Kimberly mempercepat langkahnya saat ia menuju basemen untuk mengambil denah rumah yang biasanya di sana. Ia tahu kalau menangis saja bukan cara yang tepat untuk menyelamatkan Thomas. Ia harus bisa menemukannya sebelum bulan dan bintang menghiasi langit malam, terutama sebelum Nataline pulang.
Meminta bantuan pada penjaga juga sia-sia saja. Penjaga rumah itu tidak percaya dengan apa yang Kimberly katakan. Jadi, ia harus melakukannya seorang diri. Tindakan yang bisa dikatakan berani untuk gadis kecil berusia 9 tahun.
Dari bawah cahaya lampu meja di basemen, ia mengamati dengan teliti denah rumah itu. Ia yakin pasti ada ruangan yang belum pernah ia kunjungi. Ia membawa denah dan berbagai kunci yang terikat dalam satu gantungan. Ia menandai kotak-kotak kecil dalam denah itu dengan spidol untuk mengecek keberadaan Thomas di sana. Setelah dirasa cukup, ia langsung bergegas menghampiri ruangan-ruangan itu.
Kamar mandi di setiap kamar, gudang-gudang kecil di sudut-sudut ruangan, sampai atap-atap dan loteng rumah pun ia datangi. Tapi hasilnya nihil.
Kimberly tidak menyerah untuk terus mencari Thomas, namun ia menyerah dengan dering ponsel yang terus menerus menggetarkan saku celananya selama ia menjelajah setiap sudut rumah. Akhirnya ia mengangkat telepon yang berasal dari kawannya itu.
"Ada apa Chip?"
"Kau dalam bahaya tapi masih bisa bertanya 'ada apa Chip?' Dengan sesantai itu!?"
Kimberly sedikit menjauhkan ponsel dari telinganya saat mendengar suara Chip menggelegar dari ponsel itu. "I-iya aku hanya mencoba lebih bersikap tenang," ia mendekatkan kembali ponsel di telinganya, "tadi kau bilang apa? Aku dalam bahaya?" bingungnya.
"Tadi kau bilang kau baru saja bertemu dengan makhluk jahat itu, kan? Sudah dipastikan kau dalam bahaya, Kim!" Chip masih terdengar emosi dari suaranya.
"Aku baik-baik saja Chip!" Emosi Kimberly juga ikut terpancing. "Thomas yang dalam bahaya saat ini, bukan aku! Sekarang aku sedang sibuk mencarinya. Nanti telpon lagi, OK?"
"Tunggu--"
Kimberly langsung memutus hubungan itu sepihak dan ia kembali melanjutkan pencarian menyusuri koridor lantai dua.
Cringg cringg
Ia berhenti saat mendengar suara gemerincing logam yang beradu. Suara itu bersumber dari belokan koridor menuju kamarnya. Ia pun langsung menghampiri sumber suara itu.
"Kau lagi," gumam Kimberly sinis. Ia bertemu dengan sosok perempuan mengerikan itu lagi. Sosok itu sedang berlutut mengelus kelinci cokelat itu sambil memainkan gantungan kunci yang terkalung di leher hewan pengerat itu saat Kimberly datang.
Sosok itu tersenyum remeh sambil berdiri. Lalu ia pergi meninggalkan Kimberly dengan kaki yang tidak menapak di lantai. Kelinci itu pun juga mengekor di belakangnya.
"Hey! Jangan pergi! Kembalikan Thomas!" Kimberly pun mengejarnya.
Ia mengambil belokan di ujung koridor dan berhenti mendadak. Ia hampir saja menabrak cermin besar di depannya. Makhluk itu menghilang, namun kelinci yang mengikutinya itu berhenti di depan cermin. Kimberly langsung menangkapnya dan mengambil gantungan yang berisi tiga kunci itu.
"Lihat! Adikmu datang dan akan menyelamatkanmu!" seruan Lizzie membuat Thomas membuka mata dan melihat ke depannya.
"Kimberly," Thomas tersenyum lemah saat ia melihat Kimberly yang kebingungan dengan kunci dan cermin di depannya itu. Cermin dua arah yang membuatnya bisa melihat keluar. Tapi Kimberly tidak bisa melihatnya di dalam karena terhalang bayangan cermin itu sendiri.
