Di pertengahan jalan. Arthur nyaris hampir berseberangan dengan rombongan yang mengejarnya tadi.
Pada akhirnya Arthur mengambil jalan memutar dan menyelinap kedalam semak belukar.
Pada saat itu ia sudah melewati hutan perbatasan.
Karena Arthur malas menghabiskan waktunya yang terlalu banyak. Ia pun berteleportasi. Bertepuk tangannya tiga kali. Dan gulungan asap Hitam muncul menyulutnya kedalam.
Dengan begitu ia berteleportasi ke negeri Whitackrest.
Itu mendarat tepat di wilayah Utara suku Akez.
Karena Arthur sudah berada di pekarangan manusia. Ia kembali berjalan normal seperti biasa dengan membawa Cecile dalam gendongan nya.
Tepat didepan sebuah rumah sederhana dengan pekarangan yang luas.
Membuka pintu pagar, pohon besar diatasnya bergoyang dengan rimbun. Itu terasa damai dan menyejukkan. Tampak seorang gadis kecil yang sedang bermain di sekitar pekarangan. Rambut pirangnya yang lurus dikepang dua. Ia memegang boneka jerami di tangannya. Ketika melihat kedatangan Arthur.
Mata hitam nya yang bulat itu berbinar cerah. Segera ia berlari kecil kearahnya, membuat rambut kepang nya berayun-ayun.
"Paman!" Serunya gembira.
"Gayle"
Arthur tersenyum lebar menyambut keponakan tersayangnya. Gadis kecil itu segera memeluk lututnya. Mendongak keatas matanya yang jernih menatap penasaran pada Cecile yang masih dalam gendongan nya.
"Siapa yang paman bawa?"
Belum sempat Arthur menjawab, ia melihat seorang wanita baru saja keluar dari rumah. Mengenakan gaun biru polos dengan rambut panjang pirangnya yang tergerai bebas sebahu. Ia tampak sangat indah dibawah pantulan sinar matahari.
"Arthur siapa yang kau bawa?"
Wanita itu melangkah kearahnya. Sepasang alisnya tertaut melihat sosok gadis yang ia bawa. Lalu matanya yang bewarna biru sama seperti miliknya kembali melirik kearahnya. Itu menatap lurus untuk menegaskan jawaban.
"Kakak ini adalah teman ku"
"Sejak kapan kau berteman dengan manusia?"
"Mari kita bicarakan didalam, aku sudah sangat lelah seharian ini berlari dari kejaran mereka"
"Em!"
Masuk kedalam, wanita itu membawanya masuk ke sebuah kamar kosong. Sebenarnya itu adalah kamar yang disediakan khusus oleh kakak perempuannya untuk nya. Karena ia sering datang ketempat ini dan tinggal bersama keluarga kecil kakak perempuannya.
Hanya saja akhir-akhir ini ia jarang datang untuk tinggal. Karena orang-orang itu sudah tau keberadaan nya dirumah itu. Semenjak itulah ia selalu datang dan pergi demi menghindari rombongan yang mengejarnya.
Meletakkan Cecile diatas kasur, mereka berjalan keluar. Sebelum pintu ditutup, Gayle sempat melirik kembali kedalam. "Paman!apakah kakak cantik itu kekasih paman?" Tanyanya dengan polos.
Arthur baru saja menutup pintu, mendengar pertanyaan itu ia tersenyum canggung. Kakak perempuannya yang melihatnya, mengambil Gayle kearahnya.
"Gayle main dulu ya diluar! Ibu ingin membicarakan sesuatu dengan paman" Kata wanita itu lembut, tangannya yang halus mengusap kepala putrinya penuh kasih.
"Baik ibu!" Gayle mengangguk patuh. Menoleh ke arah Arthur, wajahnya yang polos mengembangkan senyum cerah.
"Paman..jangan lupa kenalkan kakak cantik itu pada Gayle, yaa" Katanya kemudian dan berkedip imut.
