Chereads / The Lost Of Love / Chapter 3 - TLOL. 02

Chapter 3 - TLOL. 02

Siang itu hujan deras melanda seluruh kota. Di sebuah rumah ada seorang gadis yang tengah merengek pada ibunya.

"Ayo Bun, nanti keburu di mulai acaranya" pinta sang gadis.

"Iya bentar ini bunda ambil kunci mobil dulu, kakak beneran gak mau ikut" tanya sang bunda pada saudara kembar sang gadis.

"Nggak ah bun" balas cowok yang tengah tiduran di sofa ruang tengah.

"Yaudah, bunda pergi dulu sama Aline ya" pamit sang bunda mencium dahi anak laki-lakinya, "besok gantian kak Vano yang nemenin Aline ya" pesan sang bunda pelan.

"Iya bun" balas Vano pelan fokus dengan game di ponselnya.

"Ayo bunda, bye bye kak Vano" ajak Aline menarik tangan sang bunda dan melambaikan tangan pada sang kakak.

"Bye" balas Vano melambaikan tangan tanpa menatap sang adik.

Namun tak lama setelahnya sebuah telfon dari rumah sakit mengguncang ketenangan Vano. Bunda serta adiknya terlibat dengan kecelakaan beruntun dan keduannya kini berada di rumah sakit.

Ketika tiba di rumah sakit, seketika dunia Vano terasa hancur saat mengetahui bahwa nyawa sang bunda tidak bisa terselamatkan. Melihat sang ayah jatuh menangis, Vano pun tak bisa lagi membendung kesedihannya. Disamping jenazah sang bunda, Vano menangis meraung.

Sementara Aline bisa terselamatkan namun butuh waktu satu minggu untuk gadis itu sadar setelah melewati masa koma. Satu-satunya orang yang ia lihat ketika sadar adalah pengasuhnya, Bi Minah.

"Bibi, bunda mana?" tanya Aline ketika ia sadar.

Sebisa mungkin Bi Minah menahan tangis, "non Aline harus sabar ya, dalam kecelakaan kemarin, bunda non Aline tidak bisa di selamatkan" terangnya sepelan mungkin.

" nggak....nggak mungkin, bunda pasti selamat kan Bi, bibi pasti bercanda kan" Aline menggelengkan kepala tak percaya, air mata gadis itu terus mengalir di pipi. Tangannya yang tidak dipasang infus pun mencengkram baju bagian dadanya, merasakan sesak yang tak tertahankan.

Gadis itu terus menangis sampai ia diperbolehkan pulang dan melihat makam sang bunda.

"bunda maafin Aline, ini semua salah Aline, andai Aline nggak maksa bunda buat nganter Aline, pasti ini semua nggak akan terjadi" Aline menunduk menangis dengan memeluk batu nisan yang bertuliskan nama sang bunda.

Bi Minah yang berdiri si belakang Aline pun tak kuasa menahan tangisnya. Mengingat kondisi Aline yang baru saja keluar dari rumah sakit, bi Minah pun segera membujuk gadis itu untuk pulang.

Sesampainya di rumah, Aline yang melihat sosok Vano segera melangkah menghampiri kakak kembarnya untuk ia peluk, namun gadis itu sama sekali tak mengira bahwa kakaknya akan mengelak.

"Kak Vano" gumam Aline tertegun. Seketika gadis itu merasa takut saat mendapati sang kakak kini tengah menatapnya tajam.

Menelan ludah meski sulit, Aline berusaha mengabaikan tatapan itu, "kak Vano kenapa nggak pernah jenguk Aline di rumah sakit?" tanyanya ragu.

"Buat apa gue jenguk seorang pembunuh"

Hati Aline terasa ditusuk begitu parah hingga terasa amat sakit ketika mendengar jawaban Vano itu. Suara sang kakak terdengar benar-benar dingin di telinganya. Sebegitu bencinya kah sang kakak padanya saat ini.

Tak mampu menatap mata Vano yang kini menatapnya penuh benci membuat Aline menundukkan kepala.

"Maafin Aline kak" pelan Aline menjawab sambil menahan isak tangisnya.

"Maaf lo gak akan buat bunda bisa balik lagi, kenapa? KENAPA BUKAN LO AJA YANG PERGI" bentak Vano menampik vas bunga didekatnya hingga pecah berserakan di lantai sebelum akhirnya beranjak pergi meninggalkan rumah.

Tangis Aline pecah melihat sang kakak keluar dari rumah, sampai akhirnya ia melihat sosok sang ayah yang baru saja turun dari lantai dua.

"Ayah, ayah maafin Aline, ini semua salah Aline" gadis itu beranjak hendak meraih tangan sang ayah yang ternyata justru menampiknya.

Mengabaikan keberadaan sang putri, ayah Aline lebih memilih melangkah meninggalkan rumah.

"Antar saya ke bandara" ucap laki-laki paruh baya itu pada sang asisten yang setia mengikutinya.

Melihat kepergian orang-orang tersayangnya membuat Aline jatuh terduduk di lantai dan menangis meraung memanggil ayah dan kakaknya.

"Ayah maafin Aline.... kak Vano Aline minta maaf, Aline mohon jangan tinggalin Aline sendirian" gadis itu terus menangis sampai akhirnya Bi Minah yang melihatnya pun meminta gadis itu untuk kembali ke kamar.

Berhari-hari setelahnya hanya ada Aline di rumah itu. Sang kakak memutuskan untuk pergi dari rumah membeli apartemen sendiri atas ijin sang ayah. Sementara ayah Aline sibuk dengan bisnisnya di luar negri hingga tak pernah pulang.

Dan kini Aline pun merasa bahwa hidupnya sudah tidak memiliki arti apapun karena kepergian orang-orang terkasihnya. Sampai akhirnya ia mendapati bahwa di dalam tubuhnya menderita sakit Leukimia. Satu-satunya orang yang mengetahui penyakitnya adalah sang dokter yang adalah adik kandung ibunya, Soraya.

Sudah berkali-kaki Soraya meminta Aline untuk memberitahu sang ayah dan melakukan pengobatan, tetapi karena gadis itu sudah tidak memiliki arti tentang hidupnya dia memilih untuk mengabaikan segala pengobatan dan pasrah pada ketetapan waktu yang ditentukan oleh Tuhan.

**@@**

Setelah keluar dari ruangan milik Soraya, Aline memutuskan untuk tidak langsung pulang dan memilih duduk di taman rumah sakit. Taman itu terlihat sangat rapi dan tertata. Banyak pasien juga yang terlihat di sekitar taman.

Saat itu Aline melihat seorang gadis yang sepertinya lebih muda darinya tengah duduk di sebuah kursi roda seorang diri tanpa ada suster yang menemaninya. Gadis itu terlihat menatap kosong ke arah depan. Aline pun memutuskan untuk menyapanya.

"Hai" sapa Aline tersenyum dengan posisi jongkok di depan gadis itu.

"Em, hai" pelan gadis itu menjawab namun terlihat seperti mencari sesuatu.

Mengernyitkan alis, Aline melambaikan tangan didepan wajah sang gadis namun ia tidak merespon apapun, dan Aline pun sadar bahwa gadis itu tidak bisa melihat.

"Aku tepat di depanmu" terang Aline membuat gadis itu kini menegakkan tubuh dan menatap lurus ke depan.

"Kenapa kamu sendirian?" tanya Aline seramah mungkin agar tidak membuat gadis itu takut.

"Suster tengah ada urusan didalam, sedangkan keluargaku belum datang untuk menjenguk"

"Boleh aku temani, sampai suster datang lagi" tanya Aline ragu.

Gadis dengan kursi roda itu pun menganggukkan kepala pelan.

Tersenyum senang, Aline bertepuk tangan pelan karenanya, "nama aku Revaline, nama kamu siapa?"

"Nama aku Tasya kak"

"Ah, kamu memanggilku kakak?"

"Dari suaramu sepertinya aku lebih muda darimu"

"Jadi, apakah suaraku terdengar setua itu"

"Eh tentu saja bukan, suara kakak bahkan sangat lembut" ungkap Tasya cepat karena takut membuat lawan bicaranya tersinggung.

Tertawa kecil, Aline membelai rambut Tasya yang tergerai indah.

"Sebentar lagi aku berumur tujuh belas" ucap Aline pelan.

"Jadi kita hanya selisih beberapa tahun, umurku lima belas"

"Ya, aku bisa menebaknya"

Karena kurang nyaman jika harus berbicara sambil jongkok, Aline pun mendorong kursi roda milik Tasya ke salah satu bangku yang ada di sana.

"Sejak kapan kamu masuk rumah sakit?" tanya Aline yang kini duduk berhadapan dengan Tasya.

"Baru beberapa hari kak, aku mengalami kecelakaan yang akibatnya retina mataku rusak, saat ini kedua orang tua ku sedang berusaha mencari donor mata"

Aline meraih tangan Tasya untuk ia genggam, "jangan menyerah dan berhenti berharap, kakak yakin suatu saat kamu pasti bisa melihat lagi".

"Ya kak, aku tidak akan menyerah"

Keduanya pun saling bertukar cerita cukup lama sampai suara seorang suster terdengar memanggil nama Tasya.

"Aku disini sus" balas Tasya sedikit berteriak agar sang suster mendengar.

"Kayaknya aku mesti balik ke ruangan kak" sesal Tasya yang terlihat masih ingin bersama Aline.

"Sepertinya juga begitu" balas Aline.

Melihat seorang suster mendekat, Aline pun tersenyum ramah.

"Hai suster Jesy" sapa Aline.

"Hai Aline, bertemu dokter Soraya?" tanya suster Jesy yang kini sudah berdiri di belakang Tasya.

Aline menganggukkan kepala sebagai jawaban.

"Kak Aline sakit apa?" tanya Tasya mendengar pertanyaan suster Jesy.

"Bukan sakit, hanya cek kesehatan, lagi pula dokter Soraya itu tante saya" terang Aline membuat Tasya mengangguk paham.

"Ayo Tasya waktunya cek kesehatan" ajak suster Jesy.

"Apakah aku masih bisa bertemu kak Aline?" tanya Tasya ragu.

Tersenyum mendengarnya, Aline beranjak dan mengusap kepala Tasya, "tentu, kakak akan mengunjungimu lagi".

"Yakin? Kakak janji ya"

"Promise" ujar Aline meraih jari kelingking Tasya untuk ia kaitkan dengan jari kelingkingnya.

"Okey, bye kak Aline"

"Bye Tasya"

"Bye Line" pamit suster Jesy.

"Bye Sus"

Aline terus mengamati kepergian Tasya sebelum akhirnya melangkah untuk pulang.

#####

Pagi itu Aline sengaja bangun lebih pagi bermaksud membuatkan sarapan untuk Vano. Ia sangat berharap bahwa hubungannya dengan sang kakak bisa seperti dulu lagi.

Datang lebih awal ke sekolah, Aline memutuskan untuk menunggu di dekat area parkir. Sampai akhirnya ia melihat sosok Vano datang bersama Ricky, sahabatnya.

"Kak Vano" Aline berdiri tepat didepan Vano dengan menyunggingkan senyum terbaiknya, "ini sarapan kesukaan kakak, sengaja aku bikin" ujar Aline mengangsurkan sebuah kotak bekal pada Vano.

Tak menjawab apapun, Vano justru menampik kotak makan itu hingga jatuh dan isinya pun tumpah, dan pergi meninggalkan Aline yang menunduk menatap nanar pada kotak makan itu.

"Lo udah ditolak berulang kali kenapa nggak nyerah aja sih?" tanya Ricky yang masih diam di tempat.

Menegakkan wajah, Aline berusaha tetap tersenyum meski air mata tetap mengalir di pipinya, "sampai kapanpun aku nggak akan nyerah" ujarnya mengusap pipi.

Menghela nafas pelan, Ricky menggelengkan kepala pelan sebelum beranjak pergi meninggalkan Aline.

Ketika menunduk hendak mengambil kotak bekalnya, Aline melihat ada setetes darah yang jatuh, sontak gadis itu menyentuh hidungnya. Menemukan ada darah, segera gadis itu berjalan cepat menuju ke toilet.

Tbc