga aku tak begitu oleng.
"Oh iya, ngomong-ngomong permainan apa yang kau maksud?" Tanyaku. Sejujurnya, aku tidak peduli dengan permainan apa itu. Aku hanya berusaha mengalihkan topik.
"Hmmm, gimana ya. Bagaimana kalau kita bicarakan ini nanti sepulang sekolah saja?"
Tumben sekali? Aku benar-benar tidak menyangka kalau Zaki akan berkata seperti ini. Biasanya, dia akan dengan semangatnya memborbardir diriku dengan semua informasi yang dia dapatkan seputar permainan itu.
Tapi yah, kalau begitu baiklah. Lagipula aku tidak punya alasan untuk menolak permintaannya.
Lagi-lagi aku menghela napas.
"Baiklah, ayo bicarakan sepulang sekolah nanti." Balasku dengan santainya sambil berusaha berdiri tegak.
"Oke." Dia tersenyum lepas seakan sudah menduga jawaban dariku.
***
Bel yang menandakan berakhirnya jam pelajaran terakhir berbunyi. Suara yang biasanya begitu ditunggu oleh seluruh murid di sekolah.
Saat suara itu berbunyi, seluruh beban pikiran dan rasa penat setelah menerima banyak pelajaran langsung terlepas dari otak. Seakan semua orang mendapatkan energi yang entah-berasal-dari-mana yang membuat mereka kembali bersemangat.
Padahal, tepat sekitar lima menit yang lalu, mereka nampak begitu kucel dan lesu bagaikan zombie. Sesaat bel berbunyi, mereka langsung berubah seratus delapan puluh derajat, dari zombie yang kucel dan lesu menjadi seorang yang sehat lahir maupun batin.
Ya ampun, aku benci mengakui kalau aku mungkin salah satu dari mereka.
Sepulang sekolah, aku biasa membantu Paman Tedi mengurus cafe hingga malam. Jika aku sedang ada PR, aku hanya membantunya hingga maghrib tiba.
Sungguh keseharian yang cukup membosankan. Tapi itu saja cukup. Kedamaian ini cukup bagiku.
Tapi....
Sayangnya hari ini takkan berakhir seperti itu. Aku harus menemui Zaki untuk membicarakan pesan yang kubaca semalam.
Oh iya, aku tidak tahu mengapa, tapi Zaki meminta agar kita membicarakan ini di ruang kelas lain.
Sejujurnya ini cukup mencurigakan dan juga aneh.
Aku paham kalau ada orang yang akan mengerjakan piket sepulang sekolah. Tapi bukan berarti mereka akan mendengarkan apa yang aku dan dia bicarakan, bukan? Lagipula, kenapa juga mereka harus peduli dengan permainan yang aku dan Zaki akan bicarakan.
Kalau dipikir-pikir, kenapa dia memintaku menunggu sampai sepulang sekolah?
Ini semakin aneh dan aneh saja. Firasatku semakin memburuk mengenai apa yang akan terjadi selanjutnya.
Aku bisa saja pergi pulang dan mengabaikan ini semua. Tapi kalau aku melakukan itu, sama saja seperti menjilat ludahku sendiri. Harga diriku takkan membiarkanku melakukan itu.
Sepertinya aku tak punya pilihan lain.
Satu-satunya hal yang harus kulakukan saat ini adalah mendengarkan permainan apa yang Zaki maksud lalu menolaknya mentah-mentah.
Mudah. Aku sudah sering melakukan ini.
"Hah...."
Lagi-lagi aku menghela napas untuk yang ke-seribu kalinya.
Aku membuka mataku. Bayanganku yang berwarna hitam pekat membayangi pintu. Cahaya keemasan lembut yang terpantul di jendela yang berada di sebelah pintu sedikit menyilaukan mataku.
Para Photografer biasa menyebut cahaya di waktu seperti ini sebagai "Golden Hour." Yaitu saat-saat dimana matahari begitu rendah di langit sehingga menciptakan cahaya keemasan yang indah nan lembut. Sedangkan saat matahari tepat berada di bawah garis horison, cahaya akan berubah menjadi berwarna biru yang disebut dengan "The Blue Hour."
