Chereads / Cinta 2 Benua / Chapter 4 - BAB 3 - EXHIBITION IN ISTANBUL

Chapter 4 - BAB 3 - EXHIBITION IN ISTANBUL

Merantaulah (berpindahlah) ke banyak negeri untuk mencari kemuliaan. 

Dan berpergianlah, dalam berpergian itu ada lima faedah yang didapat :

Hilangnya kesusahan, mendapatkan penghidupan

Serta ilmu, tata krama, serta teman-teman yang mulia 

-Imam Syafii-

Udara dingin di pesawat Etihad ini semakin menusuk lapisan kulitku. Mataku mengernyit sedikit terbuka karena telingaku sakit efek dari ketinggian dari pesawat. Aku berusaha menguap lebar agar saluran eustachius telingaku terbuka untuk mengurangi tekanan dan dapat hilang rasa sakitnya. Kulihat Syifa disamping kiriku, sedang tertidur pulas sambil memakai headset. Aku lihat keadaan sekitar, khususnya jendela kabin pesawat tampak mulai terlihat matahari terik bersinar. Kulihat jam tanganku, ternyata sudah 4 jam lebih aku melayang diudara. Sebentar lagi pesawat ini akan segera landing.

Tampaknya pesawat ini mulai turun dari ketinggian. Awan-awan putih yang tadinya menutupi seluruh pandangan dibawahnya--- kini ku dapat melihat gedung-gedung yang menjulang tinggi dan gedung-gedung kecil disekitarnya semakin terlihat jelas. Hatiku terasa bergemuruh penuh dengan rasa bahagia. Tak henti bibir ku berdzikir mengucapkan hamdalah karena nikmatNya aku akan segera menginjakkan kaki ditempat yang selama ini hanya ku dengar dari buku sejarah islam. Yap, Turki. Aku semakin tidak sabar melihat sisa-sisa salju di negeri ini karena aku tiba di akhir Febuari, dimana sudah akhir dari musim salju.

"Syif, bangun.. kita udah mau landing nih!" , ku dorong pelan bahu Syifa agar dia juga segera merasakan gejolak rasa bahagia ini. Maklum, kami berdua sama-sama belum pernah keluar negeri. Dan sekalinya keluar negeri, dapat rejeki untuk bisa terbang sejauh ini. Kami akhirnya sampai dengan selamat di Bandara Attaturk, Istanbul.

Setelah pesawat landing, kami ber-empat kemudian pergi bersama ke baggage claim dan mengambil semua barang berupa koper, tabung poster atau anak-anak arsitektur menyebutnya dengan draft tube, serta beberapa tas ransel. Bawaan barang kami memang cukup banyak kerena akan stay disini kurang lebih 1 minggu sampai dengan acara ISIF 2017 exhibition tempat kami akan mempresentasikan produk penelitian kami selesai. Tentunya akan ada pengumuman award bagi penelitian yang terbaik di ajang ini.

ISIF atau disebut dengan Istanbul International Inventions Fair merupakan sebuah penyelenggaraan pameran produk temuan atau invensi dari seluruh dunia yang kemudian dipresentasikan oleh setiap penemu produk penelitian dari berbagai perwakilan negara yang ikut serta. ISIF merupakan asosiasi dibawah naungan IFIA atau International Federation of Inventors' Association yang sudah ada sejak tahun 1968. ISIF ini sudah kali kedua dilaksanakan di Istanbul,Turki dan cukup sukses menyedot banyak perhatian dari seluruh dunia untuk mengikuti ajang perlombaan produk penelitian ini. Terdapat 34 negara yang ikut serta. Negara tersebut antara lain seperti Amerika, Inggris, Cina, Rusia, Australia, Jerman, Korea, Iran, Arab Saudi, India, Singapura, Malaysia dan---- dengan bangganya aku sampaikan Indonesia turut ikut ajang ini. Dan hanya diikuti oleh kami berempat saja sebagai perwakilan mahasiswa dari Indonesia.

Memang, jika Allah sudah berkehendak mengatakan "Kun". Maka, alam semesta pun mendukung manusia untuk mendapatkan apa yang sudah ditakdirkan olehNya. Dan atas kehendakNya pula, aku dapat mengikuti event bergengsi ini yang hanya diadakan satu tahun sekali dan sebelumnya kami sudah melewati berbagai tahapan dan proses untuk kemudian kami bisa di ACC ke acara ini tanpa uang yang dikeluarkan sepeserpun.

