Stella
Bibi
Tubuh Stella menegang melihat perempuan paruh baya di depannya. Ya, perempuan paruh baya yang sedang memberi balon putranya ialah Nurti Bibinya, adik dari mendiang Ibunya Stella. Nurti menggantikan suaminya berjualan balon di dalam mall. Karena suaminya sudah di terima bekerja di Cafe miliknya Rey. Rey menerimanya sebagai Cleaner. Rey sengaja belum memberi tau Stella bahwa Pamannya bekerja di Cafe miliknya. Biar Stella mengetahui sendiri, dan memberi kejutan pada Pamannya. Kedua tangan Stella terkepal, kedua matanya berkaca-kaca, dan hatinya kembali terluka. Perlahan Nurti melangkah mendekati Stella, memandangi wajahnya yang terlihat lebih cantik ketimbang yang dulu.
"Stella kamu kah ini nak! Apa kabar? Kemana saja kamu selama ini tanpa ada kabar?"
Stella mengalihkan pandangannya kearah lain. Ia menahan air matanya agar jangan sampai jatuh. Mendengar ucapan Bibinya barusan, ia merasa mual ingin muntah di depan wajah Bibinya. Stella masih bungkam, ia masih mengumpulkan kalimat yang pantas buat Bibinya.
"Akhirnya Bibi menemukanmu di sini nak! Apa kamu sudah menikah Stella? Dan dia putramu?" Ucapnya ingin menyentuh Reyent. Namun, Stella keburu mundur, meraih Reyent untuk di gendongnya.
"Jangan sentuh putra saya, Anda hanya orang asing!" Ucap Stella penuh penekanan.
Deg
Nurti syok mendengar ucapan Stella yang begitu sinis. Tubuhnya mematung, kembali menatap Stella. Stella ingin berbalik badan, tetapi Rey menghampirinya dan bertanya siapa wanita paruh baya ini?
"Sayang dia siapa? Apa kamu mengenalinya?"
"Tidak! Ayo kita pulang, kepala ku tiba-tiba pusing!" Dusta Stella.
"Balonnya sudah di bayar?"
"Tidak perlu, balonnya kembalikan saja!"
Reyent menangis saat balon di ambil dan di kembalikan sama Nurti. Melambai-lambai ingin meraih balonnya. Rey juga ikut bingung dengan sifat Stella, tidak tega melihat putranya menangis, akhirnya Rey mengambil balonnya lagi dan di kasih ke putranya. Lalu Rey membayar balonnya dan ingin kembali ketempat bermain. Tapi belum sempat melangkah, Nurti meraih tangan Rey. Menatap wajah Rey dengan air mata buayanya.
"Apa kamu suaminya Stella?"
"Iya!" Jawab Rey singkat.
"Saya Nurti Bibinya Stella!" Ujar Nurti memperkenalkan dirinya dengan bangga. Melihat Rey terlihat orang kaya, Nurti mengaku Bibinya Stella.
"Stella Uti sedang sakit, dia mengidap penyakit Kista. Dan harus segera di oprasi. Bibi tidak punya uang buat bayar oprasi. Makanya Bibi bantu Pamanmu berjualan balon. Itupun masih tidak cukup, tolong bantu Bibi Stella. Boleh Bibi pinjam uang buat oprasi Uti!?" Ujar Nurti yang tidak punya malu sama sekali, mengeluh di hadapan Stella. Setau Stella Nurti dulu orang kaya, memiliki kebon karet berhektar-hektar. Sampai dia tidak memperdulikan Ibunya Stella yang jatuh sakit, terkapar di rumah sakit. Kini, dia bertemu dengan Stella ingin meminjam uang buat oprasi putrinya.
Uti, putri pertama Nurti, sepupu Stella. Gadis yang begitu sombong dan angkuh. Merasa paling wow banget, selalu berbuat jahat sama Stella. Tetapi Stella dulu selalu sabar dan mengalah. Kini ia telah mendapat karma.
