Calista yang mulai hilang fokus memilih menyandarkan kepalanya sejenak pada sandaran kursi dengan mata terpejam. Entah kenapa akhir – akhir ini seringkali di penuhi akan Leonard. Terlebih setelah melihat kekhawatiran terpancar jelas dari sorot matanya ketika Matius berusaha menggodanya, Calista semakin di buat tak karuan.
Di saat sedang larut dengan pikiran sendiri pintu ruangannya di ketuk. "Masuk!" Jawab Calista dari dalam.
"Permisi Ibu Calista."
"Hm ada perlu apa Dera?"
"Bapak Leo memberi perintah pada saya untuk memberikan berkas ini," sambil menyerahkan berkas tersebut pada Calista.
"Apa Sarah tidak ada di tempatnya?"
"Saya lihat ruangan Ibu Sarah kosong jadi, saya putuskan langsung masuk."
Dasar anak buah dan atasan sama – sama tak punya aturan. Tapi sudah selayaknya kalau attitude Dera seperti ini, semua ini salah atasannya yang tidak bisa mendidiknya dengan baik.
"Terima kasih dan ingat Dera, sebelum ke ruangan saya kamu bisa temui Ibu Sarah terlebih dulu. Mengerti!"
"Baik Ibu. Permisi Ibu Calista."
Setelah keluar dari ruangan Calista langsung berpapasan dengan Sarah yang langsung melayangkan pertanyaan mendapati wajah Dera tegang.
"Habis di panggil Bu Calista, hum?"
Dera menggeleng.
"Lalu kenapa kamu keluar dari ruangan Ibu Calista?" Dera memilih menundukkan wajah lalu menjelaskan dengan kejadian sebenarnya.
"Apa Bu Calista memarahimu?"
Dera menggeleng.
"Lalu kenapa wajahmu tegang sekali."
Sebelum berkata Dera tampak menghembus nafas panjang. "Ruangan Bu Calista itu menyeramkan di tambah lagi dengan tatapannya yang … huh, ngeri."
"Saya pikir ada apa. Kamu saja yang tidak mengenal Bu Calista. Dia itu baik, baik banget malah. Tapi, kalau untuk urusan pekerjaan memang jangan main – main. Ya sudah sana balik ke ruangan kamu."
Waktu sudah menunjukkan pukul 22.00 akan tetapi ruangan Calista belum terkunci. Leonard tertarik untuk mendekat dan seketika terbelalak dengan pemandangan di depan mata. Calista masih terlihat serius dengan beberapa dokumen di depannya.
"Apa pekerjaanmu belum selesai?"
"Sudah," tanpa mau melihat ke arah Leonard.
"Kalau begitu kenapa belum juga pulang?"
"Bukan urusan Anda!"
"Saya di sini Calista, tatap saya saat sedang berbicara."
"Saya tidak ingin bicara dengan Anda. Lebih baik segera tinggalkan ruangan saya!" Dengan pandangan menunduk berpura – pura sibuk merapikan dokumen padahal yang sebenarnya terjadi ia coba meredam debaran jantung yang kian memompa 1000 kali lebih cepat.
Kenapa kamu masih saja mengacuhkan saya Calista? Apa salah saya? Leonard membatin dan tanpa permisi langsung menarik tubuh Calista berdiri hingga sejajar dengannya. Tubuh Calista pun rasanya seperti agar – agar sampai - sampai menopang beban tubuh pun terasa sangat berat.
"Tatap saya Calista!" Jemari Leonard terulur meraih dagu Calista sehingga tatapan keduanya saling bertemu. Jarak wajah yang sangat dekat mampu mengirim rasa hangat menggelitik permukaan kulit.
Dari jarak yang sangat dekat Leonard bisa mengamati wajah cantik Calista dan ketika tatapannya terpaku pada bibir ranum yang sangat menggoda, ia pun segera mendekatkan wajahnya. Namun, tangan Calista menekan dada bidang dengan sorot mata tak terbaca berbeda dengan Leonard yang sudah di penuhi akan hasrat.
Satu hal yang Leonard tangkap dari siluet abu – abu ada trauma, rasa kecewa, sakit hati dan juga ketakutan. Wajah cantik Calista memancar kesedihan mendalam.
Sebenarnya apa yang terjadi denganmu Calista? Apa sikap cuekmu ini karena kau takut tersakiti olehku? Kesakitan seperti apa yang sudah kau alami sampai kau membangun benteng tinggi – tinggi.
Tak ingin menambah luka di hati wanita yang sangat di pujanya ini, Leonard memutuskan meninggalkan ruangan Calista. Sementara tanpa di ketahui oleh siapa pun Calista mulai mengusap kasar bulir – bulir air mata yang sudah mulai membasahi pipi. Memejamkan mata sesaat sebelum meraih tas dan kunci mobil. Melajukan mobil dengan kecepatan tinggi menuju kediaman Beni.