"Aku yakin kau lebih pintar dari cermin itu, Kim," gumam Thomas.
Kimberly mulai mencurigai cermin di depannya itu dan kunci di genggamannya. Lalu ia mengeluarkan denah dari saku dan melihatnya kembali lebih teliti. Tidak ada jalan lagi di depannya. Hanya cermin.
"Apa ini benar jalan buntu, hah?" Kimberly mengkibas-kibas peta itu. Lalu ia memutar-mutarnya dan memukul-mukulnya.
"Dia kenapa?" tunjuk Lizzie pada Kimberly.
"Dia memang sedikit aneh," balas Thomas yang merasa malu melihat Kimberly saat ini. 𝘈𝘺𝘰𝘭𝘢𝘩, 𝘒𝘪𝘮! 𝘒𝘢𝘶 𝘣𝘪𝘴𝘢 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘦𝘥𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘤𝘦𝘳𝘮𝘪𝘯 𝘥𝘶𝘢 𝘢𝘳𝘢𝘩 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘤𝘦𝘳𝘮𝘪𝘯 𝘢𝘴𝘭𝘪 𝘬𝘢𝘯? geramnya.
Mata hitam Kimberly menangkap sesuatu saat denah itu berada di tepat di bawah cahaya lampu. Cahaya itu menunjukkan kalau cermin itu bukanlah jalan buntu. Ada jalan yang masih terus menghubungkannya. Kimberly mendekatkan diri ke cermin itu dan ia meletakkan jari telunjuknya di cermin.
"Tidak ada batas antara bayangan dengan jari kuku. Ini pasti cermin dua arah," kata Kimberly. Lalu ia melihat di sekitar cermin dan bermaksud mencari sebuah lubang kunci. Dan ia menemukan tanda retakan berbentuk persegi di sudut bawah cermin itu.
"Ouch! " Jari telunjuknya tergores saat ia berusaha mencungkil retakan itu. Ia langsung mengisap darah di jarinya yang mulai mengucur.
Tapi akhirnya, retakan itu terbuka dan memunculkan sebuah lubang kunci dan gagang pintu kecil.
Kimberly langsung mencoba semua kunci yang sempat dikalungkan di kelinci cokelat itu. Setelah ketemu, ia segera memutarnya dan akhirnya terdengar suara kunci pintu yang terbuka.
Ia pun segera mendorong pintu itu.
"Thomas!!" pekik Kimberly saat ia menemui kakaknya itu terbujur lemas dan terikat di sebuah kursi. Ia langsung masuk ke dalam dengan langkah hati-hati menghindar dari lubang yang menyambutnya.
"Siapa yang melakukan ini padamu?" Butiran air mata Kimberly perlahan jatuh saat ia menyentuh kedua pipi Thomas yang dingin.
"Aku senang melihatmu baik-baik saja, Kim."
"Tapi aku tidak senang melihatmu seperti ini, Tom!" Kimberly melihat sekelilingnya. Berharap ada sesuatu yang tajam untuk ia gunakan. Akhirnya matanya menangkap sebuah pisau di sebelah kursi Thomas. Ia langsung mengambilnya dan memotong tali yang mengikat Thomas. Ia tidak peduli dengan bilah pisau yang sudah berkarat dan terlihat bercak-bercak cokelat kemerahan melumuri bilah itu. Cukup lama ia memutuskan tali itu karena pisau yang sudah tumpul.
Kimberly mengambil satu tangan Thomas dan melingkarkannya melewati pundak mungilnya. Ia tak bisa berkata-kata saat Kimberly membawanya sampai ke kamar. Mungkin karena Lizzie yang ikut membantu tanpa Kimberly sadari tadi--entah dengan cara apa itu--, membuatnya menjadi lebih cepat ke kamar. Ia masih tak bisa berkata-kata saat tubuhnya merasa nyaman di atas kasur tidurnya.
"Kita harus pergi dari sini," kata Thomas setelah ia sedikit mengumpulkan tenaganya untuk memperingati Kimberly.
"Iya, aku tahu," balasnya. "Tapi tidak mungkin dengan keadaanmu seperti ini. Ruangan langka oksigen tadi benar-benar membuatmu lemas. Sebaiknya kau istirahat dulu. Aku akan mengambil beberapa makanan," kata Kimberly sebelum ia meninggalkan kamar.
