Chereads / Cinta 2 Benua / Chapter 8 - BAB 7 - UNEXPECTED MOMENT

Chapter 8 - BAB 7 - UNEXPECTED MOMENT

Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan jalan keluar baginya. Dan memberi-nya rizki dari arah yang tiada disangka-sangkanya."

Q.S At-Thalaq : 2-3

Kehilangan adalah sebuah rasa yang sulit dideskripsikan bagi yang tidak pernah merasakannya. Bagi yang pernah, rasa hampa akan menyelimuti diri yang kehilangan dan jika tidak tertahankan akan terus menggerus ketenangan batin. Setan pun akan ikut berbisik pada jiwa yang lemah. Seakan meyakinkan diri bahwa kehilangan akan membuat sendiri. Sendiri sepi dan bahkan merasa diri sudah tidak berarti. Seandainya manusia membuka hati dan matanya. Dirinya akan sadar bahwa sesungguhnya ia tidak pernah sendiri. Karena ada suatu Zat yang bukan manusia yang selalu memberi ketenangan. Ia melebihi kehadiran manusia yang nyatanya hanyalah seorang makhluk. Ia adalah Tuhan. Allah SWT. Maha Besar keagungan-Nya membuat manusia sadar bahwa rasa kehilangan dan hampa itu akan hilang jika selalu dekat dengan Tuhan. Karena hanya dengan Nyalah hati menjadi tenang. Dan hanya dengannya, tempat pelipur lara dikala tidak ada manusia yang mengerti betapa pahit dan sepinya hidup di dunia.

Aku merasakan rasa sepi yang amat sangat itu. Dan aku paham rasanya merasa 'hampa'. Aku sedang dalam mimpi melihat nenekku melambaikan tangan dan mengucapkan selamat tinggal. Nenek yang selama ini paling dekat dengan ku selama Ayah dan Ibuku selalu pergi urusan kerjaannya. Aku merindukannya. Amat sangat.

Aku kemudian terbangun dari tempat tidurku. Air mata menetes dipelupuk mataku karena rasa sedih yang tak bisa ku tahan. Rasa sakit di kepala ku mengingatkanku kejadian semalam. Aku sempat pingsan entah karena lelah yang berkepanjangan atau karena banyak pikiran yang menganggu fungsi dari organ indraku. Aku teringat dalam waktu semalam, aku melewati banyak kejadian. Dari diganggu oleh para laki-laki Turki yang mabuk, jalan-jalan naik kapal feri sampai aku teringat jam tangan satu-satunya pemberian almarhum nenekku hilang entah kemana. Satu hal yang membuatku terheran-heran, bagaimana mungkin aku bisa sudah berada dalam kondisi di kamar penginapan. Apa yang terjadi saat malam itu..

Dengan segera aku mencari-cari Syifa untuk bertanya apa yang terjadi. Ku cari Syifa di kamar mandi. Aku tidak menemukannya. Koper dan semua bajunya masih ada di kamar penginapan tapi aku tidak menemukan dimana ia berada. Aku takut aku ditinggal sendirian di kamar ini. Segera aku bergegas mandi dan merapikan semua barang-barang yang aku perlukan untuk pergi. Jam di Hp ku menunjukkan sudah pukul jam 6 pagi. Sontak segera ku menelepon Syifa mencari keberadaannya.

"Syif, kamu dimana??" tanyaku.

"Alhamdulillah akhirnya kamu bangun Din. Aku lagi sarapan di bawah sama yang lain. Kalau kamu udah siap yuk turun. Hari ini hari pengumuman award loh din!" seru Syifa di telepon.

"Wah iya. Oke Syif tungguin aku tak siap-siap sek yo !"

Aku segera bergegas menyusul yang lain sarapan. Entah kenapa rasanya dada ini bergemuruh. Ada rasa sedikit takut dan bercampur malu saat aku hendak bertemu dengan mereka semua.

Sebenarnya apa sih yang terjadi malam itu?

"Hei din!, sini duduk sebelahku!" seru Syifa padaku.

"Ah iya Syif." Jawabku cepat sembari segera duduk membisu. Entah mengapa auranya aneh. Aku merasa seperti sedang diawasi dan ditatap oleh mereka.

"Dinda, Apa kabar sekarang? Udah ga lemas lagi?" Tanya Mas Andi memecahkan suasana.

