Tanpa Leonard duga sebelumnya pipi kirinya seketika terasa panas akibat belaian hangat jemari lentik Calista. Dan ini adalah untuk pertama kalinya ada seorang perempuan yang berani menamparnya. Baru kali ini harga diri seorang Leonard Fidel Christiano jatuh di hadapan perempuan.
Sorot mata Leonard berubah tajam, rahangnya mengeras dan sebelah tangannya sudah mengayun di udara hendak membelai hangat pipi Calista. Namun, hal tersebut segera ia urungkan. Satu hal yang Leonard ingat bahwa ia tak pernah ingin bermain fisik pada seorang perempuan meskipun semua orang mengenalnya sebagai lelaki paling brengsek.
"Lalu bagaimana dengan si tua bangka Albert, apa hubungan kalian berdua terjalin karena terbawa suasana juga, hah?"
"Lancang!" Kembali di layangkan tamparan mengenai pipi kiri hingga membekas jari – jari Calista di sana.
"Keluar!" Bentak Calista. Jari telunjuk mengarah pada pintu keluar. Setelah kepergian Leonard, tangis Calista pecah menyesali kebodohannya sendiri yang tak bisa melindungi diri sendiri dari pengaruh seorang Leonard. Padahal sebelumnya ia tak pernah selemah ini pada laki – laki.
Sama halnya dengan Leonard yang juga di sergap penyesalan mendalam karena sudah menuduh Calista tanpa adanya bukti. Tak ingin Calista kembali membencinya ia pun kembali memasuki ruangan Calista. Dan pemandangan di depan mata sungguh menyesakkan dada.
Ia pun langsung menyandarkan bokongnya pada dinding meja kemudian mencondongkan tubuhnya ke depan mengamati wajah cantik Calista yang sembab karena air mata. Jemarinya terulur mengusap bulir – bulir air mata dengan ibu jari yang langsung di hempas dengan kasar. Tatapan Calista menajam dan Leonard tak suka melihat siluet abu – abu yang selalu di rindukannya ini menatapnya tak suka.
"Aku minta maaf sudah menuduhmu yang bukan – bukan. Aku benar – benar minta maaf Calista. Tak seharusnya aku berkata demikian."
"Lupakan dan silahkan keluar!"
"Tidak mau, sebelum kamu memaafkanku."
Menghembus nafas lelah, tatapannya menajam. "Saya sudah memaafkan kamu. Silahkan kamu keluar dari ruangan saya. Saya tidak mau yang lain berfikir yang bukan – bukan dengan keberadaan kamu di ruangan saya."
"Memangnya siapa yang akan berfikir begitu, hum? Semua karyawan sudah pulang kecuali kita berdua." Mendengar kata berdua membuat bulu roma seketika meremang. Seolah tahu yang saat ini bersarang dalam benak Calista, Leonard pun mengusap pipi Calista lembut. "Yang kamu pikirkan tidak akan pernah terjadi Calista kecuali kamu mengijinkannya."
Mendorong dada bidang. "Keluarlah! Kau bisa lanjutkan pekerjaanmu kan?"
"Pekerjaanku sudah selesai."
"Kalau begitu kau bisa pulang. Untuk apa masih di sini?" Mengganggu saja.
Tak juga mengindahkan perintah Calista, Leonard memilih mendudukkan bokongnya di sofa. Tatapannya tak pernah lepas dari wajah cantik yang terlihat serius bekerja.
Benar – benar pekerja keras. Leonard membatin kemudian melirik arah jarum jam di pergelangan tangan yang sudah mengarah ke angka 09 malam. Tak ingin Calista kelelahan segera berjalan mendekat kemudian tanpa permisi merapikan dokumen – dokumen yang berserakan di atas meja.
"Apa yang kamu lakukan, hah? Awas saja kalau kau berani macam – macam!"
Menghujani siluet abu – abu dengan tatapan tajam. "Sudah waktunya pulang dan beristirahat."
"Tapi pekerjaanku belum selesai."
"Memangnya mau pulang jam berapa, hum? Lihat!" Menunjuk arah jarum jam di pergelangan tangan. "Ini sudah sangat malam, kau sudah lembur 4 jam."
"Iya aku tahu tapi pekerjaanku belum selesai, biarkan ku selesaikan dulu pekerjaanku. Kau pulang saja."
