Kehilangan Dunia Akan Membuat mu Berduka
Tetapi Kehilangan Cinta Tuhan Akan Membuat Relung Hati mu Hampa
"Ya Allah Adinda.. din bangun dinda.." bujuk Hafidz pada Adinda.
Dirinya menggoyangkan tubuh Adinda yang terduduk lemas di pinggir trotoar. Hafidz belum pernah menghadapi situasi seperti ini sebelumnya. Ia berusaha membangunkan Adinda dan tidak ada respon dari Adinda. Satu hal yang membuat Hafidz merasa tenang, Adinda masih bernafas dengan baik ditengah udara dingin ini. Hafidz melihat sekitar dan beberapa toko mulai tutup. Ia masih melihat hanya toko aksesoris tempat ia tadi membelikan gelang untuk Adinda yang masih buka. Hafidz dengan cepat membopong Adinda untuk masuk ke dalam toko dan meminta bantuan penjualnya untuk dapat beristirahat sejenak agar Adinda bangun. Penjaga toko tersebut paham walaupun Hafidz mengucapkan dengan menggunakan bahasa inggris. Penjaga toko tersebut membawakan minuman hangat seperti teh kepada Adinda.
"Bayan, bu çayı içmek zorundasınız (1).." pedagang itu membantu mendudukkan adinda. Aroma teh hangat tersebut membuat Adinda membuka matanya perlahan. Hafidz menyadarinya dan mengucapkan syukur. Tak sadar, terdapat air mata keluar dari pelupuk matanya.
"Alhamdulillah .... Adinda akhirnya kamu bangun" seru Hafidz padanya. Adinda kemudian mulai duduk dan melonjorkan kakinya.
Ia kemudian mulai berkata "Mas Hafidz... Mas tadi tangannya berdarah kan? Mas gapapa?". Kalimat yang keluar dari mulut Adinda membuat hati Hafidz berdesir.
"Astaghfirullah Adinda, bukan saatnya kamu mengkhawatirkan saya. Kamu sadar ga sih tadi kamu pingsan karena berandalan kurang ajar" jawab Hafidz pada Adinda. Adinda menatap mata Hafidz dan tidak percaya dirinya sampai tidak sadarkan diri dengan kejadian tadi.
"Iya mas.. saya ingat kok tenang aja.. Karena saya, mas jadi terluka". Jawab Adinda sembari berusaha berdiri.
"Dinda.. kamu ngapain berdiri.. udah ya duduk disini aja. Saya udah panggil Sam dan dia juga udah menghubungi Andi dan teman-teman kamu untuk ketemuan disini aja. Kita tunggu mereka disini aja yah. Saya juga sudah bicara sama pemilik toko ini untuk kita singgah sebentar. Sekarang kamu minum teh manis ini ya biar ada tenaga". Kata Hafidz. Adinda hanya berusaha menganguk dan menghabiskan sisa teh yang tadi ia minum sedikit. Sesaat setelah dirinya menghabiskan minumnya ia mendengar seseorang yang tak asing berteriak memanggil dirinya.
"Dindaaaaaaaa!! Ya Allah Dindaa kamu kenapa saayanggg!" seru Syifa berlari dan segera memeluk Adinda dengan erat.
"Aku gapapa Syif.. ehmm faa berat faaaaa" jawab Adinda berusaha melonggarkan pelukan Syifa yang erat.
"Kamu gapapa kan? Sini – sini aku cek badan kamu yaa aku periksa dulu yaa head to toe. Kamu harus percaya sama aku, aku kan juga calon dokter" serobot Syifa sembari berusaha membuka lengan Adinda mencari apakah ada yang terluka.
"Eh! Syif jangan, ini lo ada Mas Hafidz sama yang lainnn maluuu!" seru Adinda berusaha mencegah Syifa melakukan hal diluar kesadarannya. Dengan cepat Hafidz memalingkan wajahnya melihat ke arah lain.
"Ehhehe, maap din. I was shocked. Kamu tapi ga ngerasa nyeri atau apa-apa kan? Kamu kalau ngerasa apa-apa harus ngomong lo ya! Atau ga kita ke rumah sakit ya!" jawab Syifa panik.
"Aduh Syif udah deh. Dari pada ke Rumah Sakit mending kita ke..." Adinda berbisik memberitahu Syifa . Respon Syifa hanya geleng-geleng tertawa.
"Haha Dinda .. Dinda.. cuman kamu din yang lagi gini suasananya bisa-bisanya kamu masih kepikiran buat itu". Kata Dinda.
Hafidz yang melihat Adinda sudah dapat bangun dan berbicara dengan kawannya membuatnya tersenyum simpul. Luka di jemari tangan kanannya sudah ia balut sendiri dengan kain seadanya untuk menutupi lukanya. Tanpa sadar. Ia begitu bahagia saat mengetahui bahwa Adinda baik-baik saja.
***
Adinda memasuki salah satu resto kecil di bagian luar pasar. Sedari tadi Dinda memang lapar dan meminta Syifa supaya mengajak Andi memasuki toko makanan. Toko itu tidak begitu besar namun, aroma yang dimunculkan dari makanannya sangat menggoda. Mereka semua duduk melingkar pada bangku bundar yang sangat kecil ukurannya. Andi kemudian memesan makanan yang bentuknya seperti kebab tetapi aroma dan isinya berbeda dari kebab. Adinda yang sedari tadi lemas, tampak seperti tidak terjadi apa-apa saat nafsu makannya kembali seperti biasa. Adinda menyantap makanan yang seperti kebab tetapi nama makanan tersebut adalah Kokoreç.
"Din, makannya pelan-pelan aja" kata Syifa.
"Serius fa ini enak banget, Mas Andi ini isinya apa ya?". Tanya Adinda.
"Abisin dulu aja makanannya.. nanti kalau saya kasih tau kamu nanti ogah abisin makanannya.." kata Mas Andi.
"Kenapa emang? Halal kan tapi?" Tanya Adinda dengan wajah curiganya.
"Halal kok halal. Gimana to kan kita muslim haha ada-ada aja pertanyaanmu. Jadi.. isinya itu usus domba makanya gurih banget kan" kata Mas Andi sembari tertawa.
"Usus domba ta mas? Ya ampun...." Jawab Adinda dan tetap melanjutkan makanannya sampai habis.
"Jadi kamu ga masalah kan sama makanannya?" Tanya Mas Andi terheran-heran.
"Ya gimana. Laper. Tapi enak kok" jawab Adinda santai.
"Alhamdulillah ya. Oiya. Soal kapal ferinya tetap kita lanjutkan atau engga? Dua hari lagi kalian pulang kan?" Tanya Mas Andi.
"Kayaknya kalau gausah dulu gimana? Kasian Adinda abis ketemu orang-orang jahat tadi" kata Mas Hafidz membujuk Andi. Sesekali ia menoleh ke arah Adinda dan menunjukkan wajah khawatirnya.
"iya juga sih, kalau Adinda gimana?" Tanya Mas Andi untuk memastikan kembali.
Adinda tampak melihat wajah teman-temannya. Ia tidak ingin hanya karena dirinyalah jalan-jalan yang selama ini dinanti oleh teman-teman tidak jadi pergi. Dirinya merasa lebih baik memanfaatkan waktu sebaik mungkin selama masih di Istanbul. Kejadian ini tidak akan terjadi dua kali. Kesempatan berkumpul bersama teman-temannya ini hanyalah kali ini.
"Ayuk mas sebelum terlalu malam. Kapan lagi kan jalan-jalan" jawab Adinda dengan senyum manisnya.
Hafidz yang sedari tadi memerhatikan dari ujung meja makan hanya bisa diam dan tidak bisa mencegah keinginan Adinda. Tanpa sadar keinginannya hanyalah membuat Adinda bahagia.
***
Bahagia itu sederhana. Mendengar deburan air yang dipecah gelombangnya oleh kapal feri membuat suasana hati terasa nyaman. Angin dingin yang berhembus dari arah utara. Gemerlap lampu kota dari setiap sudut kota membuat mata tak dapat beralih memandang indahnya warna-warninya. Selat Boshphorus, menjadi saksi betapa indahnya kedua benua yaitu Asia dan Eropa dapat bersatu dalam satu muara. Istanbul membuat mereka yang datang berkunjung terkesima dibuatnya.
Adinda sedari tadi asyik memegang kamera Sam dan menjepret sembarang ke segala tempat yang menurutnya indah di matanya. Jepretannya berakhir setelah ia tak sengaja mendapatkan wajah Hafidz yang tersenyum sumringah saat berbicara dengan Sam. Ia tak berani melihat langsung ke Hafidz, tetapi ia menatap wajah Hafidz di kamera. Tanpa sadar dirinya menyunggingkan senyum karena melihat betapa indahnya garis-garis wajah yang dimiliki Hafidz.
Jangan ke-geeran kamu din. Siapa tau dia ngasih gelang cuman buat menyenangkan hati kamu saja.
"Kenapa din? Kok senyum-senyum? Motoin siapa hayo" Tanya Syifa padanya. Sesaat sebelum Syifa menjarah kamera dari tangannya Adinda. Segera Adinda mengganti-ganti gambar yang ada di kamera secepat yang ia bisa. Sampai Syifa dapat mengambil dari tangannya dan dengan cepat berusaha melihat yang ada di dalam galeri kamera tersebut.
"Yaelah cuman foto jembatan aja ampe senyum-senyum segala din" jawab Syifa pada Adinda. Adinda hanya bisa menghela nafas dan tersenyum dengan lega ia berhasil segera mengganti galerinya. Ia kemudian menyadari jika ada yang menggantung di pergelangan tangan kanannya dan berbunyi gemercik logam.
Astaga., ini kan gelang yang dibeliin Mas Hafidz, kok bisa udah dipasang ya .. terakhir kan ada penjahat datang..
Adinda menggoyangkan pergelangan tangannya. Gemerlap lampu malam membuat gelang perak itu menampakkan kemilaunya. Tak sadar ada seseorang dibelakangnya yang berbicara.
"Gelangnya cantik din.."
Ia menoleh ke sumber suara dan mendapati Andi sedang berdiri di belakangnya sembari tersenyum. Adinda melihat dengan jelas mata Andi yang fokus menatap Adinda, bukannya melihat ke arah gelangnya yang dikatakan cantik.
Adinda salah tingkah.
"Ah iya mas hehe. Oiya mas, bisa ceritain ga soal jembatan yang ada disana?" jawab Adinda berusaha mengalihkan perhatiannya.
"Ohh, jembatan yang warna kemerahan dari kejauhan itu ya?"
"iya mas."
"Itu namanya jembatan Fatih Sultan Mehmet köprüsu, jembatan ini membentang di selat boshphorus. Jembatannya membentang dari Asia hinga Eropa din".
"Wah.. Masya Allah"..
"Iya, dia menghubungkan antara Asia yang ada di Ankara dan Eropa yang berbatasan di Edirne".
"Berarti kalau kita lewat bentar aja udah sampai ke Eropa dong ya?"
"iya din, jadi ya kita ini lagi berada di antara dua benua, kedengaran romantis ga sih?" goda Andi pada Adinda.
Adinda hanya menganguk dan berusaha tidak berdiri bersebelahan dengan Andi. Adinda merasakan sekali bahwa Andi akhir-akhir ini sering kali menggoda dirinya dan merasa tak nyaman dengan tingkahnya. Adinda kemudian kembali menghampiri Syifa dan menyampaikan ketidaknyamanannya.
"Yaudah din, kamu disini aja di sebelahku. Btw, aku merhatiin kamu dapet gelang baru ya? Tapi kok aku ga liat jam tangan kamu. Lagi disimpen dimana?", Tanya Syifa yang sontak membuat Adinda kaget karena dirinya juga tidak menemukan jam tangan di pergelangan tangan kanannya. Ia berusaha merogoh kantong bajunya, ataupun di dalam tasnya tidak ia temukannya. Ia mulai panik, karena jam tangan itulah satu-satunya pemberian dari almarhum neneknya.
"Syif.. jam tangannya ga ada..."
"Kok bisa? Coba dicari dulu deh pelan-pelan ya"
Adinda berusaha tenang tapi dirinya tidak bisa menenangkan dirinya. Tiba-tiba ia teringat kembali dengan semua rentetan kejadian penjahat yang terjadi dengannya dan Mas Hafidz. Ia memegangi dadanya karena terasa udara disekitarnya telah habis. Rasa sesak mulai muncul. Bulir-bulir keringat di wajah Adinda mulai menetes satu persatu. Ketika ia berusaha menempatkan tangannya di tiang kapal agar tidak ambruk, sesosok lelaki yang sedari tadi memerhatikan dirinya datang dan menopang bahunya.
"Din, kamu gapapa?".
***
(1). "Bayan, bu çayı içmek zorundasınız" : "Nona, kamu harus minum ini"