Orang-orang dari berbagai usia berlalu-lalang di koridor rumah sakit. Pasien yang berjalan menggunakan tongkat penyangga hingga kursi roda, melewati pintu-pintu dan kursi panjang yang terletak di sepanjang koridor. Tidak peduli sudah berapa banyak yang melewati koridor penting itu, tapi tidak ada satu pun yang menyadari keberadaan seorang anak laki-laki yang kini sedang mengintip ke dalam ruangan dari balik jendela kecil pintu rumah sakit. Bahkan seorang perawat yang hendak masuk itu pun tidak bertegur sapa dengannya. Mereka semua sibuk dengan pikiran masing-masing seakan anak laki-laki itu hanyalah wujud semu.
Walaupun ia bukanlah seorang pencari perhatian, ia tetap tidak suka jika tidak ada yang menyadari keberadaannya. Dan hal ini cukup membuatnya merasa kesepian.
Anak laki-laki bernama Thomas itu memilih duduk di kursi taman yang berada tepat beberapa meter dari tempatnya berdiri untuk menunggu adiknya selesai membesuk pasien di ruangan tadi. Beberapa menit telah berlalu saat tiba-tiba dari kejauhan terlihat seorang pria paruh baya sedang berjalan mengarah ke ruangan tempat adiknya berada. Pria itu menarik perhatiannya. Pria itu membuatnya bernostalgia.
Hingga ia tersadar kalau pria itu memanglah terlihat mirip dengan seseorang yang berasal dari masa lalunya.
"Apa itu benar dia?" Thomas mengusap-usap matanya dan sedikit menyipit ke arah pria yang semakin mendekat itu. Ia terbelalak saat mengetahui kalau itu benar dia. Benar papa angkatnya. "Papa!" seru Thomas sambil menghampiri pria itu dengan senyum lebarnya.
Namun, pria berseragam serba kuning itu tetap melanjutkan langkahnya dan merasa tidak ada yang memanggilnya. Walau sudah banyak kerutan di wajah dan seluruh rambutnya memutih, Thomas masih mengenalinya.
"Papa, ini aku, Thomas!" Ia terus menyahutnya sambil mencoba melambai-lambaikan tangan di depan wajahnya. "Papa?" Pria itu terus berjalan melewatinya. Thomas tidak tahan lagi untuk melepas kerinduan padanya. Ia pun beralih langsung memeluknya dari belakanh.
"Aduh, nyeri pinggangku kambuh lagi," erang Daryl.
Thomas reflek melepasnya. "Oh, ma-maaf, Pa. Aku—" ucapannya terhenti ketika melihat Daryl tetap melangkah sambil mengusap punggungnya, lalu mengetuk pintu ruangan bernomor 108.
Thomas berdiam diri di tempat ia melepas Daryl. Ia menghela napas dan dihembuskan perlahan. Ia berharap hembusan napasnya itu keluar bersama rasa sedih dan kecewanya. Tapi tidak bisa. Batinnya yang berbisik kalau ia tidaklah nyata membuat ia semakin frustasi.
(KAU ITU NYATA, BODOH!)
Bentakan suara seorang gadis yang muncul di pikiran, menghentakkannya.
(Berhenti merengek dan menangis seperti bayi!)
(Aku tidak menangis, idiot!) bentaknya balik.
(Hati tidak mungkin berbohong!)
Thomas hanya mendengus karena tidak dapat membalasnya. Ia pun mengganti topik.
(Kau di mana, Lizz?)
(Bukankah sudah kubilang kalau aku akan menemuimu saat kau sudah sampai di rumah sakit jiwa?)
(Benarkah?)
(Iya.)
(Ooh.)
Terjadi keheningan lagi. Thomas ingin mengobrol dengannya agar rasa bosan dan kesepian yang ia rasakan sedikit berkurang. Namun, ia tak dapat memikirkan topik apapun. Ia jarang sekali mengobrol dengan seorang perempuan selama masih di panti asuhan kecuali adiknya saja. Bersama Cathrine pun juga sangat jarang saat perempuan itu belum diadopsi dan berpisah darinya. Ia sudah gugup duluan dan malah memilih jalan memutar ketika hendak berpapasan dengannya.
(Hahaha... Thomas. Kau manis sekali. Jangan kaku begitu. Kita kan sudah saling kenal. Aku juga ingin mengobrol denganmu. Tapi sayangnya aku ada sedikit keperluan yang mesti aku urus.)
