Gia berjalan memasuki ruang makan. Gadis itu membatalkan niatnya untuk sarapan pagi ini saat melihat Rendra duduk bersama kedua orang tuanya di meja makan.
"Sayang, sini sarapan dulu," ucap Rissa ketika melihat putrinya masuk kedalam ruang makan.
"Di luar aja mi. Aku makan bareng bang Chandra." Gia melirik Rendra dengan sinis kemudian gadis itu pergi meninggalkan ruang makan.
Rissa dan Arjun meringis melihat tingkah putrinya. Sedangkan Rendra menatap dengan sedih kepergian Gia. Gadis itu pasti malas sarapan karena ada dirinya di sini. Dia sadar Gia tidak pernah senang terhadap dirinya.
"Rendra, lanjutin sarapannya. Anak itu hanya masih marah karena rencana penceraian kita. Jangan berfikir yang aneh-aneh," ucap Rissa lembut yang di balas anggukan dan senyuman di wajah Rendra.
"Dasar pria miskin!" gerutu Gia berjalan menuju garasi mobil untuk mengambil mobilnya.
Gadis itu menatap sinis mobil milik Rendra. Senyum licik terbit di sudut bibirnya. Dia akan memberikan sedikit pelajaran kepada pria itu karena sudah berani masuk kedalam kehidupan keluarga nya.
Gia membenci Rendra. Pria itu selalu saja di bela oleh kedua orang tuanya. Apa yang dilakukan pria itu selalu benar. Kedua orang tuanya terlalu menyayangi pria itu, padahal Rendra bukan anak mereka. Rendra hanyalah anak dari sahabat maminya.
Selesai dengan rencana liciknya. Gia tersenyum senang melihat hasil kerjanya. Bagus, pria itu tidak akan bisa bekerja ke kantor sehingga dia tidak perlu melihat wajah pria itu nanti saat dia berada di kantor.
Pagi ini Gia berencana mengunjungi perusahaan milik papinya. Gadis itu sudah lama tidak berkunjung ke perusahaan milik papinya karena dia harus kuliah di Amerika selama dua tahun untuk mengambil gelar masternya. Sekarang dia sudah selesai sehingga gadis itu akan sering berkunjung ke perusahaan itu.
Setelah kepergian Gia, beberapa menit kemudian Arjun, Rissa, dan Rendra keluar bersama. Rendra menggelengkan kepalanya tersenyum simpul ketika melihat dua ban mobilnya kempes.
"Sepertinya ada beruang kecil yang mau bermain-main dengan kamu Ren," ucap Rissa yang sukses membuat Arjun dan Rendra terkekeh.
"Rendra, agar lebih seru. Kamu harus masuk kedalam permainan dia," sahut Arjun yang di sambut anggukan kepala oleh Rissa.
"Pasti Om. Bagaimana pun permainan Gia. Aku pasti akan ikut berpartisipasi."
Rissa memberikan dua jempolnya sedangkan Arjun memukul pundak Rendra dengan pelan khas pria. Rendra tersenyum manis menatap kedua orang tua gadis itu. Gadis yang selalu merasa kalau dia adalah pengganggu.
"Sekarang ayo kita berangkat. Kamu yang bawa mobil Om." Arjun memberikan kunci mobilnya kepada Rendra setelah memberikan usapan di kepala Rissa.
"Hati-hati"
***
Gia memakan sarapannya di kantin perusahaan milik papinya bersama Adelia — sekretaris Arjun. Keduanya belum memulai obrolan karena Gia yang meminta untuk makan terlebih dulu. Gadis itu benar-benar lapar tapi rasa tidak sukanya kepada Rendra membuat gadis itu mau menahan rasa laparnya.
Adelia hanya memesan caffe mocha. Gadis itu sudah sarapan jadi dia hanya memesannya untuk menemani dirinya menunggu Gia makan.
"Jadi gimana? Apa yang berubah dari perusahaan ini?" tanya Gia setelah menyelesaikan sarapannya.
"Perubahannya, perusahaan milik pak Arjun menjadi lebih baik nona. Sejak dibantu oleh pak Rendra perusahaan ini berkembang pesat."
