Sebuah kilatan hitam membuat seorang wanita dengan seragam tugasnya mempercepat langkahnya. Ia sudah curiga dengan keberadaan asap di sana sebelumnya dari menara pemantau. Takut ada seseorang atau pemburu yang lupa mematikan api unggunnya. Bahkan yang lebih parah, asap itu berasal dari puntung rokok yang dibuang asal dan bisa menyebabkan kebakaran hebat seperti tahun lalu. Ia tahu musim dingin ini akan kecil kemungkinan ada kebakaran hebat semudah itu, jadi teman-temannya cukup enggan menemaninya hanya untuk mengecek asap kecil apa itu. Ia pun akhirnya datang sendiri ke tempat kejadian. Untung saja letaknya tidak terlalu jauh.
Ia menemukan seekor kelinci tergeletak di tanah, hanya kaki belakangnya bergerak-gerak. Hewan itu berusaha menghindar, tapi tidak bisa.
"Kasihan sekali," gumamnya sambil mengangkat kelinci itu. Lalu ia melihat kaki depannya yang terikat kain. Hanya saja, ikatan itu terlihat lebih longgar. Ia melihat sekitar tempat itu. Ada daging rusa yang hampir habis di bakar di atas tumpuan api. Ia mengira kalau ada pemburu yang baru saja meninggalkan tempat itu.
Setelah berjalan beberapa menit, sampailah mereka di sebuah permukiman kecil dengan menara di tengahnya. Mereka memasuki gerbang kawat tinggi yang mengitari rumah-rumah kayu itu. Lalu masuk ke dalam salah satu rumah kayu yang berisi banyak sekali kelinci di dalam kotak kaca. Ruangan pertama yang dimasuki hanya ada rak-rak besi dan meja-meja pengamatan. Lebih seperti sebuah laboratorium.
"Nona Flawnsen!" sahut wanita itu.
(Apa aku tidak salah dengar? Dia memanggil maegaku!) batin Thomas. Saat wanita itu menyahut sekali lagi dengan nama yang sama, ia mulai yakin.
"Aku kira kalian berdua tidak akan menggunakan marga itu," ujar Lizzie.
Ia baru tersadar. Sejak itu, ia sudah tidak suka dengan marganya. Tapi kenapa--kalau seandainya itu memang adiknya--Kimberly masih menggunakan marga itu? Masih menggunakan marga yang sudah membunuh kakaknya?
Pintu yang berada di sudut ruangan, terbuka. Gadis berpakaian serba coklat masuk ke ruangan. "Ada apa, Tessa?" Wanita bernama Tessa itu menunjukkan apa yang ia temukan. Membuat gadis itu langsung cepat-cepat ke hadapannya dengan mata berbinar-binar. "Kau datang di tempat yang tepat!" sahutnya.
"Tentu saja." Lalu ia menyerahkan kelinci itu. "Dia terluka, tapi sudah ada seseorang melakukan pertolongan pertama padanya."
"Hmm..." Ia memperhatikan kelinci yang ia terima dengan hati-hati memegangnya. "Oh iya, dia patah tulang." Ia kembali memandang Tessa. Menatapnya jengkel. "Jangan memanggilku Nona Flawnsen. Kan kau bilang kita sudah seperti adik-kakak. Jadi panggil nama depan saja."
Tessa tersenyum dibalik wajahnya yang datar. "Iya, Kimberly" Tessa menyerah.
Kimberly ikut tersenyum. "Makasih"
"Melihatmu suka kelinci dan meneliti juga mengobati hewan-hewan ini, apa kamu tidak takut jika seandainya salah satu di antara kelinci-kelinci ini ada yang membawa kesialan?" tanya Tessa. "Kelinci kutukan itu," tambahnya.
Kimberly sedikit memiringkan kepalanya. "Kelinci kutukan? Oh itu." jawabnya. "Kenapa kamu percaya mitos?" Ia terheran.
"Itu bukan mitos! Sebelumnya sudah pernah menelan korban karena kelinci itu," protesnya.
"Kelinci itu bukan karnivora, ok. Sudahlah Tess," erang Kimberly.
Tessa terkekeh. "Baiklah. Aku akan berjaga kembali," ujarnya sebelum Tessa meninggalkan tempat itu.
Kimberly menaruh kelinci itu di meja. Lalu ia mengambil beberapa peralatan medis dan mulai mengobati kaki depan kelinci itu. "Ini akan sedikit menyakitkan. Tolong ditahan ya, manisku," gumamnya.
Thomas tidak merasakan sakit sama sekali saat kain itu mulai dilepas dan diganti dengan kain yang lebih steril. Ia terpaku dengan sosok gadis di hadapannya. Memperhatikan setiap detail wajahnya yang manis. Awalnya ia tak percaya, mengira kalau adiknya akan dipasung oleh mamanya atau bahkan melihat kuburannya. Tapi nyatanya 180 derajat dari perkiraan itu. Gadis yang masih berambut coklat ikal itu terlihat senang dan menikmati hidupnya. Apa yang sudah terjadi?
"Naah, sudah selesai." Kimberly menyentakkan Thomas dari lamunannya. "Wow kamu hebat juga ya. Sangat tenang, beda dengan yang lain," pujinya. Lalu ia membawa kelinci itu ke dalam kotak kaca yang sudah diatur mengikuti alamnya--ada tanah dan rumput--seperti kotak kaca yang lain dan memberinya makanan khusus kelinci. Tiba-tiba ponsel di saku roknya bergetar. Ia pun mengangkatnya. Di sela-sela obrolan, ia meninggalkan ruangan itu.
Kelinci itu mencium-cium kasa yang terlilit di kaki depannya yang berbau alkohol itu.
Terima kasih Kimberly.
•••
"Ok, aku sudah bertemu dengan adikku," kata Thomas sambil mengelilingi kotak kaca itu dengan langkah sedikit diseret.
"Terus kenapa?" heran Lizzie.
"Dia aman, tentram dan bahagia. Sudah aku bilang, dia tidak akan bersama Nataline lagi," ungkapnya. "Akhirnya sekarang aku bisa tidur dengan tenang!"
"Hey hey, tenang Thomas." Lizzie mulai merasa aneh melihat kelakuannya seperti anak kecil itu. Ett... dia memang anak kecil kan.
"Ya Tuhan, aku sudah bertemu dengan Kimberly. Aku senang dan lega sekali melihatnya aman sekaligus terlihat bahagia. Jadi, tolong biarkan aku berbaring dengan tenang di peristirahatan terakhirku supaya aku tidak bertemu Nataline lagi." Thomas benar-benar tidak mempedulikan Lizzie.
Tiba-tiba saja tubuh kelinci itu melayang keluar dari kotak kaca itu lalu terhempas ke depan dan terjatuh. Sebelum tubuhnya menyentuh lantai kayu, muncul kilatan hitam dan Thomas pun kembali ke wujud manusia dalam keadaan terduduk.
"A-apa yang barusan terjadi?" Thomas bingung sekaligus kaget saat tubuhnya terhempas dan tiba-tiba keluar dari kotak kaca. Lalu ia berdiri dan menghadap Lizzie yang sudah terlihat kesal di depannya. Dengan sorotan mata ingin menikam dan mencabik.
"Lizzie, kau kesal kenapa?" Tangan Thomas melintas di depan mata merah itu sambil tersenyum senang dan sedikit tertawa. Ia mencoba menghilangkan tatapan kesalnya. "Sepertinya tanganku sudah sembuh." Ia baru tersadar kalau tangannya itu tidak terbalut kasa lagi dan bisa ia gerak-gerakkan kembali. Saat dilihat sekelilingnya, ternyata kasa itu ada di sebelah kakinya dan sudah sobek.