Untuk saat ini, ia ikuti apa yang dikatakan Kimberly. Berbaring dengan tenang dan mengisitrahatkan tubuh sejenak. Hal terakhir sebelum ia memejamkan mata karena kesadarannya mulai berkurang, nampak sesosok gadis cantik yang duduk di sebelahnya sambil tersenyum manis. Tidak, lebih tepatnya tersenyum miris. Apa itu...
Lizzie?
Namun ia sedikit berbeda dari Lizzie...
•••
Waktu sudah menunjukkan angka 10 malam saat ia sampai di kamar dengan nampan penuh. Tak lupa ia juga mengunci kamar dari dalam untuk jaga-jaga kalau Nataline masuk ke dalam kamar mereka. Kimberly merogoh ponsel di sakunya. Bar sinyal masih menunjukkan tanda silang. Ia tidak bisa melakukan panggilan sama sekali. Bahkan panggilan darurat juga tidak bisa. Ia mendesah tidak bisa melakukan apa-apa pada ponselnya.
Melihat kakaknya terlelap, ia tidak tega membangunkannya. Mengingat kemungkinan Thomas tidak makan sejak kemarin, membuat ia harus melakukannya.
"Thomas... Tommy... Tom," sebut Kimberly lembut sambil menepuk-nepuk pipinya yang mulai menghangat. Tapi bisa dikatakan terlalu hangat.
Akhirnya ia terbangun. Matanya seperti memfokuskan gambar pada lensa kamera. Ia memperhatikan Kimberly yang sedang membantunya bangkit ke duduk. Setelah memastikan kakaknya nyaman bersandar dengan bantal, ia menyendok bubur kentang hangat dan bersiap menyuapinya.
"Kim, aku bisa sendiri." Suaranya terdengar serak. Lalu ia berdeham untuk membetulkan sedikit suaranya.
Tanpa membantah, Kimberly memberikan semangkuk bubur itu. Beberapa saat ia memperhatikan Thomas yang dengan lahapnya menyantap bubur kentang itu. Memberinya waktu untuk menghabiskannya tanpa mengatakan apapun. Setelah habis, ia memberikan segelas air mineral dan tangan kanannya menyentuh kening Thomas. "Kamu demam. Apa perlu aku ambil obat?"
Setelah tegukan terakhir, ia menaruh gelas yang sudah kosong itu di atas nampan kembali. "Ayo kita pergi dari sini!" kata Thomas sambil membuka selimut dan hendak beranjak dari tempat tidurnya.
"Ini sepatuku kan?" herannya saat kakinya menyentuh sepasang sepatu. Bukan lantai keramik.
"Iya. Untuk jaga-jaga kalau kita terpaksa keluar rumah nanti," jawab Kimberly.
Ia mengangguk dan segera mengenakan sepatu kets itu. Saat ia berdiri, tiba-tiba saja kedua lutut Thomas sangat lemas dan hampir tidak bisa ia gunakan untuk berdiri. Alhasil, ia pun kembali terduduk di tepi tempat tidurnya.
"Besok pagi kita akan pergi dari sini, Tom," saran Kimberly. "Aku sudah mengunci kamar dari dalam. Jadi kita akan aman di sini."
"Maaf," ucap Thomas sambil menundukkan kepala.
"Untuk apa?" heran Kimberly.
"Aku tidak bisa melindingimu dan malah membawamu dalam bahaya."
"Ini bukan salahmu. Ini bukan salah siapa-siapa, Thomas. Bahkan ini bukan salah Mama. Mama hanya sedang... sakit"
"Nataline bukan Mama kita lagi, Kim. Kau tahu, aku disekap olehnya! Dia itu wanita gila!" amarah Thomas naik saat mendengar nama Nataline. "Dia--uhukk uhuk!" lagi-lagi ia terbatuk dan mengeluarkan darah.
"Ke-kenapa batukmu berdarah? Apa kau baik-baik saja?" Kimberly benar-benar khawatir dengan keadaan kakaknya itu.
