"Terima kasih atas hidangan makan malamnya, Kim. Maaf jadi mereptokanmu," kata Chip setelah ia menghabiskan santapan ayam kalkun dan bubur kentang yang telah disediakan.
"Tak apa. Tamu adalah raja, itu prinsipku jika ada tamu di sini," kata Kimberly sambil mengambil satu per satu piring kotor itu.
"Thanks, Kim," kata Cathrine sambil memberikan piring kotornya pada Kimberly.
"You're welcome." Kemudian Kimberly pun segera meletakkan piring-piring kotor itu ke dapur. Tak lama kemudian, ia kembali ke ruang keluarga sambil membawa setoples biskuit jahe.
"Jadi, kita mulai dari mana?" tanya Kimberly seraya membuka toples kaca itu dan mengambil satu biskuit jahe.
"Biar langsung saja, di mana kelincimu?" kata Chip.
"Apa sangkut pautnya dengan Choco?" heran Kimberly.
"Karena Choco itu adalah Thomas," jawab Chip.
Kimberly hampir saja tersedak setelah mendengar pernyataan yang tidak masuk akal itu. Kecuali Cathrine yang sudah pernah mendengarnya dan langsung mempercayainya.
"Maksudnya?" Kimberly bisa kembali berucap setelah meneguk segelas air mineral.
"Tunjukkan aku kelincimu, maka akan aku buat kau percaya," kata Chip.
Beberapa saat Kimberly terdiam dan menimang-nimang pernyataan Chip itu.
"Ayolah, Kimberly. Patuhi saja perintah Chip." Cathrine berada di pihaknya.
"Baiklah, tunggu, aku cari dulu," kata Kimberly seraya beranjak dari sofa.
Mata Chip menangkap suatu pergerakan di sudut ruangan. "Dia ada di sana," tunjuk Chip pada kelinci cokelat di balik kotak kayu.
Kimberly langsung menghampiri Choco yang terlihat seperti berusaha menarik dirinya dari sesuatu. Padahal, setelah Kimberly mengangkatnya, tidak ada apapun yang menahannya untuk melangkah. Lalu, ia pun kembali ke tempat duduknya dan ia berikan kelinci itu pada Chip.
"Apa yang akan kau lakukan?" tanya Kimberly.
"Sebentar," kata Chip sambil melihat-lihat kelinci itu. "Apa kau sudah mengerti bagaimana caramu kembali ke wujud manusiamu, Thomas?"
"Hmm?" Kimberly semakin penasaran sekaligus merasa aneh dengan Chip.
"Tidak. Lakukan apa yang ingin kau lakukan." Suara Thomas terdengar pasrah sekali di telinga Chip.
"Putuskan rantainya!" perintah Alice yang ternyata sudah berada di sebelah kiri Chip.
Ia mengangguk dan meletakkan kelinci itu di atas meja. Alice segera memegangi kelinci hitam tak wajar itu supaya tidak kemana-mana. Tangan Chip terasa seperti terbakar ketika ia menyentuh rantai hitam penyatu antara kelinci cokelat dan hitam itu.
"Jangan coba-coba kau!" larang Lizzie.
Namun Chip tidak menggubrisnya, ia segera memutuskan rantai yang ternyata mudah diputus itu. Tiba-tiba kilatan hitam muncul seketika dan hembusan angin yang cukup kencang terasa entah berasal dari mana.
"Aku akan membunuhmu, Chip!!"
Sambil berteriak, Lizzie langsung menyerang Chip dengan jari-jari tajamnya. Untungnya, Alice tanggap dan segera menahan serangan itu dari depan dengan menggenggam kedua tangan dan tubuh Lizzie.
Chip membeku seketika saat melihat ujung jari telunjung Lizzie yang tajam sudah menyentuh lensa kacamata kirinya.
"Alice... Jangan halangi aku!" Lizzie memberontak sambil berusaha melepaskan diri.
"Aku tidak akan membiarkanmu menyentuhnya!!" Alice langsung menarik Lizzie kuat dan segera membawa Lizzie keluar dari ruangan itu.
