"Calista sarapan dulu sayang."
"Maaf Te, Calista berangkat dulu nanti saja sarapan di kantor, Calista sudah terlambat Te," sambil mengecup kedua pipi Mira. Sebenarnya tak jadi masalah kalau pun terlambat akan tetapi Calista malas berurusan dengan si killer yang selalu saja mencari berbagai cara untuk tetap bisa berinteraksi dengannya.
Seketika mengumpat kesal karena jalanan sudah mulai macet, sementara ponselnya tak henti – hentinya berdering menampilkan nama hrd killer. Setelah 30 menit barulah sampai di kantor.
"Selamat pagi Calista tumben terlambat," goda Leonard.
"Bukan urusan Anda. Dan bisakah Anda memasuki ruangan saya dengan mengetuk pintu lebih dulu." Dasar tak punya sopan santun.
"Oh jelas menjadi urusan saya selama hal itu berhubungan dengan kinerja karyawan. Saya ini hrd Calista dan kenapa hari ini kamu terlambat?"
"Macet," sinis Calista.
��Sudah tahu Surabaya selalu macet harusnya kan kamu berangkat lebih pagi. Maaf Calista semua karyawan saya perlakukan sama termasuk kamu, terlambat berarti ada sanksi."
"Saya kan sudah menghubungi Anda kalau hari ini saya terlambat."
Tak perlu kau perjelas seperti itu Calista, aku tahu. Dan … jangan menatapku seperti itu, kau membuatku ingin menerkammu sekarang juga.
"Jika Anda lupa biar saya ingatkan," ucap Calista sambil menunjukkan histori panggilannya dengan Leonard. Seolah mengabaikan perkataan Calista justru menghujaninya dengan tatapan tajam kemudian semakin melangkah maju hingga jarak keduanya sangat dekat.
"Siang ini kamu harus ikut dengan saya!" Penuh perintah tak terbantahkan. Belum sempat Calista memprotes, Leonard sudah berlalu begitu saja menyisakan rasa kesal di hati.
Berhati – hatilah Calista, lelaki itu pasti sudah merencanakan sesuatu untukmu, Dewi dalam hatinya berbisik lembut.
Lihat saja kalau dia berani macam – macam denganku maka aku tak akan pernah memberinya ampun. Batin Calista sambil membanting tasnya ke atas meja.
Terlalu fokus bekerja sampai – sampai tak menyadari waktu sudah mengarah pada pukul 12 siang. Seketika teringat janjinya dengan Leonard akan tetapi Calista mengabaikannya begitu saja. Toh aku juga tak mengiyakan ajakannya, pikir Calista.
Tanpa di sadari ada yang terus menatapnya tajam. "Lupa atau sengaja melupakan janji Calista?" Nada suaranya dingin menggelitik pendengaran. Calista pun segera mendongakkan wajahnya sehingga tatapannya bertemu manik hitam yang menatapanya tajam. Menyadari raut tak nyaman menyelimuti wajah cantik Calista, tatapan Leonard melembut.
Calista memilih menundukkan pandangan dengan berpura – pura fokus pada dokumen di depannya karena di tatap seperti itu dari jarak yang begitu dekat tentu saja menimbulkan gelenyar aneh. Jemari Leonard terulur meraih dagu Calista sehingga tatapannya mengunci pada siluet abu – abu yang selalu bisa membuat debaran hebat.
"Ada apa, hum?" Tanya Leonard lembut.
"Bisakah Anda keluar dari ruangan saya. Kehadiran Anda mengganggu saya."
"Ini jam istirahat Calista dan kamu sudah janji untuk pergi makan siang dengan saya."
"Saya tidak membuat janji dengan Anda. Mengiyakan ajakan Anda pun tidak. Jadi, saya tidak ada kewajiban untuk menuruti perintah Anda. Keluar!" Jari telunjuk Calista mengarah pada pintu keluar.
"Calista, apa kamu lupa? Ini konsekuensi dari keterlambatan kamu!"
Mendengarnya membuat kesabaran Calista mengikis sehingga langsung mendongakkan dagunya menantang. "Dengarkan saya Pak Leo, akan lebih baik seorang hrd seperti Anda ini professional dalam bekerja bukan malah-"
"Cukup!" Potong Leonard.
"Keluar dari ruangan saya!" Bentak Calista.
"Baik saya akan keluar dan bisakah berhenti memanggil saya dengan sebutan Anda?" Tersirat rasa tak suka dari nada suaranya.
"Kita menjadi rekan kerja sudah lebih dari 2 bulan, tidak bisakah itu membuat kamu melunak setidaknya menerima saya sebagai teman kamu Calista. Saya tidak ada maksud lain selain murni berteman dengan kamu."
