Restoran utama di hotel bintang lima itu seharusnya memiliki cukup banyak tamu, apalagi karena ini waktunya makan malam. Namun, Rendra hanya melihat satu pelanggan. Cuma ada seorang pria tua yang sedang menatap ke arah jendela, menikmati indahnya Jogja dari ketinggian di malam hari.
Rendra berani bertaruh bahwa pria itu telah menyewa seluruh restoran agar tidak ada orang lain yang mengganggu pertemuan mereka malam ini. Berlebihan? Tidak. Jika memiliki begitu banyak uang, kamu bisa melakukan apa pun sesuka hatimu, kan?
Begitulah mantan ayah mertuanya. Jangankan menyewa satu restoran mewah, dia juga bisa mengosongkan seluruh hotel jika memang itu yang dia inginkan.
"Mengurus sebuah mall memang terlalu mudah untukmu. Sungguh terlalu sayang karena kamu hanya menjadi GM di sana. Seharusnya, kamu jadi bosnya para GM dari 15 mall yang ada di bawah naungan Mandala Group."
Rendra tersenyum tipis mendengar ucapan mantan ayah mertuanya. Entah sudah berapa kali kalimat semacam itu diucapkan. Bahkan, Rendra bisa menebak kalimat lanjutannya.
"Apa kamu benar-benar tidak tertarik dengan promosi jabatan? Kemampuanmu ini benar-benar terlalu sayang jika tidak dimanfaatkan secara optimal."
Dengan tetap berusaha mempertahankan senyumnya, Rendra menjawab, "Bapak tidak lupa, kan? Saya justru berharap bisa segera pergi dari Mandala Group."
Mandala Group tumbuh sangat pesat di tangan generasi kedua. Pria yang duduk bersama Rendra sekarang adalah Adnan Mandala Saputra, anak pertama sekaligus satu-satunya dari pendiri Mandala Group, Achmad Mandala.
Keluarga Mandala sangat misterius. Ada banyak hal yang tidak ketahui publik tentang mereka. Dulu, tak banyak yang tahu tentang anak pertama dan kedua Adnan hingga satu per satu dari mereka menyelesaikan studi, lalu dianggap layak menduduki jabatan strategis di perusahaan.
Identitas anak bungsu Adnan juga disembunyikan. Seperti kedua kakak lelakinya, orang-orang tidak boleh tahu dari keluarga mana dia berasal hingga dirinya dinilai sudah cukup layak berkontribusi dalam bisnis keluarga.
Bahkan, pernikahan anak bungsu Adnan digelar sangat tertutup. Ada protokol khusus yang harus dipatuhi setiap tamu undangan. Itulah mengapa hingga kini tidak banyak orang yang tahu bahwa Rendra adalah mantan menantunya.
"Maria sangat kekanak-kanakan. Dia benar-benar tidak tertarik dengan bisnis keluarga dan hanya ingin bersenang-senang. Itulah kenapa saya tidak bisa melepas kamu. Lagi pula, kamu memang tidak bisa pergi begitu saja, kan?"
Rendra belum merasa harus menanggapi ucapan mantan mertuanya lagi. Dia memang hanya berencana menikmati makan malamnya sembari jadi pendengar yang baik.
Selain itu, menurut Rendra, steik yang sudah tersaji di meja tampak terlalu sayang untuk diabaikan. Sang koki memilih daging sapi berkualitas tinggi dengan tingkat kematangan yang sangat pas dengan selera Rendra.
"Kirana. Namanya Kirana Agniya, ya?"
Perhatian Rendra langsung teralihkan sepenuhnya begitu nama Kirana disebut. Refleks tangannya yang tiba-tiba berhenti mengiris daging di piring bahkan sampai terlihat begitu jelas di mata Adnan.
"Kenapa kamu bersikap seolah saya tidak mungkin mengetahui hal-hal seperti itu?" Adnan mengatakannya sambil tersenyum, membuat Rendra agak merasa terintimidasi.
"Saya sebenarnya tidak peduli dengan urusan pribadi kamu. Masalahnya, Maria tidak suka. Kamu tahu, kan? Dia jadi jauh lebih sensitif dan labil sejak kalian bercerai. Bagaimana jika dia sampai bertindak nekat hanya karena merasa miliknya akan diambil orang?"
"Miliknya?" Rendra sungguh tidak suka dengan klaim itu. "Saya dan anak Anda sudah tidak ada hubungan apa pun lagi."