Chip terhentak saat ada sesuatu yang menyentuh pundaknya. Saat dilihat, ternyata itu kepala Cathrine yang tersandar di pundak Chip. Ia dalam keadaan tak sadarkan diri. Ketika ia melihat ke depan, ke arah Kimberly, ternyata ia juga tak sadarkan diri.
"A-apa yang terjadi?" Chip bertanya pada Thomas yang sudah terduduk di atas meja. Ia masih dalam keadaan takut karena serangan Lizzie yang mendadak itu.
"Entahlah. Saat mereka melihatku, mereka langsung pingsan," kata Thomas sambil mengedikkan bahu. "Seharusnya kau peringatkan dulu, Chip. Tapi sepertinya dia cuman pingsan karena terlalu kaget."
Thomas yang berhasil melepaskan diri dan sekarang sedang duduk di atas meja, sudah cukup menyunggingkan senyum di wajah Chip. Ini baru awal dari tahap menuju pembebasan. Wajar Thomas tidak terlalu berbahagia saat wujudnya menjadi manusia, karena Lizzie masih berkeliaran di sekitarnya dan mungkin dirinya akan menjadi kelinci lagi saat Lizzie kembali. Tapi setidaknya, Thomas cukup bersyukur dan ia tidak sabar ingin bercengkrama dengan adiknya yang sudah lama tidak berjumpa.
Chip tidak peduli pada ancaman yang dilontarkan Iblis tadi padanya. Sekarang ia tahu bagaimana rantai itu terputus. Dan sekarang, ia tinggal mencari cara agar Thomas itu terbebas dan hidup tenang tanpa gangguan Lizzie yang haus akan darah dan kematian.
"I-iya, aku lupa memberitahu mereka." Ia mengedarkan pandangan dan mencari sosok itu.
"Kau kenapa?" Thomas terheran dengan wajah pucat Chip.
"Aku baik-baik saja. Hanya sedikit kaget," jawab Chip sambil menurunkan kepala Cathrine sampai bersandar ke pahanya. "Sebaiknya kita tunggu mereka sampai sadar."
"Ya, kau benar," setuju Thomas.
Chip sedikit terbelalak saat menyadari ada hal yang aneh dari kawannya itu. "Thomas."
"Ya?"
"Sejak kapan... matamu bisa semerah itu?"
•••
"LEPASKAN AKU!!"
Alice menarik tangan Lizzie tanpa menggubris rontaannya. Terus menariknya sampai ke sebuah taman kecil di perumahan itu.
"Apa yang kau lakukan di sini?!" bentak Alice sambil melepas kasar tangan Lizzie.
"Ini urusanku! Kau tidak usah ikut campur!" balas Lizzie.
"Aku saudari kembarmu dan urusanmu itu urusanku juga!" Alice susah payah untuk lebih mengontrol emosinya. "Aku tahu, kau mau membunuh Nataline, kan?"
"Kalau kau tahu untuk apa bertanya," cibir Lizzie sambil melipat tangan. "Sudahlah Al, lebih baik kau kembali ke tempat peristirahatanmu. Kau sudah aman." Ia berbalik badan dan hendak pergi, namun Alice langsung memegang pundak Lizzie dan menariknya untuk menghadap ke arahnya kembali.
"Menurutmu, siapa yang membuatku di sini?" kata Alice. Pertanyaan itu cukup membuat Lizzie terdiam. "Seseorang telah menempatkanku di tempat yang tak layak, ditambah kau yang nakal berkeliaran di dunia ini dan ikut campur urusan reinkarnasi Thomas."
"Kau tidak akan mengerti semua ini, Al," sambar Lizzie.
Alice menurunkan cadar yang menutup sebagian wajah Lizzie. "Aku mengerti semuanya, Lizz," katanya sambil tersenyum lembut.
Beberapa saat Lizzie menatap mata biru Alice yang lembut itu. Sudah lama sekali ia tidak melihatnya dan entah kenapa ia bisa merindukan kasih sayang dari kakaknya itu.