Kepergian Calista pun di ikuti oleh Leonard. Akan tetapi hal tersebut tak mengungkap banyak informasi. Sampai saat ini Calista masih saja bagaikan misteri. Kedua tangannya mencengkeram kuat setir mobil, tatapannya menajam pada bangunan super megah nan mewah.
Siapa kau ini sebenarnya Calista? Kenapa sulit sekali menguak informasi tentangmu.
Kemudian merogoh saku celana mencocokkan alamat kartu identitas Calista. Alamatnya sama akan tetapi siapa orang tua Calista sama sekali tak terdeteksi. Leonard sama sekali tidak tahu bahwa Calista putri seorang Bramantara Kafeel, pengusaha kaya raya yang sudah melebarkan sayap hingga ke luar Negeri.
Pagi ini Calista sangat di sibukkan dengan urusan kantor karena kedatangan CEO Albert dari London.
"Siapkan semua dokument dan data – data presentasi!" Perintah Calista.
"Baik Bu Calista segera saya siapkan," jawab Sarah selaku asisten eksekutif CFO.
Di saat sedang sibuk tiba – tiba Matius memasuki ruangannya tanpa permisi. Mendapati tatapan tak suka, Matius pun menjelaskan bahwa pintu ruangan terbuka jadi ia memutuskan langsung masuk saja.
"Apa ini pertama kalinya kamu meeting dengan Mr. Albert?"
"Hm."
"Ingat Calista kamu harus hati – hati karena CEO kita ini terkenal killer dengan tingkat emosi terburuk," Matius menambahkan.
Calista langsung mengunci tatapan Matius. "Lalu untuk apa memberitahu saya? Kamu takut dengan kedatangan Mr. Albert?"
"Tentu saja tidak Calista. Meeting seperti ini sudah jadi makanan sehari – hari, aku hanya mengingatkanmu saja kan kamu anak baru."
"Kalau begitu terima kasih karena sudah memberi tahu."
"Sama – sama Calista," dengan bangganya Matius mengulas senyum yang justru di balas dengan senyum sinis yang terukir dari bibir ranum Calista.
Leonard yang hendak ke ruangan meeting tanpa sengaja melihat pintu ruangan Calista terbuka. Seketika dadanya terasa sesak entah apa penyebabnya. Mungkinkah karena keberadaan Matius di dekat Calista?
Tak suka melihat keakraban keduanya Leonard memutuskan untuk menghampiri Calista lebih dulu sebelum ke ruangan meting. "Sudah siap?" Tanyanya dari ambang pintu kemudian mendekat pada Calista.
"Apa semua dokumen sudah siap?" Bisik Leonard lembut. Calista pun memejamkan mata sesaat coba meredam debaran jantung yang kian memompa 1000 kali lebih cepat.
"Sudah, Anda duluan saja. Sebentar lagi saya menyusul."
"Oh, sini saya bantu."
"Terima kasih Pak Matius, saya bisa sendiri," setelah itu langsung melenggang meninggalkan dua lelaki yang menatapnya nanar. Matius segera melebarkan langkah mensejajari langkah Calista.
"Sepertinya Leo sangat tertarik padamu. Terlihat jelas dia selalu memperhatikanmu," gumam Matius. Tak ingin menanggapi pembicaraan yang mengarah pada Leonard, Calista pun memilih diam.
Saat ini mereka telah berada di ruangan meeting yang di dekorasi serba putih. Siluet abu - abu terpaku pada kursi paling ujung. Biasanya dialah yang menduduki singgasana tersebut namun, kali ini berbeda. Sejenak kerinduan pada kakak tercinta dan juga keluarga mulai menyergap. Dan entah sudah berapa lama tenggelam dalam lamunan hingga sentuhan lembut di pundaknya telah berhasil membawa kesadarannya kembali.
"Memikirkan apa?" Tanya Leonard lembut sebelum mendudukkan bokongnya di kursi yang bersebrangan dengan Calista. Suara lembut dan juga tatapannya yang hangat semakin membuat jantung Calista berdebar tak karuan. Akan tetapi hal tersebut dapat tertutupi dengan sikapnya yang acuh sehingga yang tertangkap oleh Leonard bahwa Calista ini tidak memiliki perasaan sama.
Terus menerus di tatap secara intens tentu saja mencipta rasa tak nyaman sehingga seringkali bergerak – gerak gelisah. Matius yang duduk di sebelah Calista menangkap adanya ikatan di antara mereka berdua hanya saja keduanya saling mengelak.
Tak berselang lama sang penguasa memasuki ruangan. Memiliki wajah tampan, bule, dan juga tatapan tajam membuatnya terlihat seksi meskipun di usia yang tak lagi muda. Auranya yang dingin mampu mencipta rasa tak nyaman, pantas saja dia di juluki CEO killer.