Menghembus nafas berat kemudian mematikan laptop. Menyandarkan tubuhnya pada dinding meja, menghujani Calista dengan tatapan tak biasa. "Masih bisa di lanjut besok. Jangan terlalu memforsir, aku tak mau kamu sampai sakit," sambil merapikan beberapa helai rambut yang menjuntai ke pipi.
Semenjak kejadian tersebut hubungan keduanya semakin dekat akan tetapi ketika sedang berada di kantor mereka berdua memilih bersikap biasa saja sehingga tidak ada yang mengetahui adanya benih – benih cinta yang sedang bersemi.
Di saat sedang di sibukkan dengan pekerjaan tiba – tiba telepon kantor berdering. Sarah memberitahu bahwa Loenard meminta Calista ke ruangannya. Siluet abu – abu langsung menyipit dengan kening berkerut.
Untuk apa Leo memintaku ke ruangannya? Apa ada hal penting yang ingin di bicarakan?
Tak juga melenggang ke ruangan Leonard, Calista memilih menghubungi ponselnya akan tetapi tak juga mendapat jawaban. Tak ingin pekerjaan terganggu segera memfokuskan kembali pada layar laptop sementara Leonard masih juga menunggu kedatangannya.
Kesal, itulah yang Leonard rasakan karena yang di tunggu tak juga datang sehingga langsung memanggil Dera.
"Bapak memanggil saya?"
"Apa pesan saya untuk Ibu Calista sudah kamu sampaikan pada Ibu Sarah?"
"Sudah Bapak."
"Ya sudah kamu boleh pergi."
Kalau begitu kenapa kamu tidak juga ke ruanganku Calista. Pekerjaan apa yang membuatmu mengabaikanku? Batin Leonard sambil terus melangkahkan kaki menuju ruangan Calista. Namun, kemarahannya mereda setelah melihat gadis yang sangat di pujanya ini terlihat fokus dengan beberapa dokumen di depannya.
Leonard segera mendekat kemudian mengusap lembut puncak kepala. Calista pun langsung mendongak untuk melihat wajah tampan Leonard. Dalam sekali putaran kini keduanya sudah saling berhadapan. Tatapan keduanya saling mengunci, saling berbicara meskipun tidak ada kata yang terucap.
Ketika Leonard mulai mendekatkan wajahnya, siluet abu – abu memejam namun, sampai sepersekian detik tak juga merasakan benda kenyal menyapu hangat bibirnya sehingga kembali membuka mata. Tatapan Leonard menghangat kemudian dengan penuh rasa sayang mengecupi sepanjang kening.
Jemarinya kembali terulur mengusap puncak kepala. "Apa Sarah tak menyampaikan pesanku, hum?"
"Sudah."
"Lalu kenapa kau mengabaikan perintahku?"
"Memangnya hal penting apa yang ingin kau bicarakan sampai – sampai kau memintaku untuk ke ruanganmu?"
Leonard langsung menggeram kesal. "Pertanyaan bukan di balas dengan pertanyaan Calista."
"Aku tahu. Cepat katakan hal penting apa yang ingin kau bicarakan denganku. Hari ini aku sangat sibuk jadi tolong jangan menganggu waktuku Leo."
"Aku tahu kamu belum sarapan kan? Makanya aku ingin mengajakmu sarapan bersama," tatapan Calista mengikuti arah pandang Leonard yang tertuju pada kotak makanan.
"Dengar Leo, ini di kantor. Jaga sikap kamu!"
"Aku tahu, aku juga sudah mengunci pintunya."
"Apa?" Calista langsung terperenyak. Belum juga pulih dari keterkejutannya pintu ruangan sudah di ketuk.
Oh My God siapa yang datang? Calista membatin dengan melayangkan tatapan penuh ancaman pada Leonard. Ia bersumpah jika Leonard menyeretnya ke dalam masalah besar maka ia akan menggantung lelaki itu hidup – hidup.
"Kenapa malah menatapku seperti itu? Sana buka pintunya. Tidak baik membuat tamu menunggu lama."
"Awas saja kalau sampai kau menyeretku ke dalam masalah besar, Leonard!"
"Sudah tenang saja, palingan juga Sarah."