Aku bukan ahlinya, ini adalah informasi yang bisa dengan mudahnya aku temukan di internet. Bahkan mungkin ini sama sekali bukanlah hal yang penting. Namun saat kau mengetahui tentang itu dan melihat kearah langit senja yang keemasan, kau pasti akan merasakan sebuah sensasi yang berbeda.
"Baiklah..."
Perlahan aku mengulurkan tanganku ke kenop pintu.
Di hadapanku tak lain adalah sebuah pintu masuk menuju sebuah ruang kelas.
Kelas 11 D. Sebuah ruang kelas yang berada di lantai dua dan tepat berada di atas ruang kelasku, yaitu kelas 10 E.
Zaki bilang dia ada urusan terlebih dahulu sehingga aku bisa pergi lebih dahulu ke kelas ini.
Entah bagaimana Zaki tahu kalau kelas ini tak mendapat jadwal piket untuk hari ini sehingga dia memilih ruang kelas ini.
Seakan dia sudah menyiapkan semua ini.
....
....
Mungkin aku terlalu berpikir berlebihan. Zaki mungkin licik seperti seekor rubah, namun dia takkan mungkin bisa menyiapkan hal seperti ini.
Perlahan kubuka pintu.
Tidak ada orang. Ruang kelas ini benar-benar sudah kosong.
Dilihat dari meja dan kursi yang agak berantakan, kurasa mereka langsung bergegas pulang tanpa sempat merapihkan tempat duduk masing-masing.
Bukan urusanku sih.
Aku berjalan masuk ke dalam ruang kelas dan mengambil tempat duduk. Kutaruh tas ku di meja lalu merogoh kantungku untuk mengambil earphone untuk mendengar musik—
Ah— Aku lupa kalau hari ini aku tidak membawa Smartphone.
"Hah.. mau bagaimana lagi."
Daripada melamun, sebaiknya kuambil saja satu buku acak dari dalam tas ku.
Tempat duduk yang kuambil berdekatan dengan pintu keluar. Lebih tepatnya sih, berada di kolom pertama dan barisan yang tepat berada di sebelah pintu.
Kurasa tempat ini adalah tempat yang cocok untuk bersantai. Apalagi, area ini tertutup oleh bayangan sehingga tak terkena sengatan cahaya matahari.
Selagi membaca baris demi baris buku ini, aku sedikit menoleh ke papan tulis. Di papan tulis masih tersisa beberapa coretan spidol yang berbentuk seperti potongan kata-kata bahasa inggris.
Segitu terburu-burunya'kah mereka sampai mereka bahkan tak membersihkan papan tulis itu dengan benar?
Hah....
Sebenarnya, apa yang kulakukan disini? Seharusnya aku meyakinkan Zaki untuk segera memuntahkan semuanya saat jam istirahat tadi.
Aku menghela napas lalu mengangkat kepalaku menatap plafon putih yang nampak masih agak baru. Meskipun begitu, sudah ada beberapa sarang laba-laba yang terpampang.
Sudah lebih dari 15 menit aku menunggu di sini dan Rubah itu masih belum datang.
Pikiranku kosong. Sejujurnya aku tak tau apa yang harus kulakukan untuk mengisi waktu sampai Zaki datang. Sesekali kucoba membaca buku ini keras-keras untuk mengisi keheningan yang ada. Tetapi, ini malah membuatku terdengar seperti orang bodoh.
***
"Yo Dimo, makasih sudah nunggu!"
Dengan wajah tanpa dosa, Zaki dengan santainya berjalan memasuki kelas lalu mengambil sebuah kursi dan meletakannya di depan mejaku.
Akhirnya dia datang juga....
Aku bersumpah aku takkan melakukan ini lagi. Apapun yang terjadi, aku takkan pernah mengulangi hal ini.
Yang benar saja, aku harus menunggu setengah jam lebih hanya untuk rubah ini? Dan dengan santainya dia datang kemari tanpa merasa berdosa sama sekali.
