Berkeliaran di tengah hutan ketika langit berwarna hitam merupakan keputusan yang sangat buruk. Indahnya bintang-bintang yang bertaburan di langit, sangat berbanding terbalik dengan wujud arwah-arwah pendendam yang berhamburan di hutan untuk berburu pembunuh mereka, yaitu sesosok arwah gadis pendendam juga yang terikat dengan wujud reinkarnasi berbentuk kelinci, Lizzie.
Ketika telinganya menangkap suara sesuatu yang diseret di tanah, langkahnya seketika berhenti. Ia menempel pada pohon terdekat seraya mencari sumber suara. Ternyata suara tersebut berasal dari balik pohon tempatnya bersembunyi itu. Seorang wanita sedang menyeret tubuhnya dengan dua tangan. Bagian bawah tubuh hangus dan bagian atas tubuh banyak kulit yang mengelupas akibat terbakar. Menyisakan kepala dan dua tangannya yang sedikit lebih utuh.
Dua mata merahnya tak fokus mengikuti ke mana arwah wanita tersebut, karena di depan tempatnya berdiri ini muncul arwah dari balik pohon lain. Arwah seorang pria dengan dua lubang besar yang merenggut penglihatannya. Arwah itu meraba-raba angin dan tertatih ke tempatnya berdiri.
Walaupun tidak dapat melihat, Lizzie yakin kalau arwah tersebut pasti memilik pendengaran yang tajam. Ia menoleh ke arwah wanita lagi untuk melihat sampai mana sosok itu merangkak menyeberangi jalan setapak kecil, juga menoleh ke arwah pria di depannya untuk melihat sampai mana sosok itu melangkah mendekatinya. Ia mencoba untuk setenang mungkin agar keberadaannya tidak disadari oleh dua arwah itu.
Lizzie perlahan merosot dan merendahkan diri untuk menjauhi dua tangan arwah pria yang semakin dekat dengannya. Pelan-pelan ia bergerak ke samping, memutari batang pohon yang sedang diraba oleh musuhnya itu sambil menghindari rumput dan ranting kering yang dapat menimbulkan suara. Setelah itu, ia menuju jalan setapak yang sudah diseberangi arwah wanita tadi sambil tetap mengawasi apa yang dipijaknya.
Sebisa mungkin Lizzie tidak menarik perhatian arwah-arwah yang memburunya. Sekarang ini tenaganya sedang tidak banyak gara-gara pertikaian dengan sosok yang berusaha menghentikannya, yaitu arwah kakak kembarnya sendiri yang bernama Alice.
Sepatu pantofel hitam terus melangkah melewati jalan setapak kecil yang tampak familier di tengah hutan. Semakin ia susuri, semakin lebar jalan setapak yang ia lalui itu. Sampai akhirnya ia berhasil keluar dari hutan dan menemui sebuah jalan raya. Di seberang jalan raya itu, terbangun sebuah gerbang tinggi yang sudah berkarat. Dan di balik gerbang tersebut, tampak sebuah rumah berlantai tiga yang ditelan oleh kegelapan.
"Ohh rumah ini…"
Lizzie masih mengenali rumah itu meskipun sudah banyak sulur yang merambat, juga lumut yang mengikis di setiap dindingnya. Dimulai dari kelahirannya hingga kematiannya, semua terjadi di dalam rumah mewah bagai istana itu. Bahkan ketika ia menunggu waktunya untuk bisa bertemu Thomas juga ada di sana. Jadi bagaimana Lizzie tidak kenal rumah yang penuh akan traumanya itu?
Awalnya ia sempat bimbang, haruskah ia memasuki rumah itu kembali? Tapi mengingat di belakangnya terdapat hutan yang sedang dihuni oleh arwah yang memburu dirinya, ia tidak mungkin bermalam di sekitar tempat ini. Mau tidak mau, ia harus masuk ke dalam rumah tersebut untuk mengistirahatkan diri sambil menunggu tanggapan dari Thomas melalui telepati.
Lizzie tidak perlu repot-repot membuka gerbang. Wujudnya yang dapat menembus apapun, memudahkan ia melalui rumput-rumput tinggi yang tumbuh di sekitar halaman depan dan masuk begitu saja ke dalam rumah tanpa melalui pintu depan. Dinding yang baru saja ditembusnya itu ternyata mengantarkan dia ke ruang keluarga. Ia tahu ini ruang keluarga setelah mengintip beberapa perabot ruangan yang tertutup kain putih usang. Terdapat sofa berjajar mengarah ke sebuah TV dengan meja panjang di antaranya. Juga ada beberapa rak kosong di dindingnya. Semua yang dilihatnya di ruangan tanpa cahaya sama sekali ini tidak mungkin dapat dilihat oleh mata manusia biasa. Meskipun tidak terlalu jelas dan terlihat seperti cahaya remang-remang, setidaknya Lizzie masih dapat mengenali ada apa saja di sekitarnya dalam jarak dekat. Tidak ada yang berubah dari ruangan itu sejak terakhir kali ia kunjungi ketika Thomas dan Kimberly menempati rumah ini.