Wajah anak laki-laki itu langsung semerah tomat. Setelah sekian lama, ia dapat merasakan kembali dua pipinya yang terasa hangat. Ia sungguh lupa kalau Lizzie dapat membaca pikirannya. Walau begitu, ia menepis rasa malunya itu.
(U-urusan apa?)
(Akan kuberitahu saat di rumah sakit jiwa. Kalau ada apa-apa, segera kasih tahu aku, ok?)
(Hmm... Ok.)
Thomas mendesah panjang sambil merosot dari sandara kursi. Entah sampai kapan ia akan duduk di sini untuk menunggu adiknya kembali. Mengingat adiknya itu kini sudah memiliki tunangan, ia hanya berharap kalau dirinya tidak dilupakan di sini. Walau kemungkinan Thomas dilupakan olehnya itu sangat kecil, tapi ia tidak meremehkan kemungkinan itu. Karena apapun bisa terjadi di dunia yang sedang dihuninya ini.
•••
Thomas sedang membenahi topi birunya yang senada dengan kemeja lengan panjangnya, saat melihat ada seseorang keluar dari ruangan itu. Ia berharap seorang gadis berambut cokelat yang keluar, tapi terkadang tidak seluruh harapannya dapat terkabul. Yang keluar itu adalah seorang anak laki-laki sebaya dengan kepalanya yang dibebat serta beberapa goresan kecil di pipi. Anak itu sempat menyadari keberadaannya dan mereka bertatapan dulu beberapa detik.
(Sial. Ada Ray.) Thomas pun bergegas beranjak dari kursi sambil merendahkan visor topi. Ia berjalan cepat menyusuri taman itu untuk menemukan kerumunan orang. Ia menoleh sedikit ke belakang dan mendapati anak itu mengikutinya.
Derap langkah Thomas semakin cepat, begitu pula Ray. Ia mulai panik saat jalan yang dipilihnya malah makin sepi. Ternyata ia sedang melangkah di samping gedung rumah sakit dan Ray terus mengekor sambil menyahutnya berhenti.
Thomas menemukan koridor terbuka. Ia menoleh ke belakang lagi, dan tersentak saat tahu anak itu semakin dekat. Karena tidak ada anggota gerak yang terlihat terluka, Ray semakin mudah mengejarnya.
Kaki kiri Thomas terperosok ke dalam saluran air kecil dekat koridor terbuka itu dan membuatnya tersungkur ke depan. Sebelum ia sempat bangkit, tubuhnya telah ditimpa dan kepalanya dibenturkan untuk tetap menempel pada lantai oleh Ray.
"Berhenti kau, pembunuh!"
Thomas meringis saat kepala dan tubuhnya terus ditekan ke keramik. Beberapa saat ia tidak menjawab, menunggu siapapun yang datang akibat sahutan tadi. Tapi tampaknya tidak ada yang akan datang dalam waktu dekat, karena saat ini kepalanya tertengok ke ruangan yang bertuliskan 'Ruang Mayat'.
"Sepertinya salah orang."
"Salah orang katamu?!" Ray semakin geram mendengar suara tenangnya. Ia pun membalikkan Thomas dengan kasar dan kembali menimpa tubuhnya sambil mencengkram kerah kemejanya. "Kau pikir aku bakal lupa orang yang membunuh adikku, hah?!" Ray membentak seraya menyalangkan mata cokelatnya.
"Tapi kan aku sudah minta maaf," jawab Thomas tanpa beban.
"Minta maaf saja tidak akan cukup, bodoh!" hardiknya. "Kalau kau bertemu dengan pembunuh orang yang paling kau sayangi, pasti kau bakal memburunya dan balas dendam padanya. Tapi kau tidak akan mengerti itu karena kau pembunuh berdarah dingin yang tidak menyayangi siapapun!!"
Emosi Thomas sedikit tersulut setelah mendengarnya. "Tch. Kau mudah sekali menilaiku. Memangnya hanya kau yang paham tentang balas dendam itu?" balasnya. Ia tertegun melihat dua tangan Ray menggenggam lehernya. "Aku peringatkan sekali lagi. Kalau kau masih macam-macam denganku, kau pasti dapat kesialan. Arwah terkutuk itu pasti mendatangimu lagi!"
"Aku tidak peduli pada apa yang akan terjadi padaku setelah kau mati di tanganku," ujarnya sambil mengeratkan cengkraman. "Justru karena arwah jelek itu tidak ada, aku jadi mudah membunuhmu."