"Kau ini... apa kau sama sekali tak memikirkan perasaan orang yang sudah menunggu hampir satu jam penuh?" Tanyaku sambil menutup buku pelajaran yang bersarang di antara kedua tanganku dan memasukannya kembali ke dalam tas.
"Hm, apa maksudmu?"
Apa maksudku? Lebih tepatnya, APA maksudmu bertanya balik padaku?
"Tidak, lupakan saja. Aku lupa kau tak memiliki konsep ruang dan waktu.
Kalau begitu, permainan apa yang kau maksud tempo hari?"
Aku tak peduli permainan apa yang ingin dia bicarakan, aku hanya ingin cepat pulang dan menenangkan pikiranku.
"Kau tahu Bum Corporation? Itu lho, perusahaan game ternama satu itu."
Ck? Kenapa dia tiba-tiba menanyakan itu?
Bagaimana mungkin aku bisa lupa perusahaan itu.
Bum Corporation, yang biasa disingkat Bum Corp. adalah sebuah perusahaan pengembang game yang diciptakan sekaligus dipimpin oleh Bum Rahmatullah. Seorang jenius diantara jenius. Jika kau menanyakan siapa pengembang game paling ternama di abad ini, jawabannya adalah beliau.
Perusahaan itu telah menciptakan banyak permainan yang selalu terjual laris di pasaran. Permainan yang mereka ciptakan sering mendapat tanggapan baik dari kritikus maupun pemain. Dan semua itu tak lain dan tak bukan berkat Bum Rahmatullah. Mereka juga sering mengadakan turnamen mereka sendiri—
Tunggu dulu.... Jangan bilang....
Nama yang ada di pesan.... perusahaan Bum Corp..... Daftar..... Turnamen....
Semoga pemikiranku tidaklah benar...
"Tentu saja aku tahu perusahaan itu. Tunggu, jangan bilang kau—" Kepalaku terasa pusing sebelum aku sempat menyelesaikan kata-kataku. Rasanya seperti ada lima jarum menusuk langsung ke dalam otakku.
Potongan ingatan langsung menyambar pikiranku, membuatku teringat kembali dengan hari itu.
Aku teringat kembali dengan amplop itu. Sebuah amplop berisi uang yang kudapatkan dari memenangkan turnamen pada hari itu.
[Itu semua salah—]
Kugelengkan kepalaku lalu menarik napas dalam-dalam.
"Ada apa?" Tanya Zaki
"Tidak, bukan apa-apa. Jadi, apa tebakanku benar?" Tanyaku balik, mencoba mengembalikan topik.
"Tepat sekali! Aku mendaftarkan kita berdua kedalam sebuah turnamen permainan!" Zaki langsung mengeluarkan sebuah benda yang nampak seperti sebuah tanda pengenal. Di benda itu terdapat sebuah foto, foto dari diriku.
Cih...
Dari semua ide-ide bodohnya yang ada. Kenapa harus Bum Corp? Maksudku, aku bisa menerima—dengan kata lain—menolak ajakannya, apapun itu. Tapi memasukanku kedalam sebuah perlombaan dimana aku sendiri tak ingin mengikutinya....
Apalagi, perusahaan yang mengadakan turnamen ini adalah Bum Corp.
[—Ku....]
Sial.
Kenapa dia berusaha begitu keras? Apa dia hanya ingin membuatku kesal?
"Nama permainan itu adalah Start Point. Aku tahu kalau permainan ini belum dirilis tapi..."
[Andai aku tak mengikuti turnamen itu.]
Kepalaku terasa pusing kembali. Rasanya seakan jarum-jarum itu menggali semakin dalam ke dalam otakku. Tiap kata yang dikeluarkan Zaki semakin bernada tinggi hingga aku tiba di titik dimana aku tak bisa memahami perkataannya lagi.
Napasku terasa sesak....
Terasa seperti tak tersisa oksigen sama sekali di muka bumi ini.
Pikiranku kacau dan aku tak bisa berpikir jernih.
Kata-kata yang dia ucapkan terus berputar di pikiranku seperti roller coaster yang bergerak dengan kecepatan tujuh puluh mil per jam.