"Hmm... Ternyata ukuran tangan kelinci memang beda dari manusia. Ya memang beda Thomas!" sembur Lizzie setelah ia membaca pikirannya.
"Aku hanya berpikir, Lizz. Jangan dianggap serius" Thomas terkekeh sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal itu.
Lizzie tertegun saat melihat 'sisi yang berbeda' dari Thomas. Sisi yang hangat dan penuh canda tawa. Sisi itu mengingatkannya akan seseorang yang tidak akan berpisah darinya sampai sekarang. Hanya saja, ia tidak menampakkan diri. Namun ia tahu kalau sosok yang ia benci itu ada di sekitar ini dan sedang mengawasi.
Lizzie memejamkan matanya sesaat dan sorotan matanya kembali tenang. Ia mencoba lebih mengontrol egonya. Walau ia tahu, tenang dan kalem bukanlah sifat aslinya. Hanya saja, ada sesuatu yang membuatnya tidak bisa melampiaskan rasa kekesalan pada lelaki di depannya itu. Apalagi saat ini, saat Thomas terlihat bahagia. "Kau pasti senang sekali melihat adikmu baik-baik saja. Aku bisa merasakannya, kau berlari-lari di pikiranku saat ini," kata Lizzie sambil menutup kedua telinganya.
Thomas terkekeh dan tersenyum lebar. "Maaf. Tapi aku tidak tahu menghentikan rasa kesenangan ini"
"Hei, Thomas." Lizzie sedikit mengikis jarak di antara mereka dan meletakkan kedua tanganya di atas pundak Thomas yang lebih tinggi sedikit darinya itu.
"Hmm?"
"Apa kau tidak penasaran dengan situasi ini? Apa melihat kondisi adikmu baik-baik saja sudah cukup?" ucap Lizzie lambat.
Thomas melihat mata merahnya balik. Mata yang menyiratkan rasa penasaran itu seakan mendorongnya untuk terus mencari tahu kebenaran di balik berubahnya Kimberly. Apa yang terjadi selama kurang lebih 15 tahun setelah ditinggal olehnya itu.
"Tapi--"
"Mengingat kau sosok kakak yang terlalu protektif, apa kau tidak ingin menemuinya langsung dan bertanya banyak hal sepeninggalanmu?"
"Aku bisa bertanya padanya?" Sumringah senang kembali menghiasi wajah lugu itu.
"Ya, kau bisa!" Mata Lizzie sedikit menyipit dan ia tersenyum dari balik penutup wajahnya. Senyuman dengan maksud tertentu. "Dan satu lagi, apa kau tidak merasa janggal dengan Kimberly saat ini?"
Thomas menggeleng ragu. "Masih sama seperti dulu, hanya lebih dewasa dan lebih manis mungkin."
"Apa kau tidak lihat matanya?"
"Matanya... masih berwarna hitam, kan?" Thomas mulai ragu. Ia tidak terlalu kagum dengan wajah adiknya sampai tidak sadar melihatnya secara detail.
Lizzie menggeleng. Tangan kirinya terangkat dan ia menunjuk mata hitam Thomas dengan jarak yang cukup dekat.
"Matanya berwarna cokelat. Bukan hitam lagi seperti milikmu."
Belum sempat Thomas membuka mulut, Lizzie sudah meletakkan tangan kirinya itu di kening Thomas. Karena seorang pemuda baru saja masuk ke ruangan tersebut dan untungnya ia tidak sempat melihat kilatan hitam yang cukup cepat itu. Saat melewati ruangan, ia melihat seekor kelinci tergeletak di atas lantai kayu. Ia pun segera mengambil kelinci yang tertidur itu dan meletakkannya kembali di dalam sangkar.
"Sepertinya kau kelinci baru," gumam pemuda itu sebelum ia berlalu meninggalkan ruangan tersebut.
(Perjalananmu masih panjang, Thomas. Jadi, simpanlah tenagamu.)