Chereads / Broken White / Chapter 19 - Perempuan Alpha

Chapter 19 - Perempuan Alpha

Salah satu hal paling menyakitkan yang pernah dialami Kirana adalah saat dirinya menyadari bahwa dia bukan orang paling istimewa di mata seseorang yang menurut Kirana adalah dunianya. Dia merasa sangat bodoh karena menaruh terlalu banyak harapan kepada orang yang ternyata tak sedikit pun pantas mendapatkannya.

Sejak awal, mestinya Kirana segera melarikan diri. Namun, Kirana malah membiarkan dirinya terluka berkali-kali. Hubungan itu hanya membuatnya semakin hancur dari hari ke hari, tapi dia tetap saja bertahan.

Pria yang dicintainya saat itu sangat aneh. Setelah menyakiti Kirana, dia selalu berkata tidak akan pernah mengulanginya lagi. Dia bahkan tak ragu berlutut di depan Kirana saat memohon maaf.

Kirana selalu luluh dengan cara yang sama. Ironisnya, dia tetap melakukan kebodohan itu meski dirinya bahkan bisa kembali terluka hanya sedetik setelah memaafkan pria itu.

Kirana pikir, seperti itulah cinta. Kamu harus bertahan meski orang yang kamu cintai terus melukaimu. Kamu harus menerima dia apa adanya.

Sayangnya, Kirana salah. Dia terlalu naif. Pada akhirnya, dia hanya terus terluka hingga tak tahu lagi bagaimana caranya menyembuhkan luka-luka itu.

Jika dia cuma bisa menyakitimu, kenapa kamu harus mati-matian berjuang untuk bertahan di sisinya? Seharusnya, Kirana berpikir seperti itu.

Kirana sangat membenci dirinya yang dulu. Setelah semua yang dia lakukan untuk bertahan, bagaimana bisa dia hanya diam membeku saat pria itu meninggalkannya begitu saja seperti sampah?

"Asal tahu saja, itu benar-benar menyakitkan…."

***

Kirana sengaja meminta Bobby menghentikan mobil agak jauh dari gerbang masuk kantornya. Dia tak ingin semakin menjadi pusat perhatian gara-gara terlihat keluar dari mobil mewah.

Situasinya bisa lebih gawat jika Rendra sampai bertingkah aneh lagi. Tiba-tiba keluar lebih dulu hanya demi membukakan pintu untuk Kirana, misalnya? Kirana tidak ingin konten viral tentang dirinya dan Rendra memasuki babak kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya.

Ayolah, dia bahkan bukan selebritas. Jadi, untuk apa?

"Nanti malam saya jemput, ya. Kalau misal pulangnya agak mundur karena lembur atau apa, bilang aja. Saya tunggu," kata Rendra.

"Nggak perlu," balas Kirana kemudian. "Saya udah pernah bilang, kan? Saya butuh calon suami, bukan supir pribadi."

Sekali lagi, ucapan Kirana membuat Bobby ingin bertepuk tangan. 'Calon Nyonya Bos memang yang terbaik!' serunya dalam hati.

"Lagian nanti malam saya ada janji mau ketemu Damar dan nggak tahu bakal sampai jam berapa. Ketimbang nunggu dijemput Mas Rendra, jauh lebih praktis kalau saya naik ojek atau malah pulang bareng Damar."

Rendra hampir saja melupakan pria bernama Damar yang jelas-jelas menyukai Kirana. "Jangan pulang bareng Damar. Kalau nggak mau balik sama saya, mending kamu naik taksi aja."

Sebagai pengamat, Bobby mulai kesulitan mengendalikan ekspresinya. Dia tersenyum begitu saja setelah mendengar apa yang dikatakan Rendra. Dia yakin bosnya cemburu dengan pria lain yang kemungkinan besar akan pulang bersama Kirana hari ini.

"Mas Rendra aneh banget, deh. Memang Mas ini siapanya saya sampai berani melarang saya pulang dengan Damar atau pria lainnya?"

"Saya calon suami kamu."

"Calon suami? Mas baru bisa menggunakan klaim itu setelah benar-benar melamar saya besok Minggu. Itu juga kalau saya menerima lamaran dari Mas Rendra. Mas tahu kalau saya berhak menolak, kan?"

Kirana mengakhiri kalimatnya dengan melemparkan senyum meremehkan kepada Rendra. Dia lalu berpamitan kepada Bobby dan segera keluar dari mobil.

Ya, Kirana hanya berpamitan kepada Bobby. Masa bodoh dengan Rendra yang terlihat cukup syok dengan perkataannya barusan.

