Delilah menunduk dan melihat pakaiannya. Stevano yang baru saja selesai makan memandang gadis berpenampilan sederhana itu dengan sebelah mata.
"Coba lihat dirimu. Mana ada gadis yang memakai pakaian kebesaran sepertimu? Kamu lebih terlihat lebih tua, aku malah pikir kamu bibiku yang tinggal di Sisilia," ujar Stevano lagi makin mencibir. Delilah tak biasa membantah atau mendebat seseorang. Dia bukan orang yang pintar bicara. Setevano kemudian mendekat dengan meletakkan kedua lengan menekan meja di depannya.
"Aku malu pada teman-temanku. Mereka mulai membicarakanmu karena kita pacaran. Aissh... aku tidak tau bagaimana cara memberitahukan padamu lagi. Aku kan selalu bilang, beli pakaian yang lebih bagus dan jangan terus mengucir rambutmu yang kusut itu." Delilah memegang kunciran rambutanya dan dengan polosnya memeriksa dirinya sendiri. Stevano yang melihat malah menggelengkan kepala tak percaya.
"Oh ya, aku perlu uang 75 Euro. Ada sesuatu yang ingin aku beli," ujar Stevano tanpa malu meminta uang pada kekasihnya. Kening Delilah mengernyit, untuk apa lagi Stevano meminta uang. Untuk makan mereka saja sudah menghabiskan 15 Euro.
"Tapi aku tidak punya uang sebanyak itu," jawab Delilah dan diberi dengusan sinis oleh Stevano.
"Ayolah, harga bunga-bunga yang kamu jual tadi setara dengan 100 Euro. Tidak mungkin kamu tidak punya 75 Euro, iya kan!" Delilah menghela napas berat. Stevano sepertinya punya idera keenam, ia bahkan tau berapa jumlah uang dari hasil penjualan bunga-bunganya itu. Delilah jadi tak punya uang sama sekali jika ia menyerahkan uang 75 Euro itu.
"Kamu mencintaiku kan? Aku pikir seseorang yang saling mencintai tidak keberatan saling berbagi. Aku juga pasti akan memberikan padamu jika aku punya uang. Untuk saat ini, bisnis perlengkapan olahraga sedang kurang baik. Toko Ayahku banyak merugi." Delilah masih sangat ragu dan hanya diam saja memperhatikan Stevano.
Tapi... aku tidak bisa memberikan 75 Euro padamu. Itu terlalu banyak bagaimana kalau 20 Euro saja?" Delilah balik menawarkan uang yang lebih kecil. Stevano mendesis kesal.
"Yang benar saja! Memangnya apa yang bisa aku beli dengan 20 Euro? Sepatu bekas!" ejeknya mencibir. Delilah tak pernah menang jika berdebat dengan Stevano masalah uang. Jika tidak merayu, maka ia akan membawa embel-embel cinta untuk merayu Delilah.
"Ayolah, masa kamu tega membiarkan aku tidak bisa membeli barang yang aku inginkan hanya karena uangku tidak cukup."
"Memangnya apa yang mau kamu beli?"
"Jersey terbaru harganya 100 Euro dan aku hanya punya 25 Euro di sakuku. Lihat ini aku tidak bohong!" ujar Stevano memperlihatkan uangnya. Delilah membuka mulutnya tak percaya. Ia mencari uang dengan merangkai bunga-bunga pesanan pelanggan selama hampir satu minggu dan uang itu akan habis begitu saja membeli Jersey.
Tapi Delilah memang tak punya kekuatan untuk melawan bagi dirinya sendiri. Ia malah bernegosiasi sekali lagi.
"Kalau begitu kita bagi dua saja, aku akan memberimu 50 Euro bagaimana? Aku benar-benar butuh uang Stevano, jika tidak, sewa apartemenku bisa menunggak bulan ini dan aku bisa diusir," ujar Delilah masih berusaha. Stevano membuang muka dengan kesal dan melihat Delilah dengan ujung mata.
"Ya sudah, mana uangnya!" Delilah kemudian membuka tas dan mengambil setengah uang yang diberikan oleh pelanggannya tadi pagi pada Stevano. Sambil menyindir karena tak sesuai yang ia harapkan, ia malah seperti setengah mengancam.
"Bagaimana bisa kamu mengaku mencintaiku jika kamu pelit seperti ini? Lain kali sebaiknya kamu juga menyimpan untukku. Aku kan pacarmu, aku juga ingin mendapatkan perhatian darimu, Delilah," ujar Stevano setengah menyindir tapi Delilah mendengarnya seperti lantunan lagu cinta yang indah. Seperti sedang dimantrai, Delilah mengangguk saja pada Stevano yang pergi meninggalkannya di cafe itu setelah sebuah mobil mengklaksonnya dari luar.
Ia bahkan tak mengucapkan selamat tinggal pada Delilah yang sudah memberinya uang agar ia bisa bersenang-senang. Delilah yang entah bodoh atau lugu malah memberinya lambaian tangan yang tak pernah dibalas oleh Stevano.
"Aku bahagia jika ia bahagia," gumam Delilah pada dirinya sendiri untuk menghibur diri. Delilah pun ikut berdiri dan keluar dari cafe tersebut untuk kembali ke tokonya.
Sepanjang hari Delilah akan menjaga toko bunga kecil itu karena itulah satu-satunya tempatnya mencari nafkah. Kesialan Delilah memang tak berakhir. Usai pecarnya yang baru datang memeras, Kakaknya, Oliver juga datang ke toko bunga Adiknya itu. Delilah hanya bisa menghela napas saat Oliver langsung mengambil uang di dalam laci kasir begitu saja.
"Bagaimana bisnismu!" tanya Oliver berbasa basi dengan sebuah tusuk gigi masih terselip di ujung bibirnya.
"Biasa saja. Tidak ada peningkatan apapun," jawab Delilah berbohong. Ia harus berbohong karena jika tidak Oliver akan mengambil sisa uangnya lagi.
"Aku sudah bilang jual saja tempat ini. Uangnya bisa kita beli lotere. Jika menang kita kan bisa membaginya, hehehe," ujar Oliver santai sambil menyandarkan sikunya.
"Tapi aku tidak bisa menjualnya Oliver, toko ini bukan milikku. Ini milik Nyonya Julia Gilliano. Jika sewaktu-waktu ada ahli warisnya yang datang aku hanya tinggal menyerahkannya saja."
"Ah, memangnya selama ini ada ahli warisnya yang muncul? Kamu kan sudah memegang toko ini selama 3 tahun. Itu artinya sudah jadi milikmu. Ayolah, kita kan bersaudara. Masa kamu tidak percaya padaku!"
"Bukan begitu, Oliver. Aku tidak bisa menjual yang bukan milikku. Lagipula kalau dijual, aku mau cari uang dimana? Ayah tidak bekerja dan kamu juga, aku harus memenuhi kebutuhan kita setiap hari," jawab Delilah. Oliver yang kesal lalu memukul konter di depan Delilah sampai ia kaget.
"Apa maksudmu bicara seperti itu? Kamu mau bilang aku dan Ayah pengangguran ya?" tunjuk Oliver kesal pada Delilah. Delilah jadi ketakutan. Jika ia salah bicara, maka Oliver tak segan main tangan. Kakaknya itu terkenal kasar dan tak takut memukul wanita.
"B-bukan itu... maksudku..."
"Tugasmu adalah merawat aku dan Ayah apa susahnya! Aku juga sudah berusaha mencari pekerjaan tapi kan kamu tau sendiri susahnya mencari pekerjaan di Napoli!" potong Oliver berkilah panjang lebar. Delilah hanya bis adiam saja ditunjuk dan dipojokkan oleh Kakak lelakinya itu.
"Ah, kamu memang membosankan. Aku datang kemari ingin menemani dan mengobrol denganmu tapi kamu selalu mengata-ngatai aku. Dasar sial!" umpat Oliver kesal dan berbalik hendak pergi. Sebelum pergi ia malah sengaja menendang beberapa pot sampai pecah.
"Aaah!" pekik Delilah kaget saat pot-pot itu pecah. Oliver tak perduli ia langsung pergi begitu saja keluar dari toko bunga itu. Delilah hanya bisa mengurut dada dan mencoba terus bersabar. Delilah kemudian berjongkok dan memungut pot-pot bunga yang sudah pecah itu. Sekarang mau tidak mau ia harus mengeluarkan uang lagi untuk membeli pot-pot baru. Delilah jadi lelah dengan keadaan hidupnya. Ia berjongkok dan menyembunyikan wajahnya diantara lipatan tangan dan lututnya.
Delilah hanya bisa meneteskan airmata dari bola mata biru terang yang ia miliki. Ia menghapus airmatanya dan sambil sedikit terisak membereskan pot-pot pecah dengan tanah berserakan itu.
Setelahnya Delilah masih harus membereskan beberapa tanaman sebelum kemudian kembali pulang ke rumah yang bisa disebut neraka. Ketika ia pulang, sang Ayah sudah pulang entah darimana dalam keadaan mabuk seharian menonton televisi. Ia sudah tertidur di sofa ruang tengah.
Apartemen Delilah kecil hanya memiliki 3 kamar dan Delilah kebagian kamar yang sebenarnya adalah gudang, kecil dan sempit. Tapi ia sudah berada di kamar itu selama beberapa tahun terakhir. Jadi ia sudah terbiasa.
Tak jarang ia juga akan mendapatkan perlakuan kasar dari saudara maupun Ayah kandungnya sendiri tapi Delilah tak pernah melawan dan selalu menghormati Ayahnya.
Delilah mungkin bisa merasa jika hidupnya kembali seperti biasa. Tinggal satu atap dengan Ayah pemabuk dan Kakak lelaki tukang judi. Tapi sebenarnya bahaya yang lebih besar sudah menunggunya.
James Belgenza membuka matanya perlahan setelah dua hari tertidur tak sadarkan diri di rumah sakit. Ketika ia berpaling, Earth Lewis, kepala pengawalnya sudah berada di sebelah ranjang memperhatikannya.
"Tuan sudah sadar?"