Lizzie menepis tangan Alice dan ia mundur beberapa langkah darinya sambil menaikkan cadar. "Aku sudah bukan Lizzie yang dulu lagi. Aku ke sini untuk balas dendam, untuk membunuh Nataline karena ia sudah membunuh keluarga kita!" sahut Lizzie. "Seharusnya kau berterimakasih padaku karena mau repot-repot membunuh Nata--"
"Nataline tidak salah. Orang tua kita lah yang salah," sela Alice.
"Apa?!" kaget Lizzie. Ia benar-benar tidak menyangka kalau kembarannya itu bisa menyalahkan kedua orangtuanya yang sudah merawat mereka dengan penuh kasih sayang. "Jaga ucapanmu, Al!" tunjuknya.
"Kau tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi saat itu karena kau tidak ada di sana!" timpal Alice. "Aku mendengar pembicaraan orang tua kita tentang menyalahkan Nataline dan membuatnya masuk penjara karena tidak suka saja!"
Lizzie terdiam sesaat dengan tatapan sinisnya.
"Orang tua kita tidak suka dengan Nataline," tambah Alice.
"Tapi Nataline sudah membunuh orang tua kita di depanku sendiri. Aku pun juga dibunuh olehnya," sambar Lizzie cepat.
"Ya itu karena--"
"Kau tahu, Alice? Ini sebabnya kenapa aku benar-benar benci padamu setelah kematianmu," sela Lizzie. "Aku... aku sudah berusaha setengah mati memindahkan jasadmu ke ruang rahasia supaya kau bisa membantuku saat ini. Tapi nyatanya apa? Kau berkhianat! Kau lebih memilih Nataline yang sudah menyiksaku!!"
Alice tertegun saat melihat kedua mata Lizzie yang mulai berkaca-kaca. Ia benar-benar tidak menyangka kalau Lizzie akan berbuat sejauh ini untuk membalaskan dendamnya pada Nataline. Kali ini ia merasa sedikit bersalah karena cukup egois melihat Nataline dari sudut pandangnya, bukan dari kembarannya sendiri yang mungkin saja bisa berbeda 180 derajat.
"Tapi Lizz, Nataline--"
"Cukup Alice! Aku sudah muak denganmu!"
"Menunduk!" Sebuah pantulan cahaya putih dari benda tajam membuat Alice memaksa Lizzie untuk menunduk.
Benda tajam itu melewati atas kepala mereka dan menancap sebuah pohon.
"Apa yang kau lakukan, bodoh!" Terdengar suara hardikan wanita tepat dari belakang Lizzie.
"Ha-Hai Tessa!" sapa Alice seramah mungkin sambil maju beberapa langkah membelakangi Lizzie. Ia tampak sedikit gugup dengan kehadiran mendadak arwah wanita yang saat ini bermuka masam itu.
"Kenapa kau memperingatinya?" tanya Tessa dingin seraya mendekat pada Alice. "Padahal aku hampir saja membunuhnya."
"Ta-tapi bukan seperti itu caranya," balas Alice. "Yang kau lakukan itu sia-sia saja."
"Aku sudah menemui korban-korban Lizzie dan mereka berkata dengan membunuhnya lah cara untuk menghilangkan setan itu!" Tessa tampak emosi dan bersiap-siap untuk melemparkan sebuah pisau lagi. "Iya, kan, Ron?" kata Tessa sambil melirik ke belakang Alice.
"Ya, benar."
Alice terhentak saat mendengar suara mengerikan di belakangnya. Ia pun cepat-cepat berbalik badan dan mendapat arwah yang seluruh tubuhnya gosong dengan wajah yang menyisakan kedua mata melotot tanpa kelopak mata juga gigi-gigi yang menghitam tanpa ditutupi bibir.
"Kau sudah berpihak pada setan. Kau--"
"Jangan sentuh dia!!"
Tiba-tiba saja Lizzie berlari dan menendang Ron dari samping hingga terpental jauh. Kemudian Lizzie juga mendorong Tessa tanpa menyentuh dengan kekuatannya supaya tidak melempar pisau itu kembali.
Setelahnya, Lizzie langsung menarik tangan Alice untuk pergi dari tempat itu. Alice terdiam dan mengikuti Lizzie. Ia tidak tahu apa yang harus ia perbuat saat melihat sudah ada beberapa arwah di belakangnya yang ingin membunuh Lizzie.