Rendra kesal. "Kalau mau ketawa jangan ditahan, Bob!"

***

"Saya suka Mbak Kirana, Bos."

Rendra langsung melemparkan tatapan mengintimidasi begitu mendengar pengakuan Bobby. Maksudnya apa, nih? Kenapa sekretarisnya tiba-tiba bilang kalau dia suka Kirana yang notabene merupakan calon istrinya?

Merasa terancam, Bobby refleks menegakkan tubuhnya dan segera meralat kalimatnya barusan. "Ini bukan seperti yang Bos pikirkan. Maksudnya, saya suka Mbak Kirana seperti saya suka Bos."

Rendra terlihat tidak suka dengan jawaban Bobby. "Kamu suka saya?"

"Maaf, Bos. Maksud saya… kagum? Ah, iya. Kagum. Saya kagum sama Mbak Kirana. Saya juga kagum sama Bos."

Melihat ekspresi panik Bobby, Rendra tak bisa menahan senyumnya. Pikirnya, asyik juga sesekali bikin Bobby gelagapan kayak begitu.

"Jadi, apa yang kamu sukai dari Kirana?" tanya Rendra kemudian.

Rendra baru saja keluar dari ruang kerjanya. Meskipun malas setengah mati, siang ini dia masih harus makan bersama mantan mertuanya. Ada beberapa hal terkait proyek besar perusahaan yang terpaksa mereka bahas di meja makan.

"Mbak Kirana adalah perempuan alpha. Dia tahu apa yang dia inginkan. Dia tahu apa yang seharusnya dilakukan atau tidak. Artinya, dia tidak mudah ditaklukkan."

Rendra cukup tertarik dengan ucapan Bobby. Dalam hati, dia menyetujui pendapat Bobby. Kirana memang tidak mudah ditaklukkan.

"Waktu dia bilang tidak mau menikah dengan seseorang yang masih terjebak dengan masa lalunya, sumpah itu keren banget, Bos."

Bobby tampak sangat antusias saat memuji Kirana. Entah kenapa, itu membuat Rendra enggan menanggapi agar obrolan tentang Kirana berhenti sampai situ saja.

Kalau ada kontes membaca pikiran Rendra, mungkin sekarang Bobby adalah kandidat pemenang terkuat. Setelah tidak mendapat tanggapan apapun hingga lebih dari lima detik, dia tahu kalau Rendra tidak suka Bobby membicarakan Kirana.

Namun, tentu saja tidak semudah itu membuat Bobby berhenti membahas Kirana. Lagipula, memang ada sesuatu yang mesti mereka bahas soal idola baru Bobby itu.

"Bos, untuk malam ini dan besok pagi, apakah saya harus cari orang untuk menjemput Mbak Kirana?"

Pertanyaan itu membuat Rendra ingat kalau dia harus terbang ke Jakarta sore ini. Lalu, kenapa tadi dia berjanji akan menjemput Kirana nanti malam kalau dirinya sendiri sudah meninggalkan Jogja sejak sore?

Setelah menghela napas, Rendra berkata, "Tidak perlu. Tadi kamu dengar sendiri, kan? Dia nggak butuh layanan supir pribadi."

Sekarang Rendra berharap Kirana dan Damar bertemu di kafe milik Satya seperti tempo hari. Dengan begitu, dia bisa meminta tolong kepada teman lamanya itu. Ketimbang Damar, Rendra lebih merasa baik-baik saja jika Kirana pulang bareng Satya.

'Kamu tahu Maria seperti apa, kan? Hari ini dia bahkan sudah mulai berulah untuk mendapatkan kembali sesuatu yang harus tetap menjadi miliknya.'

Rendra tiba-tiba teringat dengan ucapan mantan mertuanya semalam. Oh, tidak. Mungkinkah akan terjadi sesuatu yang buruk selama dia ke luar kota?

"Bob, saya minta tolong carikan orang untuk mengawasi Kirana selama saya pergi. Kalau perlu, awasi 24 jam. Pastikan dia tetap aman dan tidak terluka. Saya tidak mau sesuatu yang buruk terjadi padanya."

Menyuruh seseorang mengawasi Kirana 24 jam mungkin terkesan berlebihan. Meski begitu, Rendra sungguh tidak bisa mengabaikan ucapan mantan ayah mertuanya kemarin.

Tanpa banyak bertanya, Bobby segera mengiyakan perintah Rendra. "Siap, Bos."

"Ingat, ya. Kirana tidak boleh terluka sedikit pun," ujar Rendra menegaskan.