"—p■er■ain■n in■ te■■ang....—"
[Diam...]
"—.... he■at bu■a■!—"
[Diamlah....!]
"—he■ Di■o...? D■mo ?—"
[Berisik!]
".....Dimo, kau kenapa? Kau terlihat sangat pucat...."
BRAK.
Tanpa kusadari, aku sudah memukul meja dengan seluruh tenaga yang kupunya. Aliran darah terpompa naik ke atas kepalaku. Jantungku berdebar dengan kencang karena adrenalin dan pikiranku yang kacau.
Kesal,
Benci,
Muak.
Hanya ketiga emosi itulah yang tersisa di pikiranku saat ini.
"Kenapa? Kau bertanya kenapa?
KAU tahu betul KENAPA!" Bentakku kepadanya.
"Aku masih bisa bertoleransi jika kau HANYA mengajakku bermain permainan biasa, atau mengajakku bermain game Hp. Tapi yang satu ini..."
Zaki hanya bisa terdiam tanpa kata-kata.
Dia tidak mengelak maupun melawan.
Ck...
Aku berdecap kesal lalu kembali memakai tas ku.
"Sudah cukup, aku pergi dari sini." Aku langsung bergegas keluar dari dalam kelas.
"Dimo, tunggu!" Zaki yang melihatku keluar dari ruang kelas langsung panik dan berusaha mengejarku.
"Kau ini keras kepala ya. Sudah kubilang aku sudah tidak bermain game lagi!" Aku langsung menutup pintu dengan kencang hingga suaranya bisa terdengar sampai ujung koridor.
Hah....
Hah....
Sudah lama sejak terakhir kali aku semarah itu.
Baiklah, sekarang aku hanya harus menenangkan diriku dengan menarik napas dalam-dalam.
Tarik napas.... Keluarkan....
Tarik napas.... Keluarkan....
Ini tidak berhasil, aku tetap kesal atas apa yang sudah Zaki lakukan. Kenapa dia melakukan semua ini? Maksudku, kenapa dia begitu bersikeras mengajakku bermain game?
Padahal dia tau kalau Bum Corp—
Aku mendengar suara langkah kaki yang terhenti. Langkah kaki itu berhenti tepat di sebelahku.
Kenapa dia terhenti? Bukankah dia bisa jalan melintas begitu saja. Lagipula, semua ini tak ada hubungannya dengan dia. Ini membuat semuanya terasa seakan dia terhenti karena terkejut atas kehadiranku.
Kalau dia orang asing, aku hanya harus pergi seakan tak terjadi apa-apa.
Kalau dia orang yang kukenal...
Perlahan, aku menengok kearahnya. Mencoba bertatapan langsung dengan orang yang terhenti itu.
Orang itu.... Kenapa harus dia? Dari sekian banyak orang, kenapa harus dia yang muncul di sini?
Di hadapanku, berdiri seorang perempuan yang merupakan teman sekelasku.
Rambut hitam panjangnya yang keemasan saat terkena cahaya mentari membuatku langsung mengenali orang itu.
Dia adalah Sindy. Salah satu teman sekelasku.
Rambut hitamnya panjang hingga sepinggang, parasnya terbilang cukup cantik untuk perempuan seusianya. Meski nampak seperti orang yang pendiam, sesungguhnya dia adalah orang yang baik dan peduli dengan orang-orang di sekitarnya.
Aku jarang berbincang dengannya. Ketika kami berbincang—Bagaimana ya… entah kenapa meski terasa nostalgis, pembicaraan antara kami berdua selalu berakhir dengan situasi canggung.
"Dimo...?"
Aku tak sengaja bertatapan dengannya saat dia menyebut namaku. Dia terlihat agak sedih dan terkejut saat melihat diriku.
Ekspresi itu....
Ini aneh, Itu terasa asing, tapi itu bukan pertama kalinya aku melihat ekspresi itu.
Tidak....
Sekarang bukan waktunya untuk memikirkan ini.