Mas Alvin kemudian menghampiri ku yang sedang sibuk menggendong tas ransel dan menjinjing tabung poster.

"Din, barang bawaan kamu udah lengkap belum?"

"Kayaknya udah semua kok mas, mas sama mas Sam gimana?", ku tatap Mas Alvin dan Mas Sam yang tampaknya bawaan mereka engga serempong kita berdua. Cukup dua tas backpacker dan satu koper saja.

"Udah kok kita berdua. Btw, tadi aku habis dihubungi mas PPI yang akan nge- tourguide in kita berempat. Katanya sih dia udah nungguin di arrival din".

Aku hanya bisa menganguk cepat dalam merespon. Ku panggil Syifa yang sedari tadi sibuk mencari trolley koper bandara untuk bisa mengangkut semua bawaan kita berdua yang super duper rempong ini.

"Syif, ndang sinii! Kita udah ditungguin sama mas-mas PPI nih!". Ku geret koperku dan koper Syifa sembari ku datangi Syifa dan segera susun meyusun koper-koper diatas trolley .

"Semangat banget ibuk, yowes ndang dorong Din biar langsung di tourguide-in sama masnya" jawab Syifa riang sambil merangkul bahu ku.

Sesampainya kami di arrival, aku tidak tahu yang mana mas-mas PPI itu yang akan menemui kita. Jelas kita berempat belum pernah bertemu kita... eh kita berdua maksudku. Mas Alvin dan Mas Sam berada tepat disamping kami. Mereka sibuk bermain HP. Mungkin sedang menghubungi mas-mas PPI itu batinku. Sembari ku berdiri diam mematung memegangi trolley koper, ku dengar ada suara laki-laki menyapa mengucapkan salam dibelakangku.

"Assalamu'alaikum warrahmatullahi wabarrakatuh, Mas Alvin dan Mas Sam ya?"

Kompak kami berempat menoleh kearah sumber suara. Kudapati seorang laki-laki tinggi semampai, tersenyum ramah memandangi kami berempat. Kulihat dirinya memakai kemeja putih sampai siku, memakai sabuk, lengkap dengan celana panjang warna coklat muda.

Pada lengan kanannya, ia memakai tas selempang kulit berwarna coklat tua, dan diselampirkannya jaket kulitnya tepat diatas tas selempangnya. Ku diam termenung. Ku tak pernah seperti ini sebelumnya. Diriku diam sejenak. Kemudian ku menatap lekat lelaki ini.

Dan--- satu hal yang membuat ku termenung dalam diam. Diriku seperti tenggelam menatap matanya. Iris matanya berwarna coklat muda terang. Didukung oleh kulitnya yang putih sesuai dengan struktur wajah dan postur tubuhnya. Ternyata ada ya orang Indonesia yang wajahnya kebule-bulean seperti ini ya. Wajahnya juga.. kok manis terus mancung lagi...

istighfar din mikir apa sih kamu.

Akupun tersadar dari lamunan batinku karena jawaban Mas Alvin.

"Wa'alaikumussalam warrahmatullahi wa barakatuh, wah Mas Andi PPI ya?" Segera mas-mas PPI itu berjabat tangan dengan Mas Alvin dan Mas Sam. Bagaimana dengan aku dan Syifa? Kami berdua hanya berdiri termangu menatap mereka bertiga saling bersalaman dan mengobrol. Terus terang aku merasa kami berdua seperti--- terabaikan. Kupikir hanya aku yang merasa, ternyata Syifapun begitu juga.

"Din, kok aku ngerasa jadi tamu yang engga diundang yaa." bisik Syifa ke telingaku. Aku tertawa terkekeh dan menganguk setuju.

"Tunggu aja Syif, paling kita bakal dikenalin juga sama Mas Alvin."

Baru sedetik ku jawab hal ini ke Syifa, Mas Alvin kemudian mengenalkan kami berdua ke mas-mas PPI ini, maksudku mas Andi.

"Ohiya Mas Andi, maaf aku belum cerita-cerita. Tidak sengaja kami berdua saat di pesawat menuju Abu Dhabi, kami ketemu sama kedua cewek ini. Mereka ternyata sama-sama mau ikut lomba ISIF Istanbul di WOW convention center mas. Kenalin ini Dinda dan yang satunya Syifa."

Mas Andi hanya menganguk dan tersenyum tipis ke kami berdua. Tidak ada jabat tangan ataupun perkenalan lainnya. Aku merasakan betapa dinginnya sifat Mas Andi ini. Atau memang dirinya menjaga jarak hubungan pada yang non mahram khususnya pada wanita.

Apa karena udara di Turki dingin makanya masnya ikutan dingin ya sikapnya.

Mas Andi kemudian memberikan instruksi ke kita berempat untuk mulai mengisi ulang kartu metrobus, supaya kita bisa berkeliling-keliling kota Istanbul dengan mudahnya. Kami kemudian menaiki metrobus menuju WOW Convention Center tempat dimana ISIF Exhibition diadakan.  Aku memakai jaket parasut berwarna hijau, tak pernah ku sangka akhir musim salju ternya masih mampu membuatku menggigil dan bersin. Apakah aku salah kostum? batinku. 

Di dalam metrobus  ini banyak sekali warga Turki yang berkerumun. Aku amati setiap wajah mereka yang unik, alis tebal, hidung mancung dan mata yang besar.  Wajah campuran Asia-Eropa mereka benar-benar mendeskripsikan betapa tampan dan cantiknya mereka.  Sepanjang perjalanan, ku dapati banyak sekali gedung-gedung bertingkat yang bagian atasnya masih terdapat lapisan putih sepert es. Kota istanbul memang ramai padat kendaraan, tapi yang ku takjub, tak satupun ku dapatkan sepanjang perjalanan adanya kemacetan seperti saat ku bermain di kota Jakarta.  

Akhirnya, kami pun sampai di Wow Convention Center setelah melewati perjalanan panjang dan melelahkan. Aku  melihat banyak sekali pengunjung yang mendatangi Hall Wow Convention Center. Hallnya besar-- tak pernah kubayangkan aku akan menghadiri acara sekelas internasional ini. Gedungnya berasitektur modern, dilengkapi dengan semua pintu otomatis. Udara dingin yang sedari tadi menusuk tulangku sesaat menjadi hangat saat memasuki pintu utama. Setelah kami memasuki Hall utama, kulihat sejauh mata memandang, sudah banyak sekali stand-stand tempat poster-poster hasil penelitian dan produk dipajang secara rapi dan berderet. Kami ber-lima memasuki stand-stand perwakilan dari berbagai negara yang ikut serta. Hatiku rasanya berdegup kencang mendapati karyaku kemudian akan disaksikan oleh perwakilan banyak orang. 

Langkah kami pun akhirnya sampai di Stand booth Indonesia. Lucunya, stand Indonesia bersebelahan dengan stand  Malaysia yang merupakan negara tetangga. Jadi, serunya aku masih bisa mengobrol santai dengan bahasa serumpun tanpa harus memikirkan grammar atau pronounciation ku.  Hal yang mengecewakannya adalah.. stand dari Indonesia hanya berukuran 3x1 meter dan itu terbagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok ku dan kelompok Mas Alvin.

"Din, stand kita kok kecil banget sih empet-empetan gini" tanya Syifa murung terhadapku.

"Iya e Syif, coba kita pasang dulu posternya yaaa" ajak aku pada Syifa sembari membuka tabung posterku dan mulai membentangkan poster kami untuk kemudian dipajang di tempat stand kami. Aku merasa kesulitan membentangkan poster yang berukuran A0 ini. Yaa bisa dikira-kira A0 itu kurang-lebih sekitar 80 x 118an cm..jadi yaa big enough sih. Ku panggil Syifa untuk membantuku.

"Syif, tolong cariin gunting sama plester dong buat nempelin ni poster!" panggil ku pada Syifa namun tidak ada sahutan jawaban darinya. Aku masih tetap sibuk memasang poster yang besar ini---- sampai kemudian aku menghentikan memasang saat ada langkah kaki mendekatiku dan memberikan gunting.

"Ini mba.." jawab mas-mas PPI itu yang aku tiba-tiba menjadi lupa namanya, sambil menyodorkan gunting ke diriku. Ku tatap matanya tak sadar ku sempat berhenti sejenak memandangi indahnya iris coklat mudanya itu.

"eh iyaa.. mas.. makasih banyak ya, sorry ya ngerepotin" jawabku cepat sembari meraih gunting dari mas PPI tersebut. Dia menatapku dan melihat aku seperti kerepotan memasang sambil terburu-buru.

Ya Allah semoga dia ga sadar aku ndredeg... piye iki..

"Mbanya namanya siapa ya tadi?" Tanya mas PPI itu.

"Namaku Adinda mas, panggil aja Dinda.. hehe" jawab aku sambil sok sibuk menggunting plester satu persatu.

"Oalah Dinda ya, kamu ini judul posternya GREENTI : Potato peels turned into aromatic facial tissue, kok bisa sih buat ginian. Kamu jurusan apa?".

Tanya mas PPI sambil membantu menempelkan poster dengan plester yang tadi sudah ku gunting.

"Aku anak kedokteran mas, tapi yaaaa interest aja sama ini. Kebetulan Syifa ada ide karna kulit kentang selama ini limbahnya banyak di pabrik dan yaa eman-eman to mas kalau ga di recycle dan reuse. Toh selama ini belum ada yang dibuat jadi tisu. Yaudah deh dibuat aja"..

"Really? Did you guys make this by your hand?!" Tanya mas PPI itu dengan wajah sumringah dan tiba-tiba aja pakai bahasa inggris. Accent-nya juga agak aneh sih kayak agak bahasa Turki gitu. Ya wajar sih.

"Yes we did!" jawabku bangga.

"Kalau mas kepo sama hasilnya kita ada kok contoh tisunya".

Ku ambil tas ranselku dan mulai menata hasil produk penelitian GREENTI buatan ku dan Syifa.

"Hasilnya emang belum maksimal sih karena belum join juga sama anak teknik industri, ini masih mentahan aja.. jadi masih belum bisa dibilang 100% tisu. Teksturnya masih kasar banget ini". Ku tunjukkan tisu kami pada mas PPI.

Dia pegang kedua tisunya dan anehnya dia mau mencoba masukin ke mulutnya.

"Eh mas! Kok tisunya mau dimasukin ke mulut tho?" tanyaku kaget.

"Haha, kan ini dari kulit kentang kan? Siapa tau krispi ahaha" jawab mas PPI itu. Aku tertawa dan heran kenapa jokes-nya maksa banget. Atau emang ucapannya sengaja meledekku.

"Ya Allah mas garing amat sih candaannya, sakit perut ga tanggung yaa" ejekku pada masnya.

Tiba- tiba mas Alvin datang menhampiri kami berdua dan berujar "Ekhem, ngobrol berdua terus kita ga diajak-ajak ya mas Andi".

Oh. Mas Andi to namanya. Baru inget. Aku membantin dan mulai menghentikan percakapanku dengan mas PPI yang ternyata bernama Andi itu.

"Yaa, well, kepo aja saya sama penelitiannya. Saya juga anak teknik industri di Istanbul Universitesi disini. Jadi bisa saja loh saya bantu penelitian mba Dinda dan Syifa ini".

Pantesan anak teknik industri.. jawabku hanya dalam batin. Ku hanya tersenyum dan menganguk sebagai reflek respon cepatku padanya. Aku kira dia orang yang dingin seperti es batu sama cewek. Tapi ternyata setelah aku berbincang rasanya hangat.  

"Oiya mas maaf ya nyela mau bilang nih, ngomong-ngomong aku mulai ngerasa lapar. Ada rekomendasi tempat makan ga ya? Sama ini kan udah mulai malam sekalian shalat maghrib gimana?" Tanya Mas Alvin sambil memegangi perutnya.

"Ada banget. Kalian udah aku buat list pas di Istanbul ini kalian harus kemana aja. Aku siap kok nge-tourguide-in kalian selama disini. Yuk beresin dulu standnya terus kita keluar".  Ajak mas Andi pada kami berempat. 

Aku semakin tidak sabar untuk melihat keindahan kota Istanbul di malam hari. Gemerlap lampu temaram di setiap sudut kotanya. Disinari oleh rembulan yang bersinar terang.  Akupun teringat dan membayangkan, air di Selat Bosphorus pasti akan tampak indah memantulkan sinar bulannya. 

Lalu, kemanakah Mas Andi akan membawa kita?

*****