Seorang gadis cantik dengan dress putihnya menangis sesegukan menelusuri jalanan kota. Perasaannya benar-benar hancur ketika kedua orang tuanya memutuskan untuk bercerai. Kedua orangtuanya benar-benar tidak memikirkan kebahagiannya. Mereka terlalu egois memikirkan tentang diri mereka sendiri.
Matanya terus menatap kedepan tanpa melihat jalan hingga heelnya tersangkut di lubang kecil penutup gorong-gorong. Sambil menangis gadis itu berusaha menarik sepatunya.
"Hikss.. "
Seorang pria berpakaian formal berjongkok di depannya. Membantu gadis itu mengeluarkan heelnya dari lubang kecil yang berada di trotoar. Gadis itu menatap pria yang membantunya sekilas. Kemudian melanjutkan jalannya.
Langkah kaki itu berhenti di taman kota. Gadis itu terduduk masih dengan tangisannya. Pria yang mengikutinya juga terduduk di sampingnya.
"Hikss.. "
Gadis itu tidak berniat berhenti meskipun banyak orang yang memperhatikannya. Pria itu melepas jasnya. Kemudian memakaikan ditubuh gadis itu. Dia tidak mau gadis itu akan sakit nantinya.
"Mami dan papi kenapa tega ngelakuin ini ke aku," ucap gadis itu masih menangis dengan tertutup membuat orang-orang yang melihat merasa kasihan. Siapa yang tega menyakiti hati gadis itu.
"Mereka gak sayang sama aku," lanjutnya lagi. Pria itu hanya diam tidak berniat menjawab perkataan gadis itu. Dia yakin gadis di sampingnya ini hanya butuh pendengar yang baik.
Ketika kamu sedih kamu hanya butuh seseorang mendengarkan kesedihanmu. Bukan orang yang memberi masukan, karena tidak semua orang bisa memberikan masukan yang baik. Dan gadis itu sedang membutuhkan pendengar yang baik. Dan pria di sampingnya merupakan pendengar yang baik.
Rendra — pria itu membawa kepala Gia untuk bersandar di pundaknya. Gadis itu menerimanya dengan masih menangis. Tangan pria itu terulur menghapus air mata Gia yang masih berlomba-lomba untuk keluar membasahi kedua pipi chubby nya.
"Kita pulang yuk!" ajak Rendra yang dibalas gelengan kepala oleh Gia.
Rendra terdiam. Dia akan menunggu sampai kapanpun gadis itu bosan di taman itu dan memutuskan untuk pulang. Asal bersama dengannya dia akan dengan senang hati mengizinkan Gia tetap di taman.
"Oke kita disini aja sampai tengah malam."
Satu jam setelahnya Rendra menoleh kesamping kanannya. Senyumnya terbit melihat Gia tertidur di pundaknya. Rendra mengusap pipi tembam Gia.
"Jangan nangis lagi."
Pria itu membawa Gia kedalam gendongannya. Kakinya melangkah menuju mobilnya yang terparkir di restauran tempat dimana mereka makan malam. Sebelum kejadian ini, mereka sedang makan malam tapi tiba-tiba Arjun — papinya Gia mengatakan kalau dia akan bercerai dengan Rissa — maminya Gia dengan pandangan yang sulit di artikan.
"Papi serius? Mami.. " Gia menatap kedua orang tuanya secara bergantian. Rissa hanya terdiam. Dia tidak ingin bercerai tapi suaminya memaksanya untuk bercerai. Dia bisa apa jika suaminya telah seperti itu.
Gia langsung berlari keluar restauran saat itu juga. Rissa menyuruh Rendra mengejar Gia. Gadis itu akan berjalan jauh, jika sedang bersedih. Dan dia akan bingung kemana arah pulang jika sudah sadar dari tangisnya.
Rendra berjalan memasuki rumah keluarga Arjun dengan Gia di gendongannya. Arin, kepala pembantu di rumah itu berjalan mendekati Rendra. Membukakan pintu kamar gadis itu.
"Neng Gia kenapa?" Tanya Arin membantu menyelimuti tubuh Gia dengan selimut setelah Rendra meletakkan Gia di kasur gadis itu.
"Tante Rissa sama Om Arjun mau cerai. Dia gak terima, nangis jadi begini deh Bi," jawab Rendra menatap wajah Gia yang tertidur dengan nyenyak.