"Maaf saya tidak kenal dengan Anda, dan saya bukan BANK. Mungkin Anda salah orang, dan saya bukan Stella keponakan Anda. Hanya kebetulan saja saya mirip dengan keponakan Anda. Permisi." Lagi. Tubuh Nurti menegang mendengar ucapan Stella. Ia menarik tangan Stella, memohon agar Stella mau membantunya.
"Stella Bibi mohon bantu Bibi, kasihan Uti kesakitan. Bibi tidak tau harus gimana supaya Uti segera di oprasi. Semua kebon karet Bibi pada mati, tidak bisa di sadap lagi. Dan tidak ada penghasilan lagi. Hasil dari uang karet abis buat berobat Uti."
Sebenarnya Stella tidak tega melihat Bibinya mohon-mohon seperti ini. Apa lagi usianya sudah tua masih berjualan balon. Tapi Stella hanya ingin menyadarkan Bibinya. Dimana dia dulu saat Stella sedang membutuhkan bantuannya?
"Kenapa? Kenapa? Kenapa? Anda baru sekarang mengakui saya sebagai ponakan! Haa kenapa? Dulu sampai hari ini Anda kemana di saat saya sangat membutuhkan pertolongan. Dulu ketika Ibu masuk rumah sakit mau operasi butuh dana yang sangat besar. Apakah Anda peduli? Saya seperti pengemis di rumah Anda, memohon agar Anda sedikit peduli meberi pinjaman uang. Tapi Apa? Anda bilang Saya bukan BANK, Saya bukan pabrik uang. Jangan kan mau meminjamkan uang, menengok Ibu di rumah sakit saja tidak. Semua tidak Ada yang muncul batang hidungnya. Apa salah Ibu saya pada Anda? Bukankah Ibu Kakak kandung Anda, darah daging Anda, lahir dari Rahim yang sama. Tapi kenapa Anda tega membiarkan Ibu kesakitan menahan rasa sakit?"
Stella menghentikan ucapannya untuk menarik nafas agar tidak lemah di depan Bibinya.
"Padahal dulu sewaktu Ibu masih berjualan, Anda dan keluarga Anda selalu datang ke warung kecil Ibu yang sempit. Datang bukan untuk membantu, tetapi datang untuk menghabiskan makanan yang Ibu jual. Setelah kenyang kalian pergi tanpa meninggalkan uang sepersen pun. Jadi modal Ibu jualan abis di tangan keluarga Anda. Kenapa? Kenapa Anda tega sekali pada Ibu? Kenapa? Anda tidak punya hati sama sekali. Kenapa? Anda tidak ada rasa kasihan sedikit pun pada Ibu. Dan kenapa Anda tidak mau menjenguk Ibu saat terbaring tidak berdaya di rumah sakit? Dan sampai Ibu di panggil Tuhan Anda pun tidak datang saat Ibu di makamkan? WHYYY!!??" Ucap Stella panjang lebar, kini uneg-unegnya sudah ia keluarkan semua di depan Bibinya. Dan tangisannya pecah, air mata yang ia tahan sedari tadi tidak terbendung lagi.
Stella sesenggukkan, ia kembali mengingat masa lalu. Mengingat mendiang Ibunya yang selalu baik sama siapapun. Termasuk sama wanita paruh baya yang berdiri menunduk di hadapannya. Tapi kebaikan mendiang Ibunya Stella tidak pernah mendapatkan jasa dari Nurti. Mendiang Ibunya selalu iklas, tidak pernah mengharapkan balas budi dari siapapun.
Rey yang berdiri di sebelahnya terkejut. Mendengar uneg-uneg Stella. Jadi sebelum bertemu dengannya istrinya sangat menderita. Dan membutuhkan pertolongan. Kenapa Tuhan tidak mempertemukan dirinya dari dulu. Rey menarik bahu Stella untuk menenangkan-nya. Giginya bergemeletuk, rahangnya mengeras. Ternyata tangisan Bibinya ini hanya drama. Air mata buaya saja.
Sita, Frisca, Fara, dan Lulu yang menyaksikan di belakang Stella ikut menangis mendengar kata-kata Stella yang begitu menyakitkan. "Sungguh malang nasib Stella dulu, berjuang sendirian demi Ibunya. Bahkan sampai mengorbankan kuliahnya," lirih Fara.