Partikel-partikel debu berterbangan semakin liar ketika Lizzie menyibak kain yang menutupi sofa panjang. Lalu ia letakkan kain itu di sembarang tempat. Ia tidak terganggu sama sekali oleh debu yang menari-nari di sekitarnya, namun ia sedikit terusik dengan suara kaki-kaki kecil yang berlarian entah berasal dari mana. Ia tahu ini bukan suara langkah kaki sesosok arwah, melainkan langkah kaki tikus-tikus yang berkeliaran. Telinganya yang sangat tajam dapat mengenali suara-suara di sekitarnya.
Selama beberapa menit Lizzie duduk di sofa itu, ia tidak mendengar suara aneh atau mencurigakan. Ia hanya mengandalkan indra pendengarnya saja sebagai radar untuk mengetahui apakah ada arwah lain selain dirinya di rumah ini—atau setidaknya di sekitar ruang keluarga ini saja. Dan tidak terdengar suara apapun kecuali aktivitas tikus atau hewan-hewan lain yang berinteraksi dengan barang perabot. Setelah ruangan itu dirasa aman, ia memilih untuk bermalam di sini saja. Ia terlalu segan untuk mengitari setiap ruangan rumah atau bernostalgia pada masa lalunya yang kelam.
Lizzie mengurungkan niat untuk merebahkan diri ketika ekor matanya menangkap sesuatu di kanannya. Kain putih usang yang seharusnya tergeletak di lantai, kini terangkat kembali membentuk sesuatu. Seakan kain putih tersebut digunakan untuk menutup sebuah patung yang tiba-tiba muncul. Ia menatapinya. Sosok bertubuh bungkuk yang tidak lebih tinggi darinya, dengan dua lengkungan di kepala. Seperti sepasang telinga tinggi di puncak kepala.
Saat kain putih itu bergerak sedikit, Lizzie reflek berdiri menjauhi sambil menunjukkan jari tajamnya. "Siapa kau?" tanyanya waspada.
Untuk beberapa saat tidak ada jawaban. Jika di balik ini adalah salah satu arwah yang mengejarnya, seharusnya ia sudah menyerang dari tadi. Namun ini tidak. Perlahan tapi pasti, Lizzie menjulurkan tangan untuk meraih ujung kain itu dan segera membukanya cepat.
Akan tetapi, tidak ada apapun di sana. Kosong. Di kain itu juga tidak tertempel sesuatu dan di tempat sosok tadi berdiri juga tidak ada apapun yang tak kasat mata. Ini aneh, begitu pikir Lizzie.
Tidak ingin memusingkan hal lain, ia pun berbaring di atas sofa dan menutup seluruh tubuhnya dengan kain. Dua matanya terpejam dan dua tangannya terpangku di atas perut. Ini pertama kalinya ia tidak bersama Thomas untuk mengistirahatkan diri. Sebagai arwah yang dapat menentukan kapan bisa menembus sesuatu kapan tidak, ia tidak mungkin bisa tertidur dengan mudah. Beda sekali jika ia bersama Thomas dan membentuk wujud kelinci, pasti ia dapat merasakan lompatan waktu dari malam menjadi pagi melalui satu cara yang bernama tidur.
•••
Pada akhirnya, Lizzie tidak tertidur sama sekali karena mendengar kegaduhan yang ditimbulkan hewan-hewan pengerat di sekitar. Meskipun hanya berbaring dan memejamkan mata, tenaganya sudah cukup terisi untuk menggunakan telekinesisnya sebagai pertahanan. Ia terbangun dari baringnya setelah mendengar suara Thomas lagi melalui telepati. Untuk beberapa saat ia mendengar isi pikirannya tentang perasaan bersalah karena tidak sengaja tidur di kasur Kimberly. Setelah ia mengetahui di mana anak laki-laki itu berada, ia pun keluar dari ruang keluarga ini. Menembus dinding juga rumput tinggi di halaman depan. Ia mendengar isi pikirannya tanpa ada niatan menyela. Sampai tiba-tiba ia mendengar kerisauan Thomas saat tahu anak laki-laki itu akan menemui Nataline. Target utama mereka berdua.
Meskipun setengah wajahnya tertutup dan hanya melihat dua mata merah yang melengkung, dapat dikatakan kalau Lizzie sedang tersenyum lebar saat ini. Tetapi, senyumnya itu menguap begitu saja ketika berhasil keluar dari rumput tinggi. Bukan karena isi pikiran Thomas yang mendadak ragu, melainkan karena sosok yang ditemuinya kemarin malam yang kini berdiri di depan gerbang. Sosok yang bersembunyi di balik kain putih usang.
Terdapat kabut putih yang bergerak perlahan melewati celah-celah gerbang rumah. Lizzie masih bisa sedikit merasakan kalau suhu di luar ini terlalu rendah untuk suhu pagi pada umumnya. Layaknya suasana saat pagi hari di dataran tinggi. Tapi kenyataannya, rumah ini tidak terletak di dataran tinggi.
Kabut menyelimuti apapun yang berada di jalannya, kecuali sosok itu. Ia berjalan seiringan dengan kabut putih. Dilihat dari cara bergeraknya yang stabil tanpa goyah sedikit pun, tampaknya sosok itu bergerak tanpa berpijak di tanah. Ketika Lizzie menunjukkan cakar tajamnya, sosok itu pun berhenti seketika
"Kalau kau masih tidak mau bicara, kau akan lenyap di tanganku!" ancamnya.
"Lizzie… Lizzie Flawnsen…"
Suara lembut yang menggema menyusup masuk ke dalam telinga. Terdengar bulat dan cukup berat—tapi tidak seberat suara seorang pria. Lebih kepada suara jenis alto yang umumnya diperuntukkan bagi wanita dewasa.
Lizzie tidak menjawab, menunggu apa yang akan dikatakan selanjutnya di tengah-tengah kabut putih ini.
"Aku dengar… Sebentar lagi kau akan memenuhi hasrat dendammu pada Nataline."
"Apa hubungannya denganmu? Siapa kau sebenarnya?"
Sosok itu tertawa sejenak. "Apakah kau lupa karena siapa kau bisa ada sampai sejauh ini?"
Mulut Lizzie membulat. Matanya berubah dingin ketika ia dapat menebak siapa sosok di balik kain itu. "Lagossia…"
Kabut putih semakin tebal dan suhu semakin rendah. Jarak pandang menjadi terbatas dan langit menjadi kelabu. Kesuraman mengerubungi apapun yang ada di sekitarnya tepat setelah nama itu diucapkan.
"Ahh… Aku senang kau bisa mengingatku."
"Dan aku juga senang kau datang di waktu yang cukup tepat," balas Lizzie sambil tersenyum miring, "sekarang, mana senjata yang kau janjikan untuk membunuh Nataline?" Tangan kanannya terjulur.
"Aku akan berikan senjata itu asal kau membuat janji baru denganku."
Sebelah alis Lizzie terangkat. "Aku masih bisa membuat janji denganmu walau sudah mati dan jadi arwah begini?"
"Kenyataannya, kau bukanlah arwah biasa seperti yang lain, Lizzie. Kau sudah terikat janji denganku dan sudah terikat kuat dengan inang reinkarnasimu untuk membalaskan dendam. Ingat Eternal Darkness Curse? Jadi di netraku, kau hampir tidak ada bedanya dengan Thomas atau manusia biasa," jelasnya.
Lizzie mencerna ucapannya dulu. Setelah cukup paham, ia mendecak sebal. " Oh ya. Eternal Darkness Curse. Lalu kau mau janji apa lagi?"
Sebuah api merah berkobar kecil di hadapannya. Setelah kobaran api itu menghilang, muncul wadah mangkuk hitam legam dengan ukiran ular yang melingkari wadah tersebut. Di dalamnya terdapat gambar wajah seekor kelinci yang warnanya sama persis dengan warna wadah dengan mata semerah darah.
"Berjanjilah padaku. Thomas yang akan gunakan senjata itu untuk membunuh Nataline. Bagaimana pun kondisinya nanti, kau tidak boleh ikut campur. Biarkan Thomas yang menentukannya."
"Aku berjanji." Tanpa pikir panjang, Lizzie langsung meneteskan darah yang ia ambil di lehernya yang bolong, ke dalam mangkuk tersebut.
Muncul kobaran api merah lagi membakar seluruh mangkuk tersebut. Kobaran api merah itu kini membentuk wujud pisau. Tak lama kemudian, api itu menghilang dan muncullah pisau berwarna kehitaman yang terbuat dari kaca. Gagang pisau juga terbuat dari kaca yang terukir membentuk kepala kelinci dengan sepasang tanduk tajam melebihi tinggi telinga. Lizzie tersenyum pada keindahan yang ditunjukkan pisau berukuran sedang itu.
"Langsung menyanggupinya dan tidak mempertimbangkan sesuatu dulu, eh?"
"Thomas pasti mengikuti kata-kataku. Jadi untuk apa merasa ragu? Lagipula… Aku ingin berbicara sesuatu denganmu."