Arthur hanya mengangguk menuruti kemauannya. Ia selalu merasa tidak berdaya dengan keponakan nya yang cantik itu.
Setelah Gayle pergi meninggalkan mereka, Elvina yang merupakan kakak perempuan Arthur, mengajak nya untuk duduk di depan meja teh. Lalu wanita cantik itu mengarah kan wajahnya dengan tegas kearahnya. Mata birunya berkilat tajam menuntut penjelasan. Arthur rasanya ingin menangis setiap kali mendapati tatapan tajam dari Elvina.
"Jelaskan!"
"Baik aku akan menceritakan semuanya pada kakak"
Arthur mengawali cerita itu dari malam pertama mereka bertemu. Ia tidak mengatakan itu adalah malam festival akhir tahun seperti yang Cecile katakan padanya. Karena ia sama sekali tidak mengingat pernah bertemu Cecile pada malam itu.
Karenanya ia memulai dari malam dikamar penginapan itu.
Tapi belum selesai ia bercerita, tangan Elvina mendarat di pinggangnya dan memberi cubitan keras.
"Argh.." Arthur menjerit kesakitan dan Elvina melepaskan cubitannya dengan tampang tak bersalah.
"kakak apa yang kau lakukan?" Keluh Arthur. Ia baru saja memulai cerita dan kakaknya sudah mencubitnya dengan keras?
"Kenapa kau harus melompat ke kamar seorang gadis dimalam hari? Apakah kau masih seorang pria terhormat dengan bertindak seperti itu?" Meski mengoceh seperti itu, Elvina tidak melepaskan sisi keanggunan yang ada dalam dirinya. Dengan aura kemuliaan seorang putri terhormat dan sisi seorang ibu dalam dirinya, ketika itu dipadukan orang nyaris akan menunduk di tempat.
Meskipun itu tidak berlaku pada Arthur, tapi ia selalu mengagumi setiap kali kakaknya bertindak seperti itu.
"Siapa yang tau kalau itu adalah kamar penginapan seorang gadis? kak.. hanya jendela kamar itu yang terbuka pada malam itu. Akhirnya dengan terpaksa aku melompat kedalam nya"
Arthur menuangkan teko teh ke cangkirnya. Ia selalu suka dengan cita rasa teh yang dikelola dalam negeri Whitackrest. Itu sedikit berbeda dengan yang ada di negerinya. Cita rasa teh di negeri ini lebih bervariasi, dipadukan dengan aroma bunga segar yang menenangkan.
Mendekatkan cangkir itu ke bibirnya, aroma mawar yang memikat menusuk penciuman nya. Arthur pun meneguk nya perlahan.
"Lalu bagaimana bisa gadis itu masih bersama mu? apa kau sudah menghabiskan malam bersamanya?"
"Pftt..." Mendengar pertanyaan yang sangat mengejutkan itu. Arthur refleks menyemburkan teh yang diteguk nya.
Kenapa kakak perempuannya sampai berpikir sejauh itu?
"Kak..aku memang bermalam dengan nya tapi aku sama sekali tidak melakukan apapun"
Mata biru Elvina menatap tajam kearahnya. Mengibaskan suasana dingin seperti es ke sekitar. Bahkan suaminya saja akan bergetar setiap kali ia melakukan nya, meski tidak berlaku pada Arthur. Tapi itu cukup untuk menekan nya.
"Sungguh! " Arthur membulat kan matanya dengan lebar menyatakan betapa sungguh nya perkataannya.
"Meski aku suka mengacau para gadis, kau pastinya tau bahwa aku tidak akan menyentuh mereka. Bukan begitu kak?"
"Aku tidak menyangkal hal itu" Mengelus dagunya yang runcing, ia tenggelam dalam pikirannya. Ia tau seperti apa adik lelakinya itu.
