Chereads / The Lost Of Love / Chapter 2 - TLOL. 01

Chapter 2 - TLOL. 01

Seorang gadis terlihat tengah menatap pantulan dirinya didepan cermin. Memastikan kalau ia sudah cukup rapi untuk berangkat ke sekolah. Meraih tas nya yang ada di meja belajar dan juga mengambil ponselnya yang ada di nakas samping tempat tidur. Tak lupa mengusap sebuah figura foto yang menampilkan dua sosok yang tengah bergandengan tangan.

"Miss you so much" gumam gadis itu pelan.

Begitu keluar dari kamarnya, tatapannya jatuh pada sebuah pintu tak jauh darinya. Kamar saudara kembar yang sangat di sayanginya.

Menghela nafas pelan gadis itu pun memutuskan untuk segera turun ke lantai satu.

"Pagi Bi Minah" ucap Aline memeluk seorang wanita paruh baya yang tengah menata makanan di meja.

"Pagi non Aline, ayo sarapan dulu" Bi Minah adalah pengasuh Aline dan Vano sejak kecil. Karena kebiasaan orang tua si kembar yang sering pergi keluar kota, membuat Aline lebih dekat dengan Bibinya dari pada dengan orang tuanya.

"Ayo sini Bibi ikut makan juga" ajak Aline yang memang tidak suka jika harus makan seorang diri.

"Bibi temenin aja ya, tadi bibi sudah makan lebih dulu" ucap Bi Minah mengambil tempat duduk disamping Aline.

"Makan yang banyak ya Non, biar kuat nanti ikut upacaranya" ucap Bi Minah mengusap rambut Aline.

"Siap komandan" balas Aline membuat gesture hormat pada Bi Minah.

"Oh iya, Non Aline udah pesen taksi?"

"Udah Bi, ini lagi nunggu"

Tak lama terdengar suara klakson tanda bahwa taksi pesanan Aline sudah datang. "Ah itu udah dateng taksinya Bi, Aline berangkat dulu ya Bi" pamit Aline mencium tangan Bi Minah.

"Iya, hati-hati ya Non" ucap Bi Minah mengantar Aline sampai depan pintu.

#####

Sesampainya disekolah Aline langsung menuju ke kelasnya. Berjalan lurus tanpa menyapa salah seorang pun. Aline memang pendiam, bahkan dikelasnya ia jarang bertegur sapa dengan temannya.

Sesampainya dikelas, Aline langsung mengeluarkan sebuah novel untuk ia baca sambil menunggu bunyi bel masuk.

Tak lama ia pun merasakan ada seseorang yang meletakkan sebuah tas dimeja sampingnya.

"Pagi Aline" sapa seorang gadis cantik tersenyum ke arah Aline.

Melihatnya, Aline pun juga tersenyum "Pagi Moza" balas Aline. Moza adalah satu-satunya teman yang Aline punya. Keduanya sudah satu kelas semenjak kelas X. Aline sendiri heran bagaimana gadis secantik dan sesupel Moza mau berteman dengannya.

"Pagi-pagi udah baca novel aja nih" goda Moza yang disambut cengiran oleh Aline.

Teng.. Teng.. Teng..

Begitu mendengar bunyi bel, keduanya pun segera beranjak menuju ke lapangan untuk melaksanakan upacara.

Upacara pun berjalan lancar sampai Aline melihat sosok Vano bergabung dengan barisan siswa yang melanggar aturan. Apakah kakaknya telat lagi? Pikir Aline muram menatap sang kakak khawatir.

Seusai upacara semua siswa kembali ke kelas masing-masing untuk memulai aktivitas belajar, namun bisa Aline lihat bahwa Vano dan juga murid yang melanggar aturan diharuskan hormat dibawah tiang bendera.

#####

Bel tanda istirahat baru saja berbunyi. Afka selaku ketua OSIS SMA Dirgantara pun menghampiri para siswa yang tengah menjalankan hukuman dibawah tiang bendera.

"Oke, hukuman kalian selesai" ucap Afka melipat kedua tangan didepan dan menatap datar para siswa itu. Mendengar bahwa hukuman mereka telah selesai sontak barisan siswa itu pun langsung membubarkan diri.

"Vano tunggu!" pinta Afka membuat langkah kaki seorang cowok berhenti dan langsung membalikkan badan.

"Catatan merah lo udah terlalu banyak, sekali lagi lo nglanggar lo bisa kena SP" lanjut Afka namun diabaikan oleh Vano yang langsung membalikkan badan melangkah pergi.

Sementara Vano melanjutkan langkahnya menuju kantin, namun melihat siapa gadis yang kini berdiri dihadapannya, Vano pun menghentikan langkah tanpa berkata apapun.

"Kak Vano pasti haus" ucap Aline mengulurkan sebuah minuman pada Vano.

Vano melihat minuman itu sesaat setelahnya kembali melanjutkan langkah yang sempat terhenti tanpa mengindahkan keberadaan Aline sama sekali.

Moza yang sejak awal menunggu Aline pun segera menghampiri gadis itu yang kini tengah menunduk menatap nanar pada botol air minumnya.

"yang sabar ya Line" ucap Moza mengusap punggung Aline pelan guna menenangkan perasaan gadis itu.

Aline yang awalnya menunduk pun mendongakkan kepala guna membalas tatapan hawatir Moza, "kita sedarah Za, tapi kenapa terasa seperti orang lain?" keluh Aline menahan sesak didadanya.

"Udah yuk ke kantin aja, kita makan yang enak-enak" ajak Moza menggandeng tangan Aline dan menyeretnya menuju kantin.

#####

Bel pulang sekolah baru saja berbunyi membuat murid-murid SMA Garuda bersorak lega karena akhirnya mereka terbebas dengan rangkaian materi pelajaran.

"Lo langsung pulang Line?" tanya Moza setelah selesai merapikan peralatan tulisnya.

"Hmm, aku udah ada janji sih, tapi masih nanti agak sorean" terang Aline menyampirkan tas nya di bahu.

"Lihat basket dulu yuk, mumpung gak ada acara nih" ajak Moza menatap Aline penuh harap.

Sedikit heran, Aline menatap Moza dengan sedikit mengernyit.

"Tumben? Biasanya sendiri juga berani"

"Ya kan biasanya gue sekalian latihan cheers, ntar pulangnya gue anterin deh, ya, please!" mohon Moza menangkupkan kedua tangan didepan.

Tersenyum kecil, Aline pun menganggukkan kepala pertanda setuju.

Bersorak kecil, Moza langsung menggandeng lengan Aline menuju lapangan basket.

Lomba basket antar sekolah akan segera dimulai, karenanya tim basket SMA Garuda pun mulai berlatih cukup sering.

Aline yang mengikuti Moza sama sekali tidak mengira bahwa hanya latihan saja tim basket sekolahnya mampu menarik penonton begitu banyak. Memang anggota tim basket sekolahnya cukup terkenal di kalangan murid-murid SMA Garuda, tak heran banyak dari mereka rela tidak langsung pulang demi melihat latihan tim basket.

"Duduk sini Line" ucap Moza memutuskan duduk di tribun yang tidak terlalu tinggi ataupun terlalu rendah.

Ketika latih tanding dimulai langsung saja suasana lapangan indoor itu menjadi riuh. Moza yang duduk di samping Aline pun tak ketinggalan juga ikut bersorak.

"Duh Line, kak Rava kenapa makin cakep aja sih" keluh Moza dengan tatapan memuja pada sang kakak kelas yang saat ini tengah mendrible bola basket.

Tertawa kecil, Aline hanya menggelengkan kepala melihat sifat fangirl Moza setiap kali melihat Rava, kakak kelas mereka sekaligus anggota basket. Selain itu Rava juga langganan juara olimpiade bersama Afka sang ketua OSIS.

Aline juga baru sadar bahwa anggota basket sekolahnya bertebaran dengan cogan. Selain Afka dan Rava masih ada lagi Dirga yang jago di segala bidang olahraga.

Latihan basket sudah hampir selesai saat Moza mendapatkan telfon dari sang Mama.

"Nggak bisa pak Didin aja ya mah? Moza mesti anter Aline pulang dulu"

"... "

"Ck, iya iya"

Mendengar sekilas, Aline langsung paham dengan situasi Moza.

"Gak pa-pa kok Za, kamu pulang duluan aja, aku bisa pesen taksi" ucap Aline yang membuat Moza menatapnya penuh sesal karena dialah yang sudah berjanji akan mengantar Aline pulang.

"Gue anter pulang dulu aja deh, yuk" tawar Moza benar-benar merasa bersalah pada Aline.

Aline melihat sejenak jam di pergelangan tangannya, "ga pa-pa Za, kamu pulang duluan aja, lagi pula aku ada janji ke suatu tempat dulu" terangnya.