Baru saat ini Alice tersadar kalau Lizzie sudah tidak bisa diselamatkan lagi dari mereka.
•••
Hanya perlu lima menit saja, setelah kesadarannya pulih kembali di keesokan harinya, Cathrine sudah bisa terbiasa dengan kehadiran Thomas di sisinya. Sifatnya yang mudah percaya dengan hal supranatural di luar akal manusia membuatnya percaya kalau anak laki-laki di depannya ini adalah benar-benar Thomas yang hidup kembali. Setelah sekian lama tidak berjumpa, sedikit sekali kata-kata yang keluar dari mulutnya. Perasaannya luar biasa senang dan terharu, sehingga ia hanya bisa memeluknya erat dan berkata 'aku sangat merindukanmu' sebagai pelampiasan perasaannya itu.
Kemudian, Cathrine berlalu ke dapur, menyiapkan sarapan untuk mereka.
"Huuu... aku yakin kau sangat senang ketika dipeluk oleh pujaan hatimu, Thomas," goda Chip. "Ehemm... sepertinya ada yang ingin terbang saat ini." Chip berdeham sambil menyiku Thomas.
"Berisik!" gerutu Thomas.
"Oohh lihat! Wajahmu memerah hmpp--"
"Diam, Chip!" Thomas langsung membungkam mulut Chip dengan bantal sofa. "Bercandamu sudah kelewat batas!"
Chip berusaha menjauhkan bantal itu dari mulut dan hidungnya. "Jangan tindih tanganku!" Chip mengerang kesakitan.
Thomas langsung mengangkat tangannya dari atas tangan Chip yang diperban itu. "Ups... maaf. Anggap saja ini balasanku karena sudah menggodaku."
"Wahh... aku senang kalian masih terlihat akur seperti dulu," kata Cathrine. Ia menghampiri dengan nampan berisi empat piring sandwich dan empat gelas teh hangat.
"Terima kasih atas sindirannya, Cathrine," balas Thomas sambil tersenyum masam.
Chip tergelak menanggapinya, begitu juga Thomas yang tidak mengerti kenapa ia sendiri ikut tertawa.
"Sambil mengobrol, kita tunggu Kimberly sadar," usul Cathrine sambil meletakkan nampan itu di atas meja.
"Memang ada pingsan sampai selama itu, ya?" heran Thomas.
"Entahlah. Mungkin sekalian tidur karena lelah. Sama sepertiku," jawab Cathrine yang diakhiri dengan tawa pelan. "Jangan ada yang makan dulu sampai Kimberly sadar," peringatnya.
"Yah, aku lapar sekali Cath. Kalau dia tidak bangun sampai sore bagaimana?" keluh Chip.
"Ya kita harus bawa ke dokter," jawab Cathrine santai.
Tiba-tiba saja ada yang mengetuk pintu rumah dari luar dan menyebut nama Kimberly.
"Itu Sam," kata Thomas. Ia masih mengingat suara Sam yang terdengar renyah itu. "Sebaiknya aku sembunyi."
"Kenapa?" heran Cathrine.
"Cerita panjang, Cath," jawab Chip. "Sembunyi di kamar Kimberly," usulnya pada Thomas.
Thomas mengangguk dan beranjak dari sofa untuk menaiki tangga menuju kamar Kimberly.
Chip segera ke pintu depan, Cathrine mengekor di belakangnya.
"Kau... Chip, kan?" tunjuk Sam saat ia melihat Chip yang membuka pintu.
"Ya, kau Samuell Blackwood. Tunangan Kimberly, kan?"
"Benar. Dan apa yang kau lakukan di rumah tunanganku?" tanya Sam curiga.
"Kami hanya berkunjung," jawab Cathrine. Ia tak mau ada salah paham di antara mereka.
"Ooh," gumam Sam, "di mana Kimberly? Ada berita penting yang harus ia ketahui,"
"Dia--"
Cklek
"Dia di kamarnya? Baiklah, permisi, aku harus menemuinya," kata Sam setelah mendengar suara pintu tertutup. Buru-buru ia langsung ke kamar Kimberly.