Thomas mengambil tisu dari nakas dan membersihkan tepi mulutnya dari darah. "Nataline meracuniku. Entah berapa lama lagi aku akan--"
"Jangan katakan itu!" Tiba-tiba saja Kimberly memeluk Thomas dan ia mulai terisak. "Kim tidak mau kehilangan Tom. Kim tidak mau Tom pergi. Tom akan baik-baik saja. Tom..."
Thomas hanya tersenyum miris sambil mengelus lembut rambut Kimberly. Ia tidak tahu kalimat apa yang harus ia keluarkan untuk menghibur adiknya. Pikirannya tidak mau berputar menyusun kata-kata untuk menghentikan pilu yang sangat tidak diinginkan itu. Ia tidak bisa menghindar dari kenyataan kalau waktunya akan segera habis dan sekarang ia tahu maksud dari 'tak lama lagi' yang pernah keluar dari mulut Lizzie, gadis misterius yang mengaku sepupunya dan saat ini duduk di atas lemari di depan Thomas. Ia memandang mereka dengan tatapan yang tidak bisa diartikan. Tapi hanya dalam kedipan saja, gadis itu menghilang entah kemana.
"Sebaiknya kita segera pergi dan membawamu ke rumah sakit," usul Kimberly sambil menghapus air matanya dan mencoba mengumpulkan keberaniannya. "Apa kau benar-benar tidak bisa jalan?"
"Sepertinya aku sudah bisa." Sekali lagi Thomas mencoba berdiri. Namun kali ini dibantu Kimberly. "Ayo kita--"
Tiba-tiba saja listrik padam. Suasana kamar menjadi gelap. Hanya cahaya bulan purnama yang masuk ke dalam kamar melalui jendela.
"Aku takut." Kedua tangan Kimberly gemetar dan tidak bisa lepas dari lengan Thomas.
"Tenang. Aku di sini. Mungkin kita lupa bayar listrik." Thomas mencoba bersikap tenang di hadapannya. Padahal ia sendiri sama takutnya dengan Kimberly.
Siapa yang sudah mematikan listrik? Apa mungkin...
Traakk!!
Seseorang yang mencoba mendobrak pintu kamar membuat mereka terkesiap. Kimberly bisa saja histeris ketakutan kalau Thomas tidak segera membekap mulutnya.
"Cari tempat persembunyian!" Thomas setengah berbisik pada Kimberly.
Ia pun mengangguk dan segera berlari cepat, bersembunyi di bawah kolong tempat tidurnya setelah ia mengambil boneka kesayangannya di atas tempat tidur. Thomas ingin menyusulnya, tapi kenop pintu lebih dahulu patah sebelum ia berlari tertatih menemani adiknya. Ia pun langsung bersembunyi di kolong tempat tidurnya sendiri.
Pintu yang sudah tak layak pakai itu terbuka perlahan. Lalu masuklah seorang wanita dengan pakaian compang-camping penuh darah.
Dari bawah kolong, Thomas mengamati Kimberly dengan perasaan yang luar biasa cemasnya. Jantungnya berpacu cepat dan peluh keluar dari pori-porinya. Perasaan khawatirnya semakin menjadi-jadi saat ia melihat Nataline mulai mendekati tempat Kimberly berada.
Telinga Nataline menangkap sebuah isakan yang berasal dari arah kanannya. Dari arah tempat tidur Kimberly. Ia pun langsung mendekati tempat tidur itu untuk mengeceknya.
Nataline membungkukkan badan dan melihatnya.
Kimberly tersentak kaget saat kaki kirinya digenggam seseorang.
"Kimberly sayang, kenapa kau bersembunyi dariku?" Suara Nataline terdengar serak-serak basah dan mengerikan. "Ayo bantu Mama temukan Thomas!" Tiba-tiba ia berteriak dan semakin kuat menarik kaki Kimberly.
"KYAAAA!!!" Ia histeris sekencang-kencangnya saat kakinya terus ditarik paksa dan ia tidak menemukan pegangan untuk menahannya.
Dengan tekat kuat tuk menyelamatkan adiknya, Thomas segera keluar dari kolong dan berlari menuju Nataline.
Buukk!
Thomas langsung menendang pinggang Nataline dari samping. Ia pun tersungkur dan kepalanya terbentur sisi nakas yang tajam.