Arthur tumbuh menjadi anak yang dingin di usia belia nya. Memiliki kepribadian yang menjauh dan menyendiri. Mungkin karena didikan keras yang ia terima saat itu.
Dimana ia belajar dengan giat, membaca ribuan buku, menulis banyak sastra, menghafal sejarah, dan dibekali ilmu kepemimpinan. Itu bukanlah hal yang mudah untuk bocah kecil dengan semua tanggung jawab itu.
Sampai ketika Arthur remaja, ternyata ia memiliki kelebihan dalam dirinya. Dan bersekolah di tempat khusus untuk mengasah kelebihan nya saat itulah kepribadian nya berubah. Ia menjadi pemuda yang ceroboh dan senang bermain-main. Entah itu karena pengaruh lingkungan atau mungkin karena ia sudah bosan dengan sisi monotonnya.
Terkadang Arthur sering menebar pesona untuk menarik perhatian para gadis. Ketika bosan ia menggoda mereka tapi biar begitu ia tidak pernah menyentuh salah seorang dari mereka. Itu karena ia hanya suka bermain-main tapi tidak sampai melebihi batas itu. Akibat perbuatannya itu, betapa banyak hati yang patah dan terluka karenanya.
"Tapi aku tidak akan pernah menduga kau akan membawa seorang gadis dalam pelukan mu saat ini dan sekarang gadis itu tidak sadarkan diri?"
"Aku yang membuatnya tak sadarkan diri"
Dan dengan begitu Arthur kembali melanjutkan ceritanya. Tidak seperti sebelumnya, Elvina tidak lagi memotong nya dan terus menyimak sampai akhir.
Arthur menceritakan semuanya pada Elvina. Berakhirnya cerita yang panjang, ia kembali membasahi tenggorokan nya dengan teh.
"Jadi dia adalah putri dari kepala suku Zeath?" Elvina tidak menyangka kalau adik lelakinya akan berurusan dengan putri kepala suku.
"Melihat nasibnya, aku sedikit merasakan ada kemiripan takdir diantara kita. Begitu saja aku membantunya sampai sejauh ini" Dan Arthur meletakkan cangkir yang sudah kosong ke meja. Ia melempar pandang kearah kakak perempuannya.
Sepasang alisnya terjalin sangat rumit. Menggigit bibir bawahnya, Elvina tampak seperti memikirkan sesuatu. Matanya menatap kebawah dan menerawang jauh. Kemudian ia meluruskan posisinya kembali dan matanya kembali menatap lurus kearah nya.
"Jadi kau ingin aku menjaganya sampai ia sadar?"
"Em" Arthur mengangguk. Karena tidak mungkin ia membawa gadis itu ke penginapan. Sekarang semua orang sudah tau tentangnya hanya dari poster yang tersebar. Jadi untuk lebih aman, ia membawa Cecile ke rumah kakak perempuannya.
"Tidak lama lagi ia pasti akan bangun. Ini adalah tasnya, tolong berikan ini padanya"
Dengan begitu Arthur bangkit. Ia bersiap untuk pergi. Tidak lama lagi Cecile akan sadarkan diri dan ia tidak boleh bertemu lagi dengannya. Hubungan mereka cukup sampai disini. Itu tidak baik jika terus berlanjut.
"Kak kalau begitu aku pergi dulu, terimakasih karena sudah mau membantu ku"
"Arthur"
Baru saja mengangkat kakinya untuk pergi, Elvina memanggilnya. Ia pun berbalik.
"Apakah ada hal yang lain?"
Elvina tidak langsung menjawab. Berjalan lebih dekat kearahnya, tubuhnya yang tinggi semampai berdiri tepat didepan nya. Mengangkat wajahnya, mata biru itu terus menembaki matanya. Itu tidak seperti melotot ataupun menatap, tapi itu seperti menjelajahi nya.
"Apakah kau jatuh cinta pada pandangan pertama dengan gadis itu?
___