"Hey! Tunggu dulu. Dia tidak ada di kamarnya!" peringat Chip. Namun, Sam sudah naik dan tidak menggubrisnya.
Sam pun sudah berada di depan pintu kamar Kimberly. "Kim, apa kau di dalam?" tanya Sam sambil mengetuk pintu.
Tidak ada respon dari dalam. Karena tidak bisa menunggu lama-lama lagi, ia pun langsung membuka pintu yang tak terkunci itu.
"Kim?"
Tetapi tidak ada siapa-siapa di dalam. Merasa curiga karena ia mendengar jelas ada orang yang baru saja menutup pintu kamar itu, Sam pun menyusuri tiap-tiap sudut kamar. Sampai matanya berhenti di sepasang sepatu hitam di balik gorden panjang.
Ia pun mendekati sepasang sepatu dan siap-siap menangkap kalau ada seseorang di balik gorden itu.
Saat gorden disibakkan, Sam bernapas lega karena tidak ada siapa-siapa di sana. Hanya sepatu hitam berukuran kecil yang mungkin saja itu milik Kimberly.
"Sam," seseorang memanggilnya dari ambang pintu.
"Ya, Chip?"
"Kimberly ada di ruang keluarga," info Chip, "tidak ada di sini."
Sam langsung menghampiri Chip. "Ohh baiklah. Tapi tadi aku mendengar ada--"
"Mungkin hanya ilusimu," sela Chip.
Kemudian, Sam dan Chip menuruni tangga menuju ruang keluarga.
Thomas yang bersembunyi di dalam lemari pakaian Kimberly akhirnya bisa mengambil napas kembali. Gorden yang berada tepat di sebelah lemari itu membuat Thomas menahan napasnya beberapa detik.
Sam terbelalak tidak percaya saat melihat calon istrinya terbaring di atas sofa.
"A-apa yang terjadi padanya?!" kata Sam sambil menghampiri Kimberly dan mengecek keadaannya.
"Dia baik-baik saja. Hanya pingsan karena... letih bekerja," jawab Cathrine.
"Astaga...," kedua mata Sam berkaca-kaca. Tersirat banyak sekali tekanan-tekanan dari tatapan sendunya itu.
"Tidak apa-apa. Dia akan baik-baik saja bersama kami untuk sementara," kata Chip menenangkan.
Sam menghela napas dan dihembuskan perlahan untuk menenangkan pikiran dan menahan air matanya.
Ia berdiri dan menghadap ke arah Chip dan Cathrine. "Tolong berikan ini pada Kimberly," ucapnya sambil mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. Sebuah kertas kecil ia keluarkan dan ia berikan pada Chip.
"Baiklah. Ada lagi?"
"Suruh Kimberly ke alamat yang ada di kertas itu dan bilang kalau... kalau orangtuaku dan keponakanku kecelakaan," kata Sam.
"Ya ampun... bagaimana keadannya sekarang?" Cathrine menatap Sam sedih.
"Susah dijelaskan," jawab Sam sambil membuang napas cepat. "Kalian juga boleh datang untuk menjenguk bersama Kimberly. Sebaiknya aku permisi dulu," pamitnya.
"Ya, hati-hati di jalan."
Setelah mobil sedan putih itu melaju meninggalkan rumah, Cathrine mengeluarkan pertanyaan yang sempat terpendam di benaknya.
"Kenapa Sam tidak boleh melihat Thomas?"
"Kau tidak tahu berita itu?" kata Chip tidak menyangka.
"Berita apa?" Rasa penasaran Cathrine kembali muncul.
"Tentang anak kecil penyebab kecelakaan di jalan sentinel juga yang membunuh Lindsey, adiknya Ray," jawab Chip.
"Ooh kalau penyebab kecelakaan di jalan Sentinel itu aku tahu. Namun aku lupa apa penyebabnya," kata Cathrine mengingat-ingat. "Seorang anak apa kelinci ya?"
"Sam lebih menduga pada anak laki-laki berpakaian serba hitam itu. Sampai saat ini pihak kepolisian masih berusaha mencarinya. Kau tahu siapa yang kumaksud ini, kan?"
"Ooh... apