Gadis bernama Vreya Delilah Starley itu hanya bisa terperangah mendengar petugas itu bicara.
"Tunggu dulu! Tapi aku bukan kekasihnya. Aku tak pernah mengenal dia!" balas Delilah bersikeras.
"Ini hanya untuk mengisi keterangan di dalam form saja Nona, agar kami bisa melakukan operasi. Seseorang yang memiliki hubungan dengan pasien yang harus menandatanganinya," ujar petugas itu lagi menjelaskan.
"Tapi..."
"Hanya untuk tanda tangan Nona." Delilah masih ragu dan belum mengiyakan. Setelah melirik sekali lagi pada pria yang bernama James itu, sisi kemanusiaan Delilah tersentuh. Ia tak tega membiarkan pria itu tak bisa dioperasi hanya karena ia tak mau menandatangani surat pernyataan. Delilah akhirnya mengangguk setelah berpikir lagi. Toh, ia tak mungkin akan bertemu dengan pria itu lagi. Napoli terlalu besar untuk seseorang bertemu lagi tak sengaja.
'Aku rasa dia juga takkan ingat padaku nanti, jadi ya tidak ada salahnya tanda tangan,' pikir Delilah dalam hatinya. Delilah akhirnya setuju dan menandatangani surat tersebut dengan harapan agar pria itu cepat pulih kembali.
Pria tersebut dibawa ke kamar operasi tak lama kemudian meninggalkan Delilah di lorong rumah sakit. Sekarang dia kebingungan. Haruskah ia menunggu sampai operasi selesai dilakukan atau ia bisa kembali saja?
Sambil menghela napas, Delilah memandang jam tangan kecil yang melingkar di tangan kirinya. Waktu sudah pukul 2 pagi dan ia memutuskan menunggui operasi itu. Setidaknya ia bisa mendapat kabar bahwa pria itu baik-baik saja sebelum meninggalkannya.
"Aneh, aku jadi menunggu orang asing," gumam Delilah bersandar di dinding tempat duduknya menunggu. Ia sudah lelah bekerja seharian dan kini tak akan memiliki waktu tidur karena menolong seseorang. Besok ia harus membuka tokonya pagi-pagi sekali karena pesanan bunganya akan diambil. Delilah mencoba menutup matanya sejenak dan tak terasa ia malah tertidur.
Rasanya baru sebentar saat matanya terpejam. Seorang perawat pria membangunkannya dan Delilah tersentak. Ia sontak berdiri dan mendengar penjelasan perawat tersebut.
"Dia sudah dioperasi. Sekarang sudah dipindahkan ke ruang perawatan," ujar petugas itu. Delillah mengangguk mengerti.
"Kamu bisa melihatnya, Nona." Delilah mengangguk lagi. lalu berjalan mengikuti perawat tersebut dan masuk ke ruangan mewah. Ketika di depan pintu, Delilah menyentuh pelan lengan perawat tersebut.
"Kenapa kalian menempatkannya di ruang mewah seperti ini? Aku tidak punya uang untuk membayar," ujar Delilah dengan suara sepelan mungkin. Ia takut pria itu mendengar. Perawat itu pun tersenyum.
"Dia memiliki asuransi pribadi Nona, kamu tidak usah khawatir soal biaya." Delilah akhirnya mengangguk dan masuk perlahan ke kamar yang lebih besar dari apartemennya. Perawat itu memeriksa kondisi pria tersebut. Ia masih tertidur dan belum sadarkan diri.
"Dia baik-baik saja?" tanya Delilah pada perawat itu usai melihat pria tersebut.
"Iya, dia hanya belum sadar dari obat biusnya saja." Delilah mengangguk lagi.
Setelah melihat sekali lagi, Delilah berpikir jika pria itu pasti bisa menjaga dirinya sendiri. Setelah melihat jam tangan dan waktu sudah pukul 4 pagi, mata Delilah spontan membesar.
"Ah, aku bisa terlambat!" sahutnya. Perawat itu kemudian melihat Delilah yang menyengir.
"Aku rasa dia sudah baik-baik saja sekarang. Apa aku boleh pergi?" tanya Delilah dengan polosnya.
"Tentu saja, Nona." Perawat itu ikut tersenyum dan memberi ijin Delilah untuk pergi dari ruangan itu. Delilah tersenyum dan mengangguk beberapa kali.
"Lalu siapa yang akan menjaganya?" tanya Delilah.
"Tadi aku sudah menghubungi keluarganya. Mereka akan datang sebentar lagi!" Delilah pun makin mengangguk mantap.
"Kalau begitu aku pergi dulu. Semoga dia cepat sembuh," ujar Delilah dengan tulus. Setelah berpamitan Delillah pun keluar dari ruangan perawatan dan itu dan tergopoh-gopoh keluar dari koridor rumah sakit.
Kini ia tak punya uang sepeser pun usai menghabiskannya untuk ongkos taksi bagi pria yang ia tolong. Delilah terpaksa berjalan kaki dari rumah sakit ke toko bunganya di jalan Viale Rafaello.
Menempuh jarak yang cukup jauh, Delilah jadi kelelahan dan sesekali berhenti meski kemudian harus berjalan cepat karena matahari mulai terbit.
Delilah berjalan sampai 2 jam untuk kemudian tiba di tokonya tepat pukul 7 pagi. Rasanya ia sudah mau pingsan. Delilah langsung mencari kursi dan mengistirahatkan kaki kurusnya.
"Ah... aku hampir mati!" gerutunya sambil terengah. Delilah bahkan tak sanggup lagi berdiri mengambil air minum. Pelanggannya akan datang pukul 7.15 jadi ia punya waktu 15 menit untuk menenangkan diri dan beristirahat.
Berharap pelanggan yang akan mengambil pesanan bunganya akan memberikan separuh dari uangnya, Delilah tak punya uang untuk membeli sarapan. Ia sudah terbiasa berhemat seumur hidupnya.
Delilah anak kedua dari dua bersaudara. Ia punya seorang Kakak laki-laki yang lebih mirip penjahat dan penjudi daripada seorang Kakak. Tak hanya Kakak laki-laki, Delilah juga memiliki seorang Ayah yang memiliki sifat sama persis seperti Kakaknya. Atau Kakaknya yang sebenarnya sama persis seperti Ayah mereka, entahlah.
Yang jelas, Delilah sudah kehilangan Ibunya yang meninggal karena melahirkan dirinya. Separuh umurnya, ia diasuh oleh sang Nenek yang dulunya berjualan bunga. Sang Nenek meninggal terkena serangan jantung setelah Putranya disantroni pemilik kasino. Ia mengejar uangnya yang ditipu oleh Ayah Delilah, Mark Starley.
Aslinya, Delilah bukan warga keturunan Italia. Ia berasal dari sebuah kota kecil di Pennsylvania, Amerika Serikat. Ayahnya yang gemar berjudi meninggalkan banyak utang disana dan lari membawa dua anaknya ke Napoli, Italia saat Delilah berusia 16 tahun.
Tak tau menahu tentang Italia, Delilah belajar sendiri beradaptasi sekaligus bertahan hidup di salah satu kota metropolitan di Italia itu. Bekerja paruh waktu dari pelayan, pembuat kue, tukang cuci piring, Delilah remaja tak pernah tau apa itu rasa kenyang. Ia selalu dalam keadaan kelaparan karena uang yang dikumpulkan tak pernah cukup.
Sampai akhirnya ia melamar sebagai pekerja di toko bunga kecil di salah satu sudut kota. Toko itu dimiliki oleh seorang janda berusia 80 tahun. Delilah yang polos langsung diterima sebagai pegawai karena kejujurannya. Si pemilik toko begitu menyukai Delilah. Ia bahkan bisa bekerja sampai dua tahun lamanya dengan gaji pas-pas an, namun Delilah menyukainya.
Sampai akhirnya si pemilik meninggal dan mewariskan toko kecil itu untuk diurus oleh Delilah. Umurnya kini 21 tahun dan bahkan bisa menyelesaikan sekolahnya karena berjualan bunga. Kini Delilah mengurus sendiri toko kecil itu dengan pelanggan tetap dan baru yang tak begitu banyak.
Ia kerap tak bisa menyimpan uang karena sang Kakak atau Ayahnya bergantian mengambil simpanannya. Tak jarang Delilah menyimpan uang-uangnya di tempat tersembunyi seperti di balik celah dinding atau bahkan di dalam tanah pot bunga.
Pelanggan Delilah baru datang beberapa saat kemudian tepat pukul 7.15 pagi. Beruntung bagi Delilah, sang pelanggan yang puas, memberikan seluruh uang hasil pembelian bunga-bunga tersebut.
Sambil tersenyum ramah, Delilah membantu menaikkan bunga-bunga yang dibeli ke sebuah mobil pick up double cabin yang diparkir di depan tokonya.
Setelah selesai dan hendak mengucapkan selamat tinggal, seorang pria menghampiri Delilah.
"Hei... kamu sibuk?" tanya pria seusianya itu dengan sikap tubuh santai. Delilah tersenyum dan menggeleng. Pria itu adalah kekasihnya, Stevano Felice.
"Kamu sudah makan?" tanya Stevano dan Delilah pun menggeleng lagi masih tersenyum. Stevano memiliki wajah tampan dengan rambut sedikit gondrong. Ia adalah kekasih impian semua gadis di tempat tinggal Delilah dan Delilah adalah yang beruntung, Stevano memilihnya.
"Sepertinya kamu baru saja mendapatkan uang ya? Apa kamu mau mentraktirku?" tanya Stevano lagi yang baru saja membuat Delilah jadi makin terpana padanya. Ia berdiri dengan angkuh seperti layaknya lelaki sejati yang takkan meminta traktiran pada pacarnya. Tapi Stevano baru saja melakukannya pada Delilah dan gadis itu mengangguk saja mengikuti kemauan Stevano.
Mereka akhirnya sarapan di salah satu tempat makan dan Delilah takut memesan banyak. Ia takut uangnya tak cukup membayar makanan yang dipesan oleh Stevano. Delilah hanya berani memesan sepotong roti dan segelas susu.
"Hei, aku ingin bilang sesuatu padamu," ujar Stevano mengelap ujung bibirnya usai melahap dua waffle sekaligus.
"Soal apa?"
"Berhentilah memakai pakaian kuno seperti itu. Kamu terlihat seperti Nenekku!".