"Lari Kim!!"
Kimberly merangkak keluar dari kolong tempat tidur. Ia meraih tangan Thomas yang lekas menariknya berlari.
"Hei! Jangan lari!" sahut Nataline geram. Ia segera berdiri dan mengejarnya dengan darah mengucur dari kepalanya. Saat ia keluar kamar, ia melempar pisau kecil ke arah mereka sebelum mereka menghilang di belokan dan berhasil lolos menuju tangga.
Senjata tajam itu berhasil tertancap di pagar kayu pembatas lantai 2 bersamaan dengan lengan baju Thomas, membuat mereka terhambat. "Kim! Lari duluan! Nanti aku susul!" perintahnya sambil berusaha menarik paksa lengan bajunya. Kimberly mengikuti perintah itu dan menunggunya di lantai satu.
Saat Nataline semakin dekat dengannya, akhirnya lengan bajunya bisa terkoyak dan lepas dari tancapan pisau kecil yang sangat susah untuk dicabut itu. Thomas pun segera lari menuju tangga.
Pandangannya mendadak rabun dan langkahnya mulai gontai. Ia segera berpegangan untuk menahan tubuhnya yang mulai melemah. Dengan langkah berhati-hati ia menuruni tangga. Kimberly menyadari ada yang tidak beres dengan kakaknya, jadi ia kembali menaiki tangga.
Karena Nataline tidak sabaran ingin menangkapnya, ia segera melompat ke arah Thomas dan tidak peduli kalau mereka sedang menuruni tangga yang lebar itu. Mereka berdua sempat berguling di tangga bersamaan, sebelum Kimberly berhasil meraih baju Thomas dan menahannya. Sedangkan Nataline terus berguling sampai dasar karena genggamannya pada baju Thomas terlepas. Nataline pun tak sadarkan diri.
"Thomas!" teriak Kimberly saat membantunya berdiri di tangga. "Kau masih bisa jalan?" cemasnya saat melihat ia kesakitan sambil memegangi kaki kirinya.
Thomas mengangguk lemas dan tersenyum menenangkan. "Tentu saja. Hanya terkilir," katanya. Ia menahan mulutnya untuk tidak meringis akibat sakit luar biasa di kakinya.
"Kenapa tadi jalanmu lama sekali?" heran Kimberly sambil membantu Thomas menuruni tangga.
"Agak pusing. Tapi sekarang sudah tidak apa," bohong Thomas.
Mereka menggunakan kesempatan Nataline yang masih tak sadarkan diri untuk segera keluar dari rumah itu. Mereka berdua melewati halaman depan. Kimberly histeris melihat potongan-potongan tubuh yang ternyata milik penjaga gerbang rumah dan supir mereka berserakan di halaman depan yang semulanya cantik itu. Thomas segera menyuruhnya untuk menutup mata dan membiarkan dirinya untuk memimpin sampai keluar gerbang.
Namun Kimberly tidak sepenuhnya menutup mata. Ia juga sedikit-sedikit melihat ke belakang ke arah pintu rumah yang masih terbuka. Mata hitam Kimberly tidak menangkap sosok Nataline yang keluar dari pintu itu, melainkan sosok menyeramkan yang belakangan ini ia lihat. Lizzie.
Lizzie menunjukkan sebotol soda berwarna hitam di tangannya. Soda itu adalah soda yang hilang dari kulkas. Lizzie membuka botol soda itu dan meneguknya. Aliran soda keluar dari tenggorokannya sampai seluruh isi botol itu habis. Lalu Lizzie tertawa keras dan menunjukkan senyum mengerikannya pada Kimberly.
Kimberly semakin dibuat bergidik ketika jari tangan tajam Lizzie bergerak di depan lehernya yang sudah berlubang itu. Menunjukkan isyarat kematian sambil tersenyum lebar. Kimberly menggeleng cepat, mencoba tidak mempedulikan peringatan Lizzie itu. Ia langsung membuka matanya dan memimpin jalan, mengajak Thomas berjalan lebih cepat.
Sesampainya di luar gerbang rumah, mereka bernapas lega sejenak karena sudah cukup jauh dari rumah. Namun ternyata, Nataline sempat melihat mereka sebelum mereka benar-benar jauh dari tempatnya itu. Teriakan Nataline membuat mereka kembali memacu jantung.