Aku tahu kalau Sindy adalah teman sekelasku dan situasi ini terasa agak canggung, tapi dia tak ada hubungannya dengan semua ini. Dia hanyalah orang yang kebetulan lewat dan bertemu denganku di situasi yang canggung ini.
Ya, aku hanya harus pergi dari sini.
Aku menarik napasku lalu perlahan berjalan melewati Sindy seakan tak terjadi apa-apa.
Ini semua hanya antara aku dan Zaki. Aku tak mau melibatkan orang lain kedalam semua ini.
Aku tak ingin melibatkannya.
***
Tick.. tock... tick... tock....
Suara jarum jam yang bergerak dapat terdengar dengan jelas di kesunyian malam ini bagai alunan melodi yang indah. Alunannya membuat mataku terasa mengantuk, seakan aku terhipnotis olehnya. Ditambah, kasur empuk dan bantal yang hangat ini terasa seperti mulai menelan diriku semakin dalam.
Kalau pikiranku kosong—meski hanya sebentar saja, aku pasti akan langsung tertidur.
Sekarang sudah pukul setengah sebelas malam. Biasanya aku sudah tertidur dijam segini, tapi apa yang terjadi hari ini terus membayangi pikiranku.
Meskipun pikiranku sudah kembali tenang, aku tetap tak bisa menghilangkan rasa tak nyaman yang kurasakan tadi sore.
Pertanyaannya adalah....
Kenapa aku marah?
Kenapa aku begitu kesal saat Zaki memberitahuku kalau Bum Corp. adalah perusahaan yang mengadakan turnamen itu?
Apakah karena....
Aku mengangkat tubuhku dari atas kasur lalu menghampiri sebuah laci. Laci sederhana yang terbuat dari kayu yang terbilang sudah cukup tua. Bahkan ada beberapa lubang di laci itu yang menunjukkan kalau kayu itu sudah mulai dimakan rayap.
Sudah berapa lama sejak terakhir kali aku membuka laci ini...? Dua tahun? Tiga tahun? Ingatanku terasa buram. Rasanya otakku tak mau mengingat kapan terakhir kali aku membuka laci ini untuk menaruh sebuah benda ke dalamnya.
Sebuah benda yang ingin kulupakan.
Aku menarik napas dalam-dalam. Menyiapkan diri untuk menghadapi benda yang ada di dalam lemari itu.
"Baiklah..." Kucoba meyakinkan diriku untuk tidak menyesali apa yang akan kulakukan saat ini.
Perlahan, aku mengulurkan tanganku, menggenggam kenop laci itu lalu menariknya. Di dalamnya, terdapat sebuah benda yang nampak sudah agak berdebu dan usang.
Warna sampulnya yang mulai memudar menjadi bukti kalau benda itu sudah mulai dimakan waktu. Warna dari noda darah yang berasal dari sidik jariku juga sudah nampak tua. Tapi yang penting bukanlah apa yang membungkus benda itu, tapi apa yang ada di dalamnya.
Benda itu adalah sebuah amplop. Sebuah amplop yang kudapatkan dari memenangkan turnamen tiga tahun yang lalu. Turnamen yang seharusnya tak penah kuhadiri. Turnamen yang diadakan oleh Bum Corp.
[Seharusnya aku tak—]
Sebuah pemikiran memasuki otakku. Pemikiran yang sudah kugenggam sejak tiga tahun yang lalu.
Kubuka amplop itu dan mencoba melihat isinya, melihat lembaran-lembaran kertas berwarna merah yang masih tersusun rapih dan bersih tak termakan waktu.
"...."
Aku hanya terdiam melihat uang-uang itu.
Aku tak tahu apa yang sebenarnya kurasakan saat melihat benda ini.
Aku merasa sedih, kesal dan menyesal. Perasaanku bercampur aduk, sama seperti apa yang kurasakan tadi sore.
"Mungkin...."
Perlahan aku memasukan uang itu kembali ke dalam amplop lalu menaruh amplop itu kembali ke dalam laci. Setelah menutup laci itu rapat-rapat, aku kembali ke kasurku lalu membaringkan diriku.