Adnan tertawa mendengar ucapan Rendra. "Kamu tahu Maria seperti apa, kan? Hari ini dia bahkan sudah mulai berulah untuk mendapatkan kembali sesuatu yang harus tetap menjadi miliknya."
Rendra kehilangan nafsu makan. Dia merasa sesuatu yang buruk akan terjadi.
***
"Sebenarnya aku ingin merahasiakan ini sampai waktu yang tepat. Tapi, menurut kalian, bagaimana jika seandainya kami memang bukan sekedar teman?"
Mirza mengulang perkataan Kirana siang tadi. Orang-orang tertawa melihat ekspresinya yang dibuat semirip mungkin dengan Kirana, tapi tentu saja dalam versi lebay dan bikin emosi.
"Kubilang apa tadi? Seandainya. Cuma seandainya. Kalian berharap banget ada sesuatu yang lebih, ya?"
Mirza juga merekonstruksi ucapan Kirana selanjutnya. Siang tadi, rangkaian kalimat lanjutan itu benar-benar membuat dia dan lainnya geregetan. Namun, malamnya sudah berubah jadi bahan guyonan.
"Mbak Kirana emang nyebelin banget. Masih dongkol sampai sekarang, nih," kata Mirza. Biar pun mengaku kesal, dia tetap saja mengatakannya sambil tertawa bersama yang lain.
Kirana sedang makan malam bersama teman kerjanya di warung bakso dekat kantor. Walau sederhana, momen kebersamaan mereka adalah salah satu pelepas penat terbaik setelah seharian bekerja.
"Baksomu udah habis, kan? Sana balik ke kantor! Hampir jam 8. lho. Inget, jam kerjamu belum kelar!" ujar Kirana kepada Mirza.
Suara tawa kembali pecah di meja yang mereka tempati. Mereka sampai sempat jadi perhatian pelanggan lain di warung bakso tersebut.
Sadar dirinya masih harus bekerja hingga pukul 9 malam, Mirza tak bisa membalas titah Kirana. "Eh, Maudy. Jangan ikutan ketawa! Kamu juga mesti balik kantor. Kita satu jadwal, kan?"
Begitulah Mirza. Jika dia bisa mengajak orang lain sengsara bersama, mengapa harus sendirian?
Namun, tentu saja, gertakan Mirza hanya bercanda. Buktinya, Maudy malah memasang ekspresi pura-pura tidak dengar yang lagi-lagi disambut tawa oleh Mirza dan lainnya.
Tanpa mereka sadari, seorang pria keluar dari mobil mewah yang parkir di depan warung bakso. Penampilan elegan pria itu membuatnya terlihat begitu menarik atensi.
Saat berjalan memasuki warung, pria itu otomatis menjadi pusat perhatian. Beberapa orang segera mengenali sosok tampan tersebut karena wajah pria itu telah menghiasi banyak artikel sejak pagi tadi.
"Dia bos ganteng itu, kan?"
"Wah, ngapain bos mall nongol di sini?"
"Ya, ampun. Aslinya ternyata lebih ganteng!"
Seolah tak mau peduli dengan reaksi orang-orang yang mulai saling berbisik membicarakan dirinya, pria itu tetap berjalan menuju sebuah meja yang ditempati Kirana dan timnya.
Rio adalah orang pertama yang menyadari kedatangan seorang pria ke meja mereka. Dia juga langsung mengenali sosok yang penampilannya terlalu mencolok jika dibandingkan dengan semua pelanggan di warung bakso itu.
Melihat Rio yang mendadak diam, baik Kirana maupun Mirza, Dinda, dan Maudy, otomatis ingin tahu apa yang telah terjadi. Tak butuh waktu lama, rasa penasaran mereka langsung terjawab begitu seorang pria tiba-tiba sudah berdiri di samping bangku yang diduduki Kirana.
Suasana mendadak hening. Kedatangan pria itu sungguh membuat Kirana tak habis pikir. Rendra tiba-tiba datang ke warung bakso dekat kantornya? Demi apa?
"Mas Rendra? Ngapain di sini?" tanya Kirana.
"Menjemput calon istriku. Yuk, pulang!"
Jawaban santai Rendra membuat semua orang syok, terutama mereka yang duduk semeja dengan Kirana.
Bukankah Rendra barusan seperti sengaja mengumumkan kepada semua orang bahwa Kirana adalah calon istrinya?
Kalau bisa, rasanya Kirana ingin menghilang saja sekarang. Malu banget. Sumpah!