Tenggorokanku tercekat. Aku diam seribu bahasa dan tidak memahami apa makna yang terkandung dari kalimat yang disampaikan oleh Mas Andi.

"Aww sakit syif!" seru Mas Andi sambil menghentakkan meja makan dan menarik kaki kanannya yang ternyata diinjak oleh Syifa. Aku lirik Syifa dan kulihat mata dia membelalak seperti memberi isyarat pada Mas Andi untuk diam.

Aku tatap yang lain seperti berusaha tidak mau merusak suasana dan tetap diam seolah-olah tidak tahu apa yang sedang terjadi. Mas Alvin dan Mas Sam keduanya hanya berusaha melanjutkan makanannya berusaha tidak mengeluarkan kata-kata yang tidak diinginkan. Aku benar-benar merasa menjadi manusia yang tidak tahu apa-apa disini. Rasanya tidak nafsu untuk makan.

"Ayuk din di makan, hari ini hari penting kan?" bujuk Syifa supaya aku segera menyelesaikan sarapanku. Tapi entah mengapa rasanya makanan didepanku terasa hambar. Aku hanya menganguk agar tidak merepotkan yang lain dan segera kuhabiskan. Udah Din telen aja telen.

"Hari ini awarding aja ya? Jadi udah ga ada presentasi?" Tanya Mas Andi yang kembali memecahkan suasana.

Aku merasa dia banyak bicara. Entah mengapa aku jadi kesal dengan dia.

"Iya mas, tapi waktu pengumumannya sore jadi ya sama aja mas" jawab Mas Alvin menimpali.

"Oke, kalau gitu aku tunggu di hotel aja ya. Kalau ada apa-apa telepon saya aja". Jawab Mas Andi tersenyum simpul.

***

Suasana stand booth kita berada tidaklah terlalu ramai seperti biasanya. Mengingat hari ini adalah hari terakhir event ISIF diadakan dan pengumuman pemenangnya masih sore sekali. Perasaanku masih tidak tenang. Seperti ada bantalan besar yang mengganjal di rongga dada. Rasa berat ini menggangguku dan membuatku tidak fokus. Pikiran ku terus melayang untuk mengingat-ingat kejadian semalam. Aku lirik pergelangan tangan kananku yang masih terdapat gelang yang manis berkilau. Rasa resahku semakin menjadi mengingat jam tanganku hilang. Satu hal yang ingin aku pastikan, Apakah jam tangan kemarin jatuh saat kejadian dengan para penjahat atau saat di kapal ya?.

"Fa.. aku mau ngomong sama kamu e.." ku hampiri Syifa yang sedang sibuk menata meja stand.

"Kayak apa aja deh pake izin segala.. ngomong aja Din..." jawab Syifa acuh sembari merapikan meja.

"Fa.. boleh ga aku pergi nyari jam tanganku..." tanyaku ragu-ragu karena takut Syifa tidak mengizinkan.

"Boleh kok, nanti setelah awarding kan maksudnya?"

Aku diam dan tidak bisa menjawab. Jawabanku hanya diwakilkan dengan menggeleng-gelengkan kepala yang sudah sangat jelas Syifa tidak menatapku saat ini. Syifa pun menoleh karena tidak ada respon dariku dan berkata "Kok diam aja?.. wait. Jangan bilang kamu minta keluar nyari jam tangannya sekarang?".

Aku hanya menganguk lemah tak berdaya.

"Din.. bukannya aku sebagai teman gak mau ngebantu kamu nyari jam tangan yang berharga itu, tapi sekarang situasinya kita lagi nunggu pengumuman loh Din.." jawabnya menasihatiku.

"Iya Syif, aku tau. Aku sebenarnya juga ga enak sama kamu izin kayak gini, tapi jam tangan itu penting banget buat aku. Dan aku ngerasa akan nyesel kalau ga nyari hari ini. Kamu tau kan besok kita udah pulang?" bujukku ke Syifa.

Syifa menatapku dengan tatapan kasihan dan bingung. Aku paham sekali jika aku diposisi dia akan merasa dilema bagaimana memperlakukan teman yang kesusahan tapi ada hal yang lebih prioritas.

"Yaudah.. aku ga mau buat kamu sedih sepulang kamu dari sini. Mumpum ini masih jam 10 pagi dan awarding nanti jam 6 sore, kamu bisa cari sekarang kok. Gapapa aku disini yang jaga stand."

"Alhamdulillahhhh Syifa mah emang my best plend!!" jawabku seraya memeluk Syifa.

"Tapi Din.. Kamu emang masih inget dimana aja lokasi kita kemarin? Dan apa kamu bisa pergi sendirian?".

Aku diam termenung. Syifa benar. Aku terlalu sembrono untuk pergi begitu saja tanpa memikirkan bagaimana aku sampai disana kembali.

"Gimana kalau kamu hubungin Mas Andi? Tadi kan pas kita sarapan di hotel dia bilang kalau ada apa-apa telepon aja?".

"Mas Andi? Duh Syifa.. aku lagi males ketemu sama dia... Kalau ... kalau minta tolong sama Mas Hafidz gimana ya?"

Syifa kaget mendengar kalimatku dan segera ia menyerobot berkata "Gila ya kamu Din, dia kan juga lagi jaga stand kayak kita. Udah minta tolong Mas Andi aja, dia juga kuliah disini".

Aku terdiam dan agak sedikit ragu. Akupun mengeluarkan ponsel ku dan mencoba menelepon Mas Andi.

"Halo ? ini siapa?" Tanya suara Mas Andi yang terdengar lesu dan parau seperti orang baru bangun tidur.

"Assalamualaikum mas, ini saya Dinda" jawabku.

"Ohiyaa, Din.. gimana?"

"Mas Andi, aku boleh minta tolong? Jam tanganku kan kemarin hilang. Aku masih kepikiran dan masih pengen nyari jam tangannya. Mas bisa temenin aku nyari jam tangan ga sekarang?" jawabku malu sambil memuntir-muntirkan gelang ku.

"Wah, saya sekarang lagi di apartemen saya. Agak jauh dari tempat kamu. Kamu berani ga naik MRT dari Stasiun Şirinevler, terus kita ketemuan di Zeytinburnu? Dari tempatmu nanti terus aja sampai ke stasiun".

Tanpa pikir panjang ku jawab "Iya bisa kok bisa. Nanti aku tinggal tanya-tanya aja, hehe".

"Oke, kita ketemuan disana ya Dinda". Jawab Mas Andi di penghujung teleponnya. Sesaat setelah ku matikan, aku langsung segera memakai jaket tebalku tanpa sempat memberi tahu Mas Alvin dan Mas Sam aku akan pergi kemana.

***

Aku berdiri di pintu masuk stasiun Zeytinburnu. Banyak sekali orang-orang Turki yang berlalu-lalang kesana kemari. Aku berdiri mematung hanya melihat kumpulan orang berlalu pergi. Udara dingin yang semakin menyengat merapatkan tanganku di dalam kantong jaketku. Harapanku satu.

Kapan Mas Andi muncul?

Ku tatapi lagi orang-orang yang keluar dari stasiun bawah tanah menaiki tangga. Ku seleksi satu persatu wajah yang muncul seiring orang-orang tersebut melewati tangga. Sampai pada akhirnya, aku melihat salah satu wajah yang sedari tadi ku nanti akhirnya muncul. Ya. Mas Andi akhirnya datang.

Senyum sumringah membalut wajahnya. Syal hitam yang menutupi separuh dagunya tetap tidak menghalangi raut mukanya yang tampak bahagia saat bertemu denganku.

"Assalamu'alaikum Din! Udah nunggu lama ya?" tanyanya padaku.

"Wa'alaikumussalam. Hehe yaa lumayan, 10 menit?"

"Yasudah, kita langsung yuk naik keretanya. Kita mau coba ketempat kemarin kan nyari jam tangannya?"

"Iya mas" jawabku cepat.

Akupun pergi mengikuti Mas Andi dibelakangnya. Aku berjalan mengekorinya, mengingat aku selalu merasa canggung saat bersamanya. Sampai kami memasuki pintu otomatis MRT, kami kemudian masuk bersama. Rasa hening di dalam MRT, kemudian tidak sesunyi lagi setelah Mas Andi memulai obrolannya pada ku.

"Din, mau main tebak-tebakan? Aku bisa loh baca pikiran orang".

"eh?" tanyaku heran.

"Iya, coba tebak di kepala ku ada angka berapa?".

"emm.. 5?" tanyaku lagi.

"Haha bukan! Angka 3 sih". Jawabnya tertawa renyah.

Aku masih tidak mengerti ada apa gerangan ia bertindak kekanak-kanakan seperti ini.

"Gantian ya din aku yang nebak kamu" ajak Mas Andi.

"Oke, coba tebak angka berapa?".

"Hemm, Angka 3?" jawabnya tersenyum percaya diri.

Aku diam tidak menyangka orang di depan ku bisa betul-betul membaca pikiran. Atau asal nebak aja...

"Haha din din, wajahmu gampang banget kebacaa. Betulkan angka 3?" jawabnya tersenyum menggoda.

"Hehe.. iya betul sih.." jawabku canggung karena semakin kesini aku merasa jokes dia garing banget.

Aku menunduk memerhatikan sepatuku. Entah sebagai pelarianku dari "kegaringan" candaannya Mas Andi. Atau akunya saja yang berusaha menghindar darinya.

"Garing ya din?.." tanya Mas Andi pelan yang sedang menggantungkan tangannya di hand strap MRT.

Aku termangu mengetahui pertanyaannya Mas Andi.

Bagaimana orang ini bisa mengerti apa yang sedang aku batinkan? Kerasukan jin Turki kali ya? .

Aku hanya diam dan tertunduk malu seperti mengakui bahwa tebakannya Mas Andi lagi-lagi memang benar.

"Haha Din din, ga asyik ah main tebak-tebakan sama kamu. Gampang ketebak banget sih". Jawabnya terkekeh.

"Bahas yang lain aja yuk mas". Jawab ku cepat. Terus terang aku merasa malu sekali Mas Andi begitu mudahnya membuat pipiku ikut terasa panas. Malu banget walapun emang kocak sih.

Aku pun melihat Mas Andi hanya ikut diam menatap jalanan yang terlewat saat MRT ini melesat cepat. Aku menjadi teringat mengenai apa yang sebenarnya terjadi malam itu.

"Mas Andi."

"Iya Din?" jawabnya sambil menoleh padaku.

"Sebenarnya.. Apa sih yang terjadi di kapal feri semalam?" tanyaku ragu padanya.

"Kamu bener-bener ga inget kah?"

"Iya".

"Kamu semalam tuh pingsan din. Dan kamu pingsan sesaat setelah Hafidz nyamperin kamu. Dan kamu dibantu bopong sama Hafidz dan Syifa sampai akhirnya kita sampai di Hotel".

Aku diam termangu berusaha mencerna kalimat yang disampaikan Mas Andi.

"Aku pingsan? Kok bisa?".

"Iya din, kita semua semalam di kapal panik ngeliat kamu bisa pingsan. Aku pikir juga karena kamu kedinginan karena ternyata semalam itu udaranya sampai minus banget dinginnya. Udah mana sebenarnya aku perhatikan jaket yang kamu pakai selama ini kurang tebal buat dipakai di musim kayak gini". Jawabnya menjelaskan padaku.

"Ah.. begitu ya.." aku semakin malu dan merasa bersalah sama Mas Hafidz. Tanpa sadar pula aku memainkan gelang berkilau yang dibelikan Mas Hafidz padaku. Entah mengapa rasanya seperti kebiasaan baru menggerak-gerakan gelang ini.

"Kamu seharusnya kalau kemarin ga enak badan setelah kejadian penjahat itu, kamu bilang yah. Jangan dipaksain. Kita khawatir kamu kenapa-kenapa. Terutama aku.." jawabnya pelan menatapku.

Aku diam menatap Mas Andi. Tak kusangka, kecerobohanku untuk menahan rasa sakit ku semalam malah merepotkan orang –orang disekeliling ku. Dan.. Aku lihat mata Mas Andi. Pantulan di bola matanya menunjukkan sekali bahwa dirinya sangat mengkhawatirkan diriku.

"Kamu pakai syalku ini yah. Jangan ditolak dan diam aja. Kulitku udah tebal banget 4 tahun di Turki". Jawabnya cepat sembari mengkalungkan syal hitamnya di leherku.

Aku tidak bisa menolak, karena cepat sekali tangannya sudah mengkalungkan syalnya di leherku.

Pintu otomatis MRT terbuka.

Aku lihat ada tiga orang laki-laki sedang berdiri di depan pintu otomatis. Dua diantaranya tidak ada yang ku kenali. Tapi.. ada satu lelaki berdiri mematung menatapku. Tatapannya kaget dan air mukanya tampak kesal melihatku dengan Mas Andi. Dan orang itu adalah.. Mas Hafidz.

***