Pagi ini, Kirana fokus membaca ulang beberapa catatan yang dia buat saat bertemu Damar kemarin. Ada sejumlah hal yang perlu dia benahi. Damar juga memintanya menambah beberapa adegan agar cerita yang disampaikan Kirana dalam novelnya lebih detail dan menyentuh pembaca.
Kirana juga memeriksa kembali tulisannya sambil berpikir bagaimana dia sebaiknya meletakkan adegan tambahan yang disarankan Damar. Dia telah membuat cukup banyak coretan di buku catatannya tapi masih belum mendapatkan ide yang menurutnya paling pas.
Aktivitas itu dia lakukan sejak selepas subuh. Tentu saja dia belum mandi. Kirana bahkan masih mengenakan baju tidurnya dan duduk sambil setengah selimutan di atas kasur.
Kirana merasa paginya benar-benar tenang sampai ibunya mengetuk pintu, masuk ke kamar Kirana, dan mengatakan sesuatu yang tidak dia harapkan.
"Ditunggu Rendra di ruang tamu. Kalian janjian mau sarapan bareng di luar, ya?"
Kirana spontan melihat jam dinding di kamarnya. Rendra datang? Ini bahkan baru pukul setengah tujuh. Bukankah itu terlalu cepat?
Namun, ibunya memang tidak berbohong. Segera setelah Kirana keluar dari kamar, dia mendengar suara Rendra yang sedang mengobrol bersama ayahnya di ruang tamu.
"Maaf, ya. Ini si Kirana pasti belum mandi," kata Janu saat melihat anaknya datang ke ruang tamu masih dengan baju tidur. "Anggap saja Mas Rendra lagi latihan lihat penampilan apa adanya Kirana kalau lagi di rumah."
Rendra hanya tersenyum menanggapi ucapan calon mertuanya. Setelah Janu meninggalkan mereka berdua di ruang tamu, barulah dia mengomentari penampilan Kirana.
"Terima kasih karena kamu sudah tampil apa adanya di depan calon suamimu ini," ujar Rendra.
"Apakah ini pujian? Terima kasih, Mas. Seperti kata Ayah tadi, ini sengaja biar besok Mas nggak kaget."
Rendra sudah rapi. Dia mengenakan setelan jas abu-abu yang dipadukan dengan kemeja putih polos. Dia tidak memakai dasi dan kancing paling atas pada kemejanya tampak sengaja tidak ditautkan. Jam tangan hitam menjadi satu-satunya aksesori yang dia kenakan.
Menurut Kirana, gaya busana Rendra tidak berlebihan, bahkan cenderung sederhana. Namun, sialnya pria itu tampak elegan dan memesona.
Walau hanya sejenak, Rendra berhasil membuat Kirana merasa bahwa dia hanyalah remah keripik yang tidak ada harganya. Lihatlah dirinya! Dia cuma mengenakan baju tidur yang warnanya bahkan sudah memudar.
"Ini masih terlalu pagi untuk berangkat kerja, bahkan untuk Mas Rendra yang mulai bekerja satu jam lebih awal dari saya."
"Apa iya? Saya pikir ini sudah paling pas karena saya perlu menunggu kamu mandi dan dandan. Belum cari tempat sarapannya juga."
Rendra kembali tersenyum. Dia senang melihat ekspresi tak suka yang diperlihatkan Kirana. Entah kenapa, kali ini tampak menggemaskan baginya.
"Sesuai kemauan kamu, pagi ini saya datang untuk menjemput kamu. Bagaimanapun, saya harus mengantarkan kamu ke kantor, kan?"
Mendengar kalimat yang diucapkan Rendra, Kirana tak bisa menahan senyumnya. Jujur saja, tadinya dia pikir Rendra tidak akan datang. Jam kerja mereka berbeda dan Rendra sudah bilang tidak mau terlambat ke kantor demi dirinya.
Kirana tidak menyangka Rendra bakal membuatnya mengalah dan mau tidak mau harus menyesuaikan diri dengan jam kerja pria itu agar mereka tetap bisa berangkat ke kantor bersama. Sungguh sebuah jalan tengah yang lumayan cerdas.
"Mas Rendra tipe saya banget, nih. Pantang menyerah dan solutif," ucap Kirana dengan begitu entengnya. Dia tidak lagi terlihat kesal, tapi justru sebaliknya.
Rendra menyukai senyum cerah Kirana. Sebenarnya dia agak bingung karena suasana hati Kirana tiba-tiba membaik begitu. Namun, bukankah itu hal bagus untuknya?
***
Kirana sempat bertanya-tanya di mana mereka akan sarapan. Dengan cara berpakaian Rendra, sejujurnya akan aneh jika mereka secara acak berhenti di pinggir jalan untuk makan bubur ayam atau mendatangi warung soto sapi yang biasanya memang jadi menu sarapan kebanyakan orang. Makan gudeg sambil duduk lesehan di trotoar sepertinya juga bukan pilihan aman.