Gia mendengus mendengar nama Rendra di sebut. "Dia membantu apa, bukankah mami dan papi yang bekerja sangat keras sehingga perusahaan ini bisa sampai seperti ini. Pria itu tidak berkontribusi. Dia hanya karyawan biasa."
"Tidak Nona. Pak Rendra adalah wakil direktur utama di sini menggantikan mami anda. Sehingga beliau berperan penting dalam mengembangkan peru—"
"Stop, Rendra menjadi wakil direktur utama di perusahaan ini?" Gia menatap tajam Adelia yang membuat gadis itu bergidik ngeri.
"Iya Nona."
Setelah mendapatkan jawaban dari sekretaris papinya, Gia pergi meninggalkan kantin menuju ruangan Arjun. Gadis itu duduk di sofa menunggu kedatangan papinya. Mata monolidnya menatap tajam kedepan. Seolah-olah orang yang lewat di depannya bisa terbelah menjadi dua karena tatapannya.
"Gia, kamu ngapain di ruangan Papi?" tanya Arjun, ketika melihat putrinya duduk di ruangannya seorang diri. Rendra menatap Gia membuat gadis itu melotot ke arahnya.
"Papi kenapa gak bilang sama Gia kalau dia jadi wakil direktur utama menggantikan mami?" tanya Gia menunjuk Rendra tanpa menatap pria itu. Rendra hanya diam, dia tidak akan berbicara sebelum Arjun menyuruhnya berbicara. Percuma dia menjelaskan, gadis itu tidak akan mau mendengar penjelasannya.
Arjun berdehem. "Rendra kamu keluar dulu." Rendra mengangguk kemudian pria itu keluar dengan senyuman yang selalu muncul di bibirnya.
Gia menatap sinis Rendra. Gia benci dengan Rendra yang selalu tersenyum, pria itu terlalu tebar pesona membuatnya muak. Bukan hanya senyuman Rendra. Gadis itu selalu membenci apa yang di lakukan Rendra.
"Papi milih Rendra karena dia pria yang jujur dan pekerja keras. Banyak klien yang langsung tertarik jika dia sudah melakukan persentasi di hadapan mereka." Arjun memegang kedua tangan putrinya. Menyalurkan rasa sayangnya pada putrinya.
"Kenapa harus dia? Kenapa bukan orang lain? Pria itu gak pantes pi buat jadi wakil Papi." Gia menatap dengan sebal papinya.
"Mau siapa? Kamu? Kamu waktu itu masih menjadi mahasiswa, papi gak mungkin jadiin kamu sebagai wakil sedangkan kamu tidak ada pengalaman di dunia bisnis sayang. Ini juga kemauan mami kamu," jelas Arjun lembut mencoba membuat putrinya mengerti.
"Mami benar-benar ya. Sekarang Gia sudah selesai kuliah. Jadi, Gia mau papi jadiin Gia sebagai wakil direktur utama. Buang aja pria itu," sahut Gia santai membuat Arjun tersenyum maklum ketika memintanya untuk membuang Rendra. Dia tidak mengerti kenapa putrinya itu sangat membenci Rendra.
"Tidak bisa secara langsung, kamu harus di training terlebih dulu. Kalau kamu sudah memenuhi syarat mungkin papi bisa membuatmu menggantikan Rendra."
"Itupun kalau kamu bisa melewatinya," lanjutnya.
Gia menatap papinya dengan tidak suka. "Papi gak percaya dengan kemampuan putri papi. Papi jahat, Papi lebih percaya pria itu. Sebenarnya anak Papi Gia atau dia."
Arjun terkekeh mendengar kekesalan putrinya. "Kamu anak kandung Papi tapi Rendra calon menantu Papi. Jadi Papi percaya kalian berdua."
"Apaan sih menantu, Papi aja sana yang nikah sama Rendra jangan Gia." Gia membuang wajahnya, malas menatap wajah papinya yang mengejeknya.
"Mulutnya, Papi masih waras ya. Rendra itu mantu terbaik."