Alasan mengapa aku kesal...
Alasan yang sesungguhnya adalah, karena aku tak bisa memaafkan diriku. Namun, aku malah melimpahkan semua itu kepada Zaki yang hanya ingin mengajakku bersenang-senang.
Aku sungguh orang yang tak tahu rejeki.
Sambil menelan kata-kata itu, aku mencoba meraih smartphoneku dan membuka kuncinya.
Kalau aku tidak salah dengar, Zaki sempat menyebut nama dari permainan yang akan ditandingkan di turnamen. Kalau tidak salah, nama permainan itu adalah;
Start Point.
Aku mengetik kata itu lalu mencarinya di internet. Hasil pencarian yang muncul di barisan paling atas adalah website resmi dari permainan tersebut.
Di website tersebut, ada deskripsi dasar dari permainan Start Point dan sebuah video trailer dari permainan itu. Ditambah, ada sebuah halaman di website tersebut yang mungkin merujuk pada turnamen yang Zaki maksud.
Baiklah,
Start Point adalah sebuah game online berbasis rpg terobosan baru oleh Bum Corp.
Kalau kulihat trailer game itu yang ada di internet, permainan ini mengambil latar di dunia nyata namun tanpa menyentuh dunia nyata itu sendiri. Dengan menggabungkan dunia fantasi dengan dunia nyata, Start Point menciptakan sebuah dunia baru yang penuh dengan ratusan kemungkinan.
Um, dunia nyata yang mereka maksud... mungkin seperti cerminan asli dari dunia nyata? Kau tahu, berbanding terbalik—kanan adalah kiri dan kiri adalah kanan? Tapi setelah kulihat trailer ini, meskipun aku menyebutnya "cermin," latar permainan ini sama sekali tidak berbanding terbalik dari dunia nyata.
Para pemain akan melawan monster-monster yang tersebar di seluruh dunia.
Yang benar saja? Menurutku permainan ini hanya akan disebarkan di Indonesia terlebih dahulu. Jika permainan ini sudah terjual laris di Indonesia, maka mereka akan mengambil langkah ke dua dengan menjualnya ke luar negeri.
Menurut apa yang tertulis di deskripsi, monster akan ter-spawn dalam radius 200 meter dimana pemain berada. Tiap monster berbeda-beda dan memiliki kelas tersendiri, seperti Naga, Ogre, Goblin dan sebagainya.
Pemain juga dapat memilih tiap kelas yang ingin mereka pakai.
Terdapat lima kelas utama dan tiga kelas khusus.
Kelas pertama adalah Sword Master, pengguna pedang dengan atribut elemen cahaya atau kegelapan. Sebuah kelas yang berfokus pada daya serang dan kecepatan. Kelas inilah yang memiliki serangan dan kecepatan yang tinggi juga seimbang.
Kelas kedua adalah Marksman. Sebuah kelas yang terbagi menjadi dua bagian, yaitu Archer dan Gunman. Archer adalah penembak jitu bersenjatakan panah yang lincah dan juga cepat, atribut elemen dari kelas ini adalah angin. Archer adalah kelas yang berfokus pada agility dan critical. Sedangkan Gunman adalah pengguna senjata api yang beratribut elemen petir atau api. Kelas ini berfokus pada daya tembak, keseimbangan dan serangan. Perbedaan antara Archer dan Gunman adalah daya tembaknya. Sebagai tambahan, Gunman bisa menggunakkan banyak varian senjata dan bisa menggunakan pisau kecil.
Kelas ketiga adalah Knight. Sebuah kelas yang berfokus pada serangan dan pertahanan. Senjata dari kelas ini biasanya adalah pedang pendek dan perisai. Kenapa "Biasa"? Karena selain pedang pendek, kelas ini juga bisa menggunakan tombak, bunga pala, dan kapak. Atribut elemen dari kelas ini adalah api atau tanah. Diantara kelas lainnya, kelas inilah yang memiliki pertahanan paling tinggi dan darah atau hp yang lebih tebal.