"Andai gue di posisi Stella, mungkin tidak sekuat hati Stella," Ucap Sita. Frisca hanya diam dan menangis terharu.
Stella berbalik badan meninggalkan area tempatnya berdiri. Ia melangkah sembari menggendong putranya dengan erat. Di ikuti Rey dari belakang, Rey pamit sama Vito dan menyuruh melanjutkan jalan-jalannya. Rey juga menyuruh Pio ikut mereka. Rey ingin mengikuti istrinya.
Nurti pun berbalik badan, sembari menunduk. Wajahnya basah penuh air mata. Kini di hati Nurti hanya ada penyesalan. Nurti sudah mendapatkan karma dari mendiang orang tua Stella. Sejak dulu memang mendiang orang tua Stella selalu hidup sendiri. Cari nafkah sendiri, tidak pernah minta tolong sana sini. Mendiang Ibunya Stella selalu berkata selagi kita masih sehat, masih bisa, masih mampu, kenapa harus minta sama orang.
Ayah Stella juga banting tulang demi Stella putri satu-satunya. Agar putrinya bisa meraih cita-citanya. Kerja siang malam sampai tidak mengingat waktu. Di malam harinya saat lembur bekerja, terjadilah naas menimpa mendiang Ayahnya. Disaat Ayahnya sedang memberi semen yang sudah di aduk kepada sahabatnya, sebuat batu batako roboh menimpa mendiang Ayahnya Stella. Baru sampai rumah sakit dan baru di tangani oleh dokter mendiang Ayahnya sudah tidak tertolong lagi. Waktu itu Stella masih berusia 12 tahun, baru masuk kelas satu SMP.
Stella sempat sakit, setelah kepergian mendiang Ayahnya. Stella sangat menyayangi Ayahnya. Setiap Mendiang Ayahnya pergi bekerja Stella selalu berucap Ayah hati-hati di jalan ya! Jangan lupa makan bekalnya. Itu kata terakhir buat mendiang Ayahnya di malam hari sebelum naas menghampirinya.
***
Stella memasuki mobil di parkiran, duduk di kursi penumpang sembari memangku putranya. Reyent tertidur, karena lelah menangis gara-gara balonnya di kembalikan. Di tambah dengar suara Stella yang begitu lantang. Reyent jadi semakin ketakutan. Karena Reyent belum pernah mendengar suara Stella yang begitu keras. Rey masuk kedalam mobil, duduk di kemudi. Lalu memeluk Stella begitu erat, agar sedikit tenang. Sekarang jika Stella sedih atau menangis ada dirinya yang nenangin dan buat bersandar. Sedangkan dulu di saat Stella sedih, menangis tidak ada siapapun. Tidak ada orang yang buat bersandar.
Seperti apa nasib Stella dulu? Hidup sendiri luntang lantung. Ibunya sakit, Ayahnya meninggal. Punya saudara, tapi semua Bibi dan Pamannya tidak ada yang peduli. Rey tidak bisa membayangkan rasa sakit hatinya Stella. Rey semakin mengeratkan pelukannya, mencium puncak kepalanya. Rahangnya mengeras. Stella masih terisak di pelukan Rey.
"Sudah jangan mnangis lagi, nanti wajahnya bengkak semua. Sekarang kita pulang saja ya!" Dengan Rasa kecewa Stella mengangguk. Di hari weekend-nya keganggu. Ia tidak jadi menyenangkan putranya.
Di hari weekend Rey mengajak istri dan putranya jalan-jalan. Namun, baru memasuki tempat bermain sudah berantakan. Stella sudah sedikit tenang, Rey melepaskan pelukannya. Kemudian Rey melajukan mobilnya dengan kecepatan rata-rata. Di perjalanan hening, Stella melamun seperti memikirkan sesuatu. Pandangannya lurus kedepan. Rey pun sama, fokus menyetir.

Rey menyodorkan botol aqua yang terisi air mineral untuk Stella minum. Stella menerimanya, dan langsung ia teguk.
"Sayang, kamu mau beli sesuatu buat makan siang?"