Tentu saja Kirana tahu bahwa Rendra bukan orang yang alergi makan di warung pinggir jalan. Namun, bukankah penampilan Rendra akan terlalu menarik perhatian nantinya?
Tidak ada obrolan apapun selama perjalanan. Sejak awal, Kirana bilang terserah mereka akan makan di mana. Barulah saat melihat gedung Mandala Mall yang terasa semakin dekat, Kirana merasa tidak ingin diam saja.
"Kita sarapan di tempat kerjanya Mas Rendra?"
Rendra mengangguk. "Kamu bilang terserah, kan?"
Ini masih pukul delapan pagi dan Mandala Mall jelas belum buka. Kirana semakin penasaran. Di mana mereka akan sarapan?
Saat mobil Rendra memasuki area parkir di rubanah Mandala Mall, Kirana akhirnya ingat kalau ada sebuah kafe yang biasanya memang buka sejam lebih awal ketimbang jam operasional pusat perbelanjaan tersebut.
Sesuai dugaan, Rendra mengajak Kirana duduk di kafe yang letaknya sangat dekat dengan lobi. Menu sarapan mereka adalah roti, kopi, dan tatapan para pegawai kafe yang sejak awal tampak penasaran karena melihat Rendra datang bersama seorang perempuan.
"Dengan siapa biasanya Mas sarapan di sini?" tanya Kirana. Dia tahu orang-orang memperhatikannya.
"Bobby."
Kirana tidak mengenal Bobby, tapi dia tahu itu adalah nama sekretaris Rendra. "Cuma dia? Nggak pernah sarapan di sini bareng klien?"
Rendra hanya menggelengkan kepalanya. Dia kembali menyeruput kopinya tanpa sama sekali merasa aneh dengan pertanyaan Kirana.
Kirana langsung mengerti mengapa kehadirannya begitu menarik perhatian. Orang-orang itu pasti sedang sibuk menerka ada hubungan apa antara Rendra dan dirinya.
Rendra mengecek jam tangannya. Jam kerjanya dimulai sekitar 30 menit lagi. Ada baiknya dia segera mengantarkan Kirana. Jarak antara kantor Solidnews dan Mandala Mall tidak begitu jauh sehingga waktu yang tersisa seharusnya lebih dari cukup.
"Haruskah saya menjemput kamu lagi nanti malam?" tanya Rendra saat mereka berjalan keluar dari kafe.
Kirana tidak langsung menjawab. Meski samar-samar, Kirana masih bisa mendengar para pegawai kafe langsung menggosipkan dirinya. Siapa perempuan itu? Mengapa dia bersama Pak Rendra? Apakah mereka pasangan kekasih?
Rendra bukannya tidak sadar kalau kehadiran Kirana menarik perhatian orang-orang. Dia juga tahu kalau Kirana merasa tidak nyaman berjalan bersamanya. Namun, memangnya apa yang salah? Cepat atau lambat, mereka akan tahu siapa Kirana.
"Tidak perlu. Saya bawa motor. Masa motornya mau ditinggal lagi di kantor?"
Jawaban Kirana membuat Rendra tersenyum. Dia ditolak. Lagi. "Kalau gitu, besok pagi saya jemput lagi, ya. Motornya tinggal di rumah, jadi malamnya kita bisa pulang bareng juga."
Kirana tidak suka dengan ide Rendra. "Ini maksudnya Mas Rendra mau jadi supir pribadi?"
Rendra tertawa ringan. Kirana baru saja menyebutnya apa? Supir pribadi? "Saya cuma mencoba jadi pasangan yang baik. Bukankah biasanya perempuan suka diperlakukan seperti itu?"
"Menurut Mas Rendra, semua perempuan seperti itu?"
Terdiam sejenak, Rendra merasa harus lebih hati-hati dalam memilih kata-kata. "Tadinya saya berpikir begitu. Setelah melihat reaksimu barusan, sepertinya saya salah."
"Mas tahu alasannya?"
Hanya satu hal yang terlintas di pikiran Rendra. "Karena kamu perempuan mandiri?"
Kirana menghentikan langkahnya. Rendra pun otomatis melakukan hal serupa. Keduanya kini berdiri dengan posisi saling berhadapan.
Rendra menunggu kalimat seperti apa yang akan diucapkan Kirana kali ini. Apakah perempuan itu bahkan tidak suka disebut mandiri? Kirana benar-benar membuatnya bingung.
Di luar dugaan, Kirana malah tersenyum. Sambil memandang tepat pada kedua bola mata Rendra, dia berkata, "Saya butuh calon suami, bukan supir pribadi."
Oh, tidak. Apa istimewanya ucapan Kirana? Mengapa Rendra tiba-tiba merasa jantungnya berdetak lebih cepat?