"Bibi menyayangkan banget kalau sampai cerai. Kalau menurut bibi mereka tuh masih saling cinta. Tapi si bapak tu kaya beda gitu," ucap Arin membuat Rendra menatap bingung wanita paruh baya itu.
"Ya kamu liat aja deh si bapak. Kaya beda gitu."
***
Bagi Gianina Nayanika Singgih keluarga adalah segalanya. Ketika ada seseorang yang menjadi benalu di antara hubungan kedua orang tuanya. Dia akan menyingkirkan orang itu. Bagaimanapun caranya.
Gia menatap seorang gadis yang sedang berjalan dengan anggunnya memasuki kafe yang sedang dia kunjungi, kafe milik sahabatnya. Gia menatap gadis dengan dress yang begitu minim. Bagaimana mungkin papinya mau dengan gadis seperti itu.
Mata monolid Gia terus menatap semua kegiatan Sherly — kekasih papinya yang sedang bersama dengan seorang wanita paruh baya. Gia berjalan menuju meja Sherly. Mengambil air mineral yang tadi dia pesan.
Gia tanpa berbicara sepatah katapun segera menyiram wajah Sherly dengan air yang tadi dia bawa dari mejanya.
"Aisssh.. Lo apa-apaan sih, dateng-dateng nyiram gue!" teriak Sherly mengusap air di wajahnya dengan tisu yang diberi oleh wanita paruh baya yang tadi bersamanya.
"Itu buat jalang yang berani mendekati pria yang sudah memiliki istri dan anak!" teriak Gia membuat semua mata tertuju kepada mereka.
"Kamu, jaga sopan santun kamu. Apakah mami kamu tidak mengajarkan tata krama yang baik!" sahut wanita paruh baya itu menatap Gia dengan sengit.
"Mami saya mendidik saya dengan sangat baik. Mami saya tidak mengajarkan saya bagaimana menjadi pelakor. Mungkin pertanyaan itu bagusnya untuk anak ibu ini." Gia menunjuk Sherly dengan handbag nya.
"Anak ini benar-benar kurang ajar." Wanita paruh baya itu mengepalkan tangannya. Kuku-kuku jarinya memutih.
"Saya bersikap seperti anda bersikap," Gia tersenyum sinis "Jauhin papi gue. Lo mau berapa? Gue bakal kasih berapapun yang lo mau asal lo jauhin papi gue." Mata Gia menatap penuh kebencian kepada gadis yang dengan wajah datarnya memperhatikan Gia.
"Lo tuli? Berapa yang lo mau?!" teriak Gia dengan mata yang memerah. Tangan Gia siap melayang ke wajah Sherly tapi dengan cepat seorang pria menahan tangan Gia.
"Udah. Ayok kita pulang!" Pria itu menarik tubuh Gia. Membuat gadis itu memberontak.
"Gak mau. Lepas!"
Rendra, pria itu menulikan pendengarnya. Dia masih berusaha menarik Gia keluar dari kafe milik sahabat gadi itu. Sedangkan Sherly dan ibunya menatap malu orang-orang yang memperhatikan mereka.
"Selamat siang. Anda bisa keluar dari kafe saya," ucap seorang gadis dengan wajah datarnya.
"Anda siapa berani-beraninya mengusir kami!" Marah wanita paruh baya itu merasa di permalukan untuk kedua kalinya.
"Saya pemilik kafe ini. Anda bisa keluar sendiri atau saya akan memanggil sekuriti untuk mengusir anda!" ucap Kaira — sahabat Gia dengan masih memasang wajah dinginnya.
Gadis itu tidak akan membiarkan sahabatnya membalas perbuatan pelakor itu seorang diri. Dia akan membantu sahabatnya itu dengan cara seperti ini. Membuat malu kedua wanita itu dengan mengusir mereka dari kafenya.
"Satpam!!"
"Iya gue keluar. Sialan!"
Kedua wanita itu menghentakkan kakinya berjalan keluar kafe milik Kaira dengan wajah marah. Sedangkan Kaira gadis itu tersenyum puas.
'Tunggu aja hal apa lagi yang bakal gue lakuin ke lo, pelakor!'
***
to be continue
^^^Eternal❣^^^