Ray mulai tersenyum saat melihat kepanikan di wajah Thomas yang sedang berusaha membebaskan lehernya. Tapi senyumnya perlahan memudar ketika melihat Thomas yang tampak tenang kembali sambil memejamkan mata. Namun, ia masih dapat merasakan detak nadi di lehernya. Ray pun segera menambah kekuatan cengkramannya agar anak itu benar-benar terlihat tenang karena sudah mati.
Tiba-tiba dua matanya terbuka. Yang membuat Ray kaget adalah, sepasang iris mata berwarna semerah darah muncul dari balik kelopak mata itu. Bukan berwarna hitam.
Tangan Thomas tidak meraih pergelangan tangan Ray lagi untuk melepasnya, melainkan langsung meraih dua jari telunjuk dan tengah yang sedang mencengkramnya, lalu segera menarik keempat jari itu ke atas. Tidak ingin jarinya patah, Ray pun segera membebaskannya. Kepalan tinju yang melesat cepat ke pinggang kiri, juga berhasil membuatnya terjerembab ke samping.
"Kau menyebutku arwah jelek, hmm? Hanya karena aku tidak berada di sekitarnya sekarang, kau mengira aku tidak tahu apa yang sudah kau perbuat padanya, hmm?"
Ray tertegun. Walau suaranya masih sama-sama Thomas, namun ia yakin sekali kalau gaya bicara itu bukanlah milik Thomas. Kepalanya menoleh perlahan ke anak laki-laki berwajah pucat yang sudah berdiri dan menunjukkan senyum miringnya.
"Si-siapa kau..."
"Anggap saja aku ini... Mimpi burukmu."
•••
Dua iris mata yang awalnya berwarna semerah darah, kini berubah menjadi sehitam malam. Kedua mata itu mengedip beberapa kali dan berusaha mencerna informasi apa saja yang didapat di sekitarnya.
Banyak tumpukan-tumpukan kanvas dengan berbagai ukuran di tempatnya berada. Di bawah cahaya remang lilin, lukisan-lukisan itu semuanya menampilkan seorang anak laki-laki dengan pakaian serba hitamnya. Berbagai ekspresi—sedih, tertawa, tersenyum, marah, dan bingung—dalam berbagai pose—berdiri, berjalan, duduk, berbaring dan bersandar meja—terpapar dalam lukisan indah yang hampir terlihat seperti aslinya. Anak laki-laki itu adalah dirinya sendiri, dan ia tidak tahu siapa yang membuatnya.
Tapi bukan itu masalah yang dikhawatirkan. Seharusnya ia berada di koridor terbuka rumah sakit. Ketika ia melihat dua tangan serta pakaian yang dikenakan, ia terkaget.
"Kenapa aku jadi Lizzie?!" Suaranya juga terdengar lebih nyaring dan sedikit serak seperti gadis itu.
"Karena sekarang kau berpindah tubuh dengannya, Thomas."
Jawaban yang terdengar lembut nan bulat dari seorang wanita itu membuatnya tersentak. Ia menoleh ke kiri dan kanan, mencari dari mana asal suara yang menggema itu. "Si-siapa kau? Dari mana kau tahu na-namaku?! Apa jangan-jangan kau yang melukis semua ini?" Ia memberanikan diri untuk bertanya.
"Cukup Lizzie saja yang tahu tentangku. Dia juga yang membuat lukisanmu ini waktu dia masih hidup."
Thomas terdiam sejenak. Matanya memicing pada salah satu lukisan yang menunjukkan dirinya sedang dipeluk oleh gadis bernama Lizzie itu. "Apa dia bermaksud membuatku seperti boneka yang bisa disuruh-suruh?" curiganya. Ia teringat isi pikiran Lizzie terakhir yang menyuruhnya untuk tenang dan mengikuti kata-katanya, sebelum akhirnya ia berada di tempat yang berbeda.
"Alasan itu terlalu rendah untuk bisa bertukar tubuh denganmu. Ada alasan yang jauh lebih tinggi dan membuat ikatan koneksinya denganmu semakin kuat. Alasan yang membuat pertukaran tubuh ini dapat dilakukan walau sebentar saja."
"Alasan apa itu?"
"Lizzie rela menjual jiwanya padaku agar bisa sampai sini dengan satu alasan pasti selain balas dendam, yaitu karena dia mencintaimu sepenuh hati."