Kali ini Thomas sudah tidak kuat. Ia sudah mengerahkan seluruh tenaganya antara berlari dengan menahan rasa sakit di sana-sini. Tubuhnya juga mulai melemah dan napasnya terengah-engah. Melihat kali ini Nataline berjalan gontai bak mayat hidup, membuatnya merasa semakin pesimis dan pasrah.
"Ada apa, Tom? Sebaiknya kita cepat," kata Kimberly. Ia semakin cemas melihat kakaknya yang saat ini duduk sambil menjulurkan kakinya. "Ya Tuhan! Pergelangan kakimu patah?!" Ia tersentak setelah menyadari pergelangan kakinya yang terlihat biru kemerahan dan ada sesuatu yang sedikit menonjol. Lalu Kimberly meletakkan tangannya di kening dan mengecek suhu tubuhnya karena khawatir melihat wajahnya yang sudah kemerahan dan penuh dengan keringat.
"Pa-panas sekali." Kimberly sudah tak kuasa menahan air matanya. Ia benar-benar tidak tega melihat keadaan kakaknya ini.
"Wow, sebagai anak 9 tahun, kamu mengenal yang namanya patah tulang ya," pujinya.
"Jangan sekarang!" timpal Kimberly. "Ini salahmu juga karena terlalu sering minum soda." Ia mulai terisak.
"Memang apa hubungannya dengan sering minum soda?" Thomas merasa tidak terima. "Ayolah, jangan menangis Kim."
Lalu ia berlutut di depan Thomas. "Itu karena soda bersifat korosif yang bisa mengikis tulangmu," jelas Kimberly. Lalu ia berusaha menyobek baju lengan panjangnya.
"Hei, untuk apa itu?" Tapi Thomas segera menghentikannya melakukan itu. "Pergi dan cari bantuan. Aku hanya menjadi beban nanti," katanya pelan.
"Tidak! Aku tidak akan meninggalkanmu dengan monster itu," bantah Kimberly tegas. "Aku tidak pernah menganggapmu sebagai beban." Ia menyeka butiran air mata yang terus-menerus keluar. Tiba-tiba Kimberly mengingat sesuatu. Ia pun segera merogoh saku celananya.
"Jangan membuat kesan drama di sini!" sahut Thomas. "Jangan membuatku kecewa dengan menangis di depanku!" tambahnya. Matanya terbelalak ketika melihat Kimberly mengeluarkan ponselnya. "Bodoh! Kenapa kamu tidak pakai ponsel itu daritadi!" hardiknya.
"Aku baru dapat sinyal!" balas Kimberly. Ia segera menghubungi nomor darurat, tapi tidak tersambung lagi. Ia melihat layar ponselnya dan ternyata sinyal di sini sangat buruk. "Tidak berguna!" pekiknya sambil menggerak-gerakkan ponselnya.
Thomas menarik napas dan dihembuskan perlahan. "Kamu harus pergi."
"Tapi...,"
"Aku bilang, pergi dan cari bantuan," perintahnya lembut. Lalu ia mencium kening adiknya sesaat. "Tom kecil akan selalu menjagamu," ujarnya sambil mengelus kepala boneka kucing itu.
Kimberly menyeka air matanya kembali dan mengangguk. "Bertahanlah." Ia berlari setelah memeluk kakaknya dengan kasih sayang. Ia nampak sangat keberatan dengan keputusan yang ia lakukan. Ia terus berlari sambil berusaha menghubungi nomor darurat atau setidaknya nomor Daryl.
•••
Nataline sudah berdiri di hadapannya. "Kau mencariku, kan?" gumam Thomas. "Kau membenciku, kan?" Ia mendongakkan kepala, melihat tatapan benci dari mata Nataline. "Sudah kuduga. Tapi jangan bawa-bawa nama Kimberly dalam daftar bencimu."
Ia tersenyum sinis. "Aku tidak membencinya selama mata hitam itu hilang darinya," jawabnya. "Selama ia masih manjur dalam membawa keberuntungan. Kalau sudah tidak lagi, untuk apa dia hidup?"
