'Saya butuh calon suami, bukan supir pribadi.'
Rendra kembali tersenyum saat mengingat perkataan Kirana pagi ini. Dia baru tahu jika kalimat lugas seperti itu bisa membuatnya merasa sangat senang. Perempuan itu sungguh penuh kejutan.
Suasana hati Rendra terlihat sangat baik pagi ini dan itu malah membuat Bobby curiga. Apa yang membuat bosnya tiba-tiba tersenyum saat mereka sedang berjalan mengelilingi mall seperti biasa? Adakah sesuatu yang luput dari perhatiannya?
Rasa penasaran Bobby segera terjawab begitu dia menerima pesan dari manajer kafe langganannya di mall.
'Tadi pagi si bos katanya sarapan di kafe bareng perempuan cantik. Siapa dia?'
Si manajer menyertakan sebuah foto yang diambil pegawainya secara diam-diam. Meski hanya bagian punggungnya yang kelihatan, Bobby tahu benar jika itu adalah Rendra. Lalu, siapa perempuan yang duduk bersama bosnya? Apakah itu Kirana?
"Bos tadi sarapan di kafe biasanya?" tanya Bobby tanpa ragu.
Rendra memandang Bobby sekilas, melirik ke arah ponsel sekretarisnya, lalu melanjutkan langkahnya sambil tersenyum. "Apa sudah ada orang yang bertanya? Apa mereka ingin tahu dengan siapa saya sarapan tadi?"
"Bos sengaja?"
Bukannya menjawab, Rendra malah tertawa. Bobby akhirnya menyimpulkan sendiri jika Rendra memang sengaja membuat orang-orang bertanya-tanya tentang hubungannya dengan Kirana. Hanya saja, apa tujuannya?
"Haruskah saya mengatakan kepada semua orang bahwa Mbak Kirana adalah calon Nyonya Bos?"
"Tidak. Jangan seperti itu. Tidak akan menyenangkan kalau mereka mendapatkan jawabannya semudah itu."
Bobby semakin merasa bosnya sangat aneh. Belakangan ini Rendra menunjukkan beberapa perilaku aneh dan membuat Bobby curiga. "Bos seperti orang jatuh cinta."
Rendra masa bodoh dengan komentar Bobby. Jatuh cinta? Dia bahkan sudah tidak ingat bagaimana rasanya. Bahkan meski jantungnya tadi sempat berdebar-debar karena Kirana, dia sepenuhnya yakin itu bukan bagian dari jatuh cinta.
"Bos mendadak terlihat sangat bahagia. Bos senyum-senyum nggak jelas. Bos galau karena teleponnya nggak diangkat. Bos kelihatan senang melihat nama dia muncul di layar ponselnya Bos. Kalau bukan jatuh cinta, lalu apa?"
Rendra masih cuek. Dia terus berjalan sambil mengamati situasi mall yang sudah mulai ramai meski baru dibuka 30 menit lalu.
"Menurutmu, apa saya termasuk orang yang bisa jatuh cinta semudah itu?" Rendra bertanya kepada Bobby saat mereka mulai menaiki ekskalator menuju lantai atas.
Tidak. Bobby jelas tahu kalau Rendra bukan orang yang mudah jatuh cinta. Buktinya, tidak ada satu pun perempuan yang berhasil mengambil hati Rendra selama beberapa tahun belakangan. Banyak yang mendekat, tapi tidak ada seorang pun yang ditanggapi Rendra.
"Saya harus segera menikah. Kamu tahu alasannya, kan?"
Bobby mengetahui terlalu banyak hal tentang Rendra. Dia sempat melupakan bagian itu, tapi sekarang Bobby telah mengingat semuanya lagi. Ya, dia tahu Rendra harus segera menikah. Dia juga tahu mengapa Rendra mesti melakukannya.
Setelah mengingatnya, Bobby justru semakin merasa tidak nyaman. Dia penasaran, mengapa bosnya memilih Kirana? Apakah perempuan itu akan sanggup menghadapi segalanya di masa depan?
"Kenapa Bos memilih dia?" Pertanyaan itu akhirnya meluncur juga dari mulut Bobby.
Mendengar pertanyaan itu, Rendra kembali tersenyum. Hanya saja, senyuman kali ini terkesan berbeda dan seakan menyimpan begitu banyak luka.
"Karena dia sepertinya juga tidak mungkin jatuh cinta kepada saya," tutur Rendra. "Jadi, tidak akan ada pihak yang terluka saat ikatan itu berakhir."
***
"Mbak Kirana yakin nggak mau ikut ke Mandala Mall?" tanya Dinda yang masih menyempatkan diri menggoda editornya sebelum berangkat liputan.