Stella menggeleng. Tidak mau apa-apa. Tapi Rey tetap membeli sesuatu buat istrinya makan. Mobil Lamborghini milik Rey memasuki pekarangan rumahnya. Mobil berhenti di garasi, dan Rey keluar membukakan pintu untuk Stella. Rey mengambil alih membopok Reyent yang masih terlelap. Sesampainya di kamar Stella langsung terbaring di ranjangnya sembari memeluk Reyent. Padahal ia belum ganti pakaian, langsung terbaring begitu saja.

Rey berdiri di balkon kamarnya. Dia sedang melakukan panggilan dengan manager-nya, yang di tugaskan untuk memata-matai Paman Stella.
"Pokoknya jangan kasih pinjam uang, baru kerja beberapa hari sudah berani minjam uang. Jika masih memohon, bilang saja suruh hadapan dengan gue."
"Siap Bos!"
Percakapan pun berakhir, Rey kembali masuk kamar. Memandangi wajah istrinya yang terlelap dengan damai. Kedua matanya terlihat bengkak akibat tangisannya tadi. Tangannya mengelus pipi mulus Stella, lalu mencium puncak kepalanya. Kemudian Rey meraih laptopnya di atas nakas dekat ranjangnya. Dia membukanya, membaca email dari Samuel mengirim foto hasil hari ini. Rey juga mengecek keuangan Cafe-nya.
Sorenya Stella meminta antar ke makam mendiang kedua orang tuanya. Sudah lama juga ia belum mengunjungi makam mendiang Ayah dan Ibunya. Pasti rumputnya sudah tinggi-tinggi, lama tidak di bersihin. Dengan semangat ia bergegas menuju makam mendiang orang tuanya. Stella mengenakan long dres putih dan rambut panjangnya di urai. Kelihatan simple dan alami.

Rey pun sama, mengenakan kemeja panjang putih biar serasi dengan Stella. Sebelum memasuki makam, Stella membeli bunga melati sama air, tidak lupa Stella meminjam sapu sama tukang jual bunga. Lalu Stella melangkah kearah makam mendiang orang tuanya. Di ikuti Rey dari belakang sembari menggendong Reyent yang terus mengoceh sedari tadi. Putranya memang cerewet ngoceh melulu.
Stella langsung menubruk kedua batu nisan mendiang orang tuanya. Ia sesenggukkan seraya berucap kata Rindu. Ia curahin semua isi hatinya kepada mendiang Ayah-Ibunya.
"Ayah! Ibu! Hikz hikz! Stella sangat merindukan sama Ayah dan Ibu. Kenapa Ayah sama Ibu begitu cepat ninggalin Stella. Membiarkan Stella sendirian di kota ini!?" Lirihnya, semakin terisak di batu nisan mendiang ortunya. Rey yang duduk di sebelahnya tidak tega melihat istrinya seperti ini. Di raihnya tubuh lemas Stella, dan di peluknya begitu erat. Reyent masih berceloteh, tangannya mengusap wajah Stella. Reyent bingung, Ada apa dengan Mimi-nya?
"Lebih baik kita doain Ibu sama Ayah ya! Agar Beliau tenang di sana. Jika kamu sedih begini, Ibu sama Ayah pasti sedih juga melihatnya," ujar Rey. Reyent juga berdo'a buat Kakek sama Nenek. Ayo Gimana kalau berdo'a tangannya?" Pandangan Reyent malahan lurus melihat pohon besar. Di bawah pohon sana seperti ada bayangan mendiang kedua orang tuanya Stella mengenakan pakaian serba putih. Wajahnya terlihat panik dan sangat sedih. Biasanya penglihatan seorang anak kecil seumuran Reyent sangat tajam. Jika Rey dan Stella tidak bisa melihat, tapi Reyent bisa melihatnya. Mungkin Ayah dan Ibunya kawatir dengan keadaan putri satu-satunya. Mungkin mereka juga ingin melihat cucunya.