"Lo yakin?"

"Iya yakin, kamu pulang aja, udah ditungguin kan"

"Yaudah gue duluan ya" ujar Moza meraih tas slempangnya dan segera beranjak pergi.

Aline tetap mengamati kepergian Moza sebelum menghela nafas pelan dan kembali menatap ke arah lapangan meskipun fokusnya saat ini bukan berada dilapangan.

Aline menunggu suasana lapangan sepi terlebih dahulu sebelum akhirnya ia beranjak pergi. Ketika menuju gerbang gadis itu menemukan Vano tengah melangkah menuju tempat parkiran bersama sahabatnya. Dan saat keduanya saling bertukar tatap Aline langsung menunjukkan senyum terbaiknya.

"Kak Vano baru pulang?" tanya Aline seramah mungkin.

Namun bukannya menjawab, Vano justru melengos meninggalkan Aline begitu saja.

Melihat punggung Vano yang melangkah pergi, Aline merasa sesak didadanya. Sebisa mungkin gadis itu menahan air mata yang mendesak keluar. Mengambil nafas panjang, gadis itu kembali melanjutkan langkah menuju ke halte di depan sekolah. Di kejauhan ada seseorang yang melihat semua kejadian itu dan mengernyitkan alis.

Sambil menunggu taksi pesanannya tiba, Aline memilih mendengarkan lagu menggunakan earphone yang selalu ia bawa kemanapun. Tanpa tau bahwa ada seorang cowok yang duduk tak jauh darinya dan diam-diam memperhatikannya.

Merasa diperhatikan, Aline pun menoleh kesamping dan bertatapan dengan seorang cowok dengan pakaian seragam sama sepertinya. Merasakan wajahnya memanas gadis itu segera menunduk kembali dan lebih memilih menatap kakinya.

Sadar ada yang berjalan mendekat sukses membuat Aline gusar karenanya, beruntung ia mendengar suara klakson dari taksi yang ia pesan, segera gadis itu pun berlari menuju ke taksi mengabaikan cowok yang berdiri tak jauh darinya.

Mengamati dari dalam taksi, Aline baru sadar bahwa cowok tadi adalah ketua OSIS di sekolahnya. ‌Rafkan William Alvesko (Afka).

#####

"Jadi gimana kak" tanya Aline yang kini tengah duduk berhadapan dengan seorang wanita muda yang memakai jas putih.

Wanita itu dengan serius memeriksa hasil laporan medis milik Aline, dan dari wajahnya terlihat sekali bahwa itu bukanlah hal yang bagus.

"Kak Soya, gimana hasilnya?" tanya Aline sekali lagi karena dokter muda bernama Soraya atau sering di panggil Soya itu tak kunjung bersuara.

Menghela nafas pelan, Soraya menatap Aline penuh sesal, "kamu yakin kakak nggak perlu telfon ayah kamu, ini sudah sangat parah Aline".

Tersenyum pahit, Aline menggelengkan kepala pelan, "kak Soya yang paling tau gimana keadaan aku setelah kejadian itu" ucap Aline pelan menatap ke arah langit yang terlihat dari jendela besar di ruangan Soraya.

"Bahkan untuk melihat wajahku beliau sudah benar-benar enggan" lanjut Aline pelan menatap hampa pada Soraya, "aku rasa ini hukuman yang pantas untukku, karena aku adalah penyebab dia kehilangan cintanya".

Soraya beranjak dari duduknya untuk memeluk Aline, anak dari kakak perempuannya yang saat ini sudah tiada.

"Itu semua sudah takdir Tuhan, Aline. Jangan pernah sekalipun kamu menyalahkan dirimu sendiri, Bunda mu tidak akan pernah bahagia jika kamu seperti ini, sayang" mengusap kepala Aline pelan, Soraya sangat merasa tersiksa melihat kondisi keponakannya itu.

Saat ini Aline sangat membutuhkan dukungan dari keluarga terdekatnya, namun kenyataannya justru mereka lah yang meninggalkan gadis itu sendirian.

Tanpa terasa air mata Aline sudah mengalir deras si pipinya. Ingatan tentang keluarganya terlintas membuat gadis itu menangis tersedu di pelukan Soraya.

"3 bulan Aline, ini sudah stadium 4, paling lama hanya 3 bulan lagi" terang Soraya pelan.

TBC