"Apa?!" Thomas terbelalak tidak percaya. "Kau benar-benar sudah gila ya, Nataline." Ia sudah tidak menganggapnya sebagai Mama.
Nataline tertawa sinis."Tapi faktor paling besar itu berasal dari kau, Thomas. Pakaian, rambut, dan matamu yang hitam membawaku ke dalam kehancuran. Hitam selalu membawa sial!" bentaknya di akhir kalimat sambil melempar pisau ke kaki kanan Thomas.
"Argh!" Ia semakin meringis, membuat Nataline tertawa senang.
"Sekarang kau tidak bisa berjalan," gumam Nataline sambil tersenyum lebar dengan tatapan lapar seekor pemangsa.
•••
Terlihat jejak darah di sepanjang trotoar. Membuat beberapa orang laki-laki dan polisi yang berhasil dikumpulkan Kimberly, bergegas mengikuti jejak darah yang berhasil membuat gadis kecil itu menangis kembali sambil terus mendekap boneka Tom di pelukannya.
Daryl mulai bingung. Sudah beberapa hari dia tidak kembali ke rumah, sementara ia menginap di sebuah motel. Tidak ada perusahaan manapun yang ingin menerimanya sebagai pegawai. Dari pada pengangguran, lebih baik ia menjadi seorang kurir yang dengan mudah menerimanya. Dan malam ini, ia harus berani bilang kenyataan ke istrinya. Juga menasehatinya agar belajar berhemat. Jika ia tidak bisa menerima kenyataan itu, dengan terpaksa Nataline harus dibawa ke tempat terisolasi segera. Atau langsung ke rumah sakit jiwa jika terpaksa.
Saat perjalanan pulang, tiba-tiba ia melihat Kimberly berlari di belakang kerumunan orang-orang.
Mobil sedan putih berjalan mengikuti tempo lari gadis kecil itu dan kaca mobilnya terbuka. "Kim! Apa yang terjadi!" sahut Daryl.
Kimberly berhenti, mobil pun juga berhenti. "Pa, Mama... Mama sudah tak terkendali!" Kimberly terisak.
"Ayo masuk!" ujarnya sambil membuka pintu mobil. Kimberly pun masuk dan mobil mulai melaju. "Apa yang terjadi? Obat penenangnya habis?"
"Mama sudah mengincar Thomas sejak Papa tidak mengabari selama beberapa hari. Dan ia--"
"Apa karena horoskop-horoskop itu?" sela Daryl
"Iya. Hitam adalah pembawa sialnya. Jadi... ia a-akan membunuh Thomas!" Tangis Kimberly kembali pecah.
"Astaga...," Daryl langsung mempercepat laju mobilnya.
•••
Tidak ada yang bisa dilakukan kecuali mengikuti apa yang ia mau. Kehilangan banyak darah membuatnya semakin lemah. Yang ia tahu saat ini, ia sedang diseret ke halaman belakang. Lebih tepatnya ke kolam renang bagian paling dalam.
Jantungnya mulai berdetak lambat dan mati rasa mulai menjalar dari kaki menuju kepala.
"Kucing Tom sangat benci air," ucapannya terdengar samar. Tiba-tiba Nataline--entah darimana kekuatan itu--melempar Thomas ke kolam dengan kedalaman 2 meter. Ia tidak bisa berenang. Kedua kakinya sudah tidak bisa lagi digunakan. Membuatnya terus tenggelam sampai dasar kolam. Air itu perlahan memerah. Tapi tidak merabuni apa yang terakhir dilihatnya di atas permukaan kolam itu.
Seorang perempuan berpakaian serba hitam masuk ke dalam kolam dan berenang ke arahnya.
Thomas hampir mencapai batasnya. Matanya terpejam dan ia membiarkan perempuan itu mendekat ke arahnya. Sebelum ia mencapai batasnya, ia bisa merasakan titik hangat di keningnya.
(Hey, apa kau yakin Kimberly akan baik-baik saja setelah kematianmu?)
...
(Kau makhluk beruntung yang bisa bereinkarnasi, jadi biarkan aku bersamamu dan memandumu untuk membalaskan kematianmu. Melihat Kimberly baik-baik saja setelah kematian Nataline tiba)
...
(You are mine, Thomas)