Reyent masih berceloteh tangannya menunjuk kearah pohon besar yang tidak jauh dari makam Kakek-Neneknya. "Sssttt! Reyent tidak boleh berisik, diam nanti Kakek sama Nenek bangun." Bisik Rey pada putranya. Reyent pun mengikuti bilang sssstttt dan ibu jarinya di letakkan di bibirnya. Mendiang Ayah dan Ibunya masih terlihat di bawah pohon. Mendiang Ibunya sedang menangis dan membatin.
Ibu mohon nak jangan dendam sama Bibi, Paman atau sama siapapun. Karena dendam bisa membahayakan kita sendiri. Selama ini Ibu sudah iklas. Maafin Ibu nak, sudah ninggalin Stella sendirian. Ibu sudah merasa lega kamu sudah ada pendamping yang jagain Stella. Ibu juga sangat senang sudah memiliki cucu yang sangat lucu.
Suasana di pemakaman berubah menjadi dingin. Dan angin begitu kencang. Reyent mulai rewel berontak di gendongan Rey. Dan seperti ada yang membisiki di telinga Stella.
"Aku tidak dendam! Tetapi aku selalu ingat, sampai mati pun aku akan selalu mengingat kejahatan mereka pada Ibu dan juga Ayah. Hati Stella masih sakit jika mengingatnya," ujarnya.
"Sayang kita pulang dulu, Reyent mulai rewel!"
Stella mengangguk. Ia sudah sedikit tenang. "Reyent sini peluk dan cium Kakek sama Nenek dulu." Reyent pun memeluk dan mencium batu nisan mendiang Kakek-Neneknya. Rey juga turut mengelus batu nisan mertuanya dan membatin, mendoakan mendiang mertuanya. Dia berjanji di depan kedua makam orang tua Stella. Bahwa dia akan selalu menjaga dan membahagia-kan putri serta cucunya. Lalu Stella menabur bunga dan menyiram air yang ia beli di dekat pintu makam tadi. Reyent juga ikut menabur bunga melati. Kenapa Stella membeli bunga melati? Karena mendiang Ibunya dulu sangat menyukai bunga melati. Kemudian keduanya beranjak berdiri.
"Ibu-Ayah kami pamit pulang dulu, Ayah sama Ibu jangan kawatir. Stella baik-baik saja." Lirih Stella, dan melangkah meninggalkan area pemakaman. Stella masuk ke mobil, ia duduk di kursi penumpang sembari menenangkan Reyent yang rewel. Stella memberinya air putih dalam botol milik Reyent. Lalu di beri mainan kucing supaya diam. Stella berharap, semoga putranya tidak kena sawan. Apa lagi putranya baru sembuh.
Tadi Stella mengambil sedikit tanah dari makam mendiang Ayah-Ibunya. Sebelum pergi tadi, Stella sempat menghubungi Darmi. Bahwa dia akan mengajak Reyent ke makam mendiang Ayah-Ibunya. Darmi pun memberi ijin dan berpesan mengambil sedikit tanah yang setengah basah. Buat jaga-jaga takut Reyent kena sawan.
Sesampainya di rumah Stella langsung memandikan Reyent, begitupun dirinya. Supaya sawan-sawan pada pergi. "Bismillah! Tidak apa-apa ya nak, tadi rumah Kakek sama Nenek kok. Reyent tidak boleh takut, Reyent harus jadi pemberani." Ujar Stella, sembari memandikan putranya. Sedangkan Rey lagi berenang, Rey memang sering melakukan renang. Jika tidak pagi, sore. Pokoknya selalu rutin.
Setelah berganti pakaian, Stella turun kebawah ingin memberi Reyent makan atau cemilan. Ia juga belum makan siang. Makanannya di bawa ke kolam renang, makan seraya menemani Rey berenang. Reyent kegirangan saat melihat air dalam kolam renang. Berontak ingin turun, namun Stella melarangnya. Di dudukannya di baby chair dan di beri cemilan kesukaannya. Reyent pun langsung anteng melihat Stella meletakkan cemilannya di hadapannya. Lalu di makan sampai habis.

Tbc.
Terima kasih sudah mau membaca!!
Saranghae 🥰🥰
It's Me Rera.
_______________________