Kelas keempat adalah Wizard/Witch. Kelas yang berfokus pada support dan mengeluarkan serangan berupa mantra. Biasanya, senjata utama mereka adalah sebuah tongkat sihir, tongkat tersebut ada yang sebesar payung ada juga yang sebesar pensil. Kelas ini tak memiliki atribut khusus, dengan kata lain mereka bisa menggunakkan semua elemen yang ada. Yaitu Api, air, tanah, angin, cahaya dan kegelapan. Meskipun begitu, mereka hanya bisa memfokuskan pada satu elemen saja dan tak bisa memilih semuanya sekaligus.
Kelas terakhir adalah Alchemis, sebuah kelas yang tak memerlukan senjata khusus. Namun, mereka membutuhkan equipment khusus untuk bisa mengeluarkan kemampuan, seperti sarung tangan, sepatu, dan sebagainya. Atribut elemen dari kelas ini adalah Tanah, air atau api. Kelas ini berfokus pada kekuatan serangan dan jebakan. Diantara semua kelas yang ada, kelas ini memiliki daya hancur yang paling tinggi.
Itulah semua kelas utama yang tertulis di website ini. Lalu, untuk kelas khusus...
"Hm..?"
Kosong.
Aku tidak bercanda, mereka sama sekali tak menuliskan deskripsi mengenai kelas khusus. Yang tertulis di sini hanya;
"Hanya ada tiga kelas khusus dan kelas khusus merupakan gabungan dari kelima kelas dasar."
Um, bagaimana aku harus menyimpulkannya ya? Apa mungkin saja ada seorang Knight yang bisa mengeluarkan mantra, atau Wizard yang bisa menggunakkan pistol...? Aku mengerti kalau mereka ingin menyembunyikannya untuk membuat pemain penasaran, namun penjelasan ini terlalu sedikit.
Baiklah, lanjut ke sesi berikutnya.
Aku menekan tombol bertuliskan turnamen di website tersebut.
Turnamen tersebut adalah turnamen pembuka untuk menyambut perilisan resmi dari permainan Start Point. Sembilan pemain akan bertanding untuk memperebutkan hadiah total puluhan juta rupiah. Sebagai tambahan atas rasa terima kasih untuk berpartisipasi, setiap peserta akan dihadiahkan sebuah Login Device versi prototipe atau Login Device Proto secara gratis.
Meski disebut prototipe, login device ini dapat berfungsi dengan baik seperti login device biasa. Perbedaannya adalah, Login Device Proto V hanya bisa digunakkan oleh prototipe user. Dengan kata lain, para pemain yang sudah menggunakkan Login Device biasa takkan bisa menggunakkan Login Device Proto. Sebagai tambahan, Login Device Proto tidaklah dijual sehingga menjadi barang terbatas.
Turnamen akan diadakan secara tertutup pada tanggal empat Juli.
Itulah, semua yang tertulis di website itu.
Ada beberapa hal yang mengganggu pikiranku. Pertama, kenapa mereka menciptakan Login Device Proto? Apakah Login Device biasa saja tak cukup? Kedua, kenapa mereka mengadakan turnamen tertutup? Aku tahu kalau mereka mau merahasiakan permainan ini, namun ini terasa aneh. Ketiga, sembilan orang peserta akan bertanding di turnamen tersebut, namun nama yang kuterima di pesan itu hanya ada lima nama. Kenapa pesan itu bisa terpotong seperti itu?
Berada dalam kebingungan, aku menjatuhkan tubuhku ke kasur lalu mematikan dan menaruh smartphoneku di sebelah bantalku.
Start Point. Permainan ini pastinya cukup menarik bagi para Gamer. Namun aku sama sekali tak menemukan satupun hal yang membuatku tertarik. Malah, aku merasa aneh dengan semua ini.
Terlalu banyak pertanyaan yang ingin kuajukan saat ini.
Namun, aku tidak peduli dan tak mau terlibat dengan semua ini.
Turnamen akan diadakan tanggal empat Juli, dengan kata lain, dua hari dari sekarang.
Dan ketika saat itu tiba—
—Aku takkan ada di turnamen tersebut.