Waktu tempuh antara kantor Solidnews dan Mandala Mall memang hanya sekitar 10 menit sehingga Dinda merasa tak perlu buru-buru. Menggoda Kirana sungguh terasa menyenangkan baginya. Kapan lagi punya atasan yang tidak baperan kayak Kirana, kan?
"Kenapa kamu tanya sambil senyum-senyum aneh kayak gitu? Buruan berangkat sana!"
"Mbak Kirana mau titip salam? Salam kangen, misalnya?" Dinda malah semakin semangat mengganggu Kirana.
"Repot banget, deh. Kenapa harus titip salam lewat orang lain kalau bisa ngucapin sendiri?"
Itu bukan Kirana yang mengucapkannya, melainkan Mirza. Melihat kedatangan Mirza, Dinda jadi tambah semangat menggoda Kirana.
"Kamu ngapain udah ke kantor? Bukannya jadwalmu masuk siang?" tanya Kirana kepada Mirza mencoba mengalihkan perhatian.
"Mbak Kirana sendiri kenapa jam sembilan kurang tadi udah sampai kantor? Bukannya itu terlalu awal? Terus tadi berangkat naik apa? Motornya Mbak Kirana ditinggal di kantor, kan?"
Bukannya menjawab pertanyaan Kirana, Mirza justru menghujani atasannya itu dengan rentetan pertanyaan balasan. Iya, seperti itulah Mirza. Sungguh tidak ada akhlak, kan?
Pertanyaan Mirza ternyata belum habis. "Semalam Mbak Kirana pergi dijemput orang naik mobil. Siapa, tuh? Bukan bosnya Mandala Mall, kan?"
Dinda melemparkan tatapan kagum kepada Mirza. Dia bahkan bertepuk tangan, saking semangatnya mendengar pertanyaan-pertanyaan yang ditujukan kepada Kirana.
Meski begitu, bukan Kirana namanya jika tidak tahu caranya membalas serangan sang biang gosip.
"Kalian penasaran banget, ya? Jadi penasaran juga kayak gimana reaksi kalian kalau ternyata Birendra Wijaya itu memang…." Kirana sengaja menggantungkan kalimatnya.
"Memang apa, Mbak?" Dinda jelas tidak sabar. Mirza pun terlihat menunggu kelanjutan kalimat Kirana.
Kirana hanya tertawa melihat ekspresi Dinda dan Mirza. Dia memang sengaja menggoda dua orang itu. Membuat mereka semakin penasaran ternyata lumayan menyenangkan.
Tak lama kemudian, dua orang tim multimedia datang untuk mengajak Dinda berangkat ke Mandala Mall.
Pada akhirnya, obrolan bertema "Mari Menggosipkan Hubungan Kirana dan Bos Mandala Mall" tergantikan dengan arahan singkat yang diberikan Kirana kepada tiga orang yang bertugas mewawancarai Rendra hari ini.
"Mbak, soal pertanyaan terlarang itu, boleh tetap saya tanyakan, kan?" tanya Dinda sebelum dia benar-benar keluar dari ruangan.
Kirana tentu tahu soal pertanyaan terlarang itu. Dia juga ingat bagaimana dirinya semalam sudah mencoba memperingatkan Rendra tapi pria tersebut tampak tidak mencemaskan apapun.
"Tanyakan saja. Cuma kalau bisa, setelah wawancara selesai, ya. Kita nggak pernah tahu apa risikonya. Mengingat sekretarisnya udah kasih peringatan sejak awal, mungkin aja itu memang benar-benar bisa bikin mood dia jelek. Kalau itu yang terjadi, setidaknya kerjaanmu udah beres, kan?"
Dinda merasa Kirana bisa membaca pikirannya. "Mbak Kirana tahu kalau saya sebenarnya cuma penasaran, ya?"
"Saya memang nggak berniat memasukkan hal kayak gitu waktu nulis nanti, sih. Ini murni karena saya penasaran sendiri. Masa seganteng itu jomblo, sih? Tapi kayaknya seru juga, deh, kalau info berharga itu dikabarkan kepada semua orang. Saya mencium bau-bau artikel viral. Hehehe…."
Setelah Dinda pergi, Kirana pikir dia bisa merasa lebih tenang. Namun, rupanya itu hanyalah harapan semu.
Tanpa basa-basi, tiba-tiba saja Mirza mendekati Kirana dan bertanya, "Memang Rendra, kan? Dia adalah orang yang jemput tadi malam dan nganter Mbak Kirana pagi ini. Iya, kan?"
Harus diakui, Mirza memang pantang menyerah soal beginian.