"Iya terus aja bagus-bagusin pria itu. Aku kentang." Gia beranjak dari duduknya menuju pintu keluar. Sesampainya di luar, Gia menatap sinis Rendra yang masih menunggu di luar.
"Ngeselin!"
Setelah mengatakan itu Gia pergi dengan menghentakkan kakinya. Rendra hanya tersenyum melihat tingkah Gia, menurutnya Gia terlihat menggemaskan jika sedang marah.
Rendra masuk kedalam ruangan Arjun. Pria itu melihat Arjun yang sedang tertawa membuat dia terkekeh. Apakah begitu menyenangkan mengobrol dengan putrinya sampai membuat pria paruh baya itu tertawa.
"Rendra duduk."
Setelah menyuruh Rendra duduk. Arjun menjelaskan semua yang dia bicarakan tadi dengan Gia. Rendra terkekeh saat Arjun menceritakan tentang Gia yang berbicara tentang dirinya kentang.
Gadis itu baru saja datang dari luar negeri. Tapi kosa-kata baru dari negara tempat dia di lahirkan dan tumbuh besar masih dia dapatkan. Dia fikir gadis itu akan melupakan kata-kata aneh dari negara asalnya. Ternyata Gia tetap sama, gadis itu suka sekali berkata dengan kata-kata khas anak milineal.
"Jadi mulai sekarang, kamu jadi tutor dia. Ikuti kemanapun dia pergi. Kenali dengan perusahaan ini. Om yakin putri Om gak akan kuat dengan training yang kamu berikan."
"Jadi kalau Gia berhasil. Dia akan menggantikan saya 'kan Om?" tanya Rendra. Pria itu tidak akan mengambil hak milik Gia, kalau gadis itu mau dia akan dengan senang hati memberikannya.
"Tidak, Om tidak seyakin itu dengan putri Om. Kamu tenang saja, dia tidak akan bertahan lama mengganggu posisi kamu."
***
Kaira berjalan keluar rumahnya. Beberapa menit yang lalu, Gia mengirim pesan kepadanya. Kalau sahabatnya itu ingin bertemu. Kaira menyetujuinya. Mereka akan bertemu di salah satu mall di kota itu. Keduanya berencana menonton bioskop bersama. Mengenang jasa-jasa sekolah menengah atas mereka.
Setelah menempuh waktu satu jam Kaira akhirnya sampai. Gia mengirim foto di mana dia berada. Gadis itu berada di foodcourt.
Kaira menyentuh pundak Gia membuat sang empunya terlonjak kaget. Kaira tertawa puas melihat wajah Gia yang terlihat kesal karena dia berhasil mengagetkan gadis itu.
"Gue bisa mati kalau keselek Kai." Gia meminum minumannya dengan cepat.
"Maaf Beb." Kaira mengusap punggung Gia perlahan. Mencoba menenangkan sahabatnya itu.
Gia menganggukan kepalanya. Kemudian gadis itu memanggil pelayan untuk mencatat pesanan Kaira. Setelah mencatat pesan Gia, pelayan itu pergi meninggalkan keduanya.
"Gi, kita ke salon yuk. Katanya ada salon yang baru launching hari ini," ajak Kaira memecahkan keheningan diantara keduanya.
"Boleh, udah lama gak nyalon bareng lo"
Setelah menunggu pesanan Kaira datang. Keduanya menikmati makanan mereka dalam diam. Gadis itu sangat menyukai makan, Gia bisa makan lima kali dalam sehari. Anehnya tubuh gadis itu tetap sama, tidak bertambah berat badannya. Seperti maminya yang suka makan dan berat badannya akan tetap stabil.
Keduanya beranjak pergi meninggalkan foodcourt setelah selesai membayar pesanan mereka. Kaira menunjuk dimana tempat tujuan mereka. Gia memperhatikan banyak orang yang memperhatikan salon baru itu.
Gia dan Kaira melotot saat melihat seseorang di dalam Salon itu sedang di wawancarai oleh seorang wartawan dari salah satu televisi swasta.
Gia tersenyum sinis berjalan memasuki salon itu. "Jadi ini hasil dari memeras uang pria-pria kaya."
***
To be continue
^^^Lubiiy❣^^^