Tanpa menjawab justru menelisik ke dalam wajah Leonard mencari kebenaran di sana dan yang Calista temukan adalah ketulusan. Sejenak di buat melunak akan tetapi perkataan Leonard selanjutnya telah mencipta rasa muak.
"Dengar Calista, dengan kamu bersikap seperti ini maka kamu tidak akan pernah memiliki teman laki – laki. Tidak akan ada satu pun lelaki yang mau dekat dengan kamu."
"Saya tidak butuh teman laki – laki."
Dasar kepala batu, angkuh, sombong. "Sudahlah percuma bicara dengan kamu," seraya membanting pintu di belakangnya.
Sejak kejadian tersebut keduanya memilih saling diam. Tak saling bertegur sapa meskipun saling berpapasan. Calista seharusnya merasa senang akan tetapi ada sesuatu yang hilang, entah kenapa hatinya merasa kosong. Mungkinkah Calista telah terbiasa dengan godaan dan sikap jahilnya? Atau justru mulai tumbuh rasa suka? Hanya Calista yang tahu jawabannya.
Sampai ke hari – hari berikutnya sikap Leonard masih saja dingin. Tak pernah mau berinteraksi langsung. Jika ada hubungannya dengan pekerjaan lebih sering meminta Dera untuk menyampaikan pada Calista. Tak dapat lagi di tutupi Calista merasa sedih dengan hal tersebut.
Namun, semua berubah semenjak kehadiran Matius, manager lama yang baru saja mendarat dari Jakarta berhasil meresahkan hati Leonard. Bagaimana tidak, baru juga sampai di kantor sudah mulai tebar pesona pada Calista.
"Leo, makan siang bareng yuk. Ajak sekalian Calista supaya aku bisa lebih dekat dengannya." Leonard pun segera mendongakkan wajah menghujani Matius dengan tatapan tak suka.
"Biasakan mengetuk pintu terlebih dulu." Dasar tidak punya aturan, dia pikir ini kantor nenek moyangnya apa?
"Dan satu lagi Matius, ini kantor tempat bekerja bukan tempat mencari pacar."
"Aku tahu. Kenapa kau kelihatan ga suka aku membicarakan tentang Calista. Kenapa, hum? Atau jangan – jangan kau-" Matius langsung menjeda kalimatnya setelah mendapati sorot mata Leonard berubah nyalang.
"Okay, okay, kalau begitu saya keluar."
"Tunggu! Mau makan siang di mana?"
"Di lounge dan aku akan ajak Calista sekalian. Aku yakin dia belum makan siang," setelah itu langsung melenggang pergi meninggalkan ruangan Leonard.
"Matius, tunggu!" Yang di panggil langsung memutar tubuhnya. Leonard pun berjalan di depannya dengan melebarkan langkah menuju ruangan Calista.
Kini mereka bertiga telah berada di restaurant dan duduk dalam satu meja. Berkali – kali ekor mata Matius mencuri pandang ke arah Calista dan hal tersebut tak lepas dari pengamatan Leonard.
"Cobalah ini pasti kamu suka, rasanya sangat lezat," ucap Matius dan tanpa permisi menaruh makanan ke piring Calista. Calista langsung melayangkan tatapan tak suka, begitu juga dengan Leonard yang langsung melayangkan tatapan penuh peringatan pada Matius.
"Apa kamu merasa terganggu dengan kehadiran Matius?" Leonard bertanya dengan nada lembut seolah ingin memberi perlindungan.
"Biasa saja," jawab Calista dingin tanpa mau menatap wajah Leonard. Dan ini untuk pertama kalinya mereka saling berbicara setelah berhari – hari saling diam. Sedih, itulah yang Leonard rasakan karena hingga saat ini Calista tetap saja bersikap acuh. Tak ingin berlama – lama tenggelam dalam perasaan yang terus merongrong jiwanya, Leonard segera beranjak dari duduknya. "Saya duluan, permisi," ucapnya dengan tatapan tak lepas dari wajah cantik Calista.
Calista mengangguk sambil terus menatap punggung kekar yang semakin menjauh. Entah kenapa ada rasa kehilangan, begitu pula dengan matanya yang seketika terasa panas. Sejak kepergian Leonard ia tak lagi berselera menyantap menu makan siang.
Matius yang berada di sebelah Calista menyadari adanya perubahan tersebut. Melihat Calista yang hanya mengaduk – aduk makanan tanpa ada niatan untuk menyantapnya membuat Matius bertanya - tanya.
"Calista," yang di panggil langsung mendongakkan wajah.
"Apa makanannya tidak enak?"
Mengulas senyum. "Saya duluan, permisi."
Padahal belum ada setengah makanan yang masuk ke dalam perutnya akan tetapi Calista memilih melenggang dari sana. Matius kembali di buat bertanya – tanya dengan sikap Calista dan juga Leonard. Sepertinya ada masalah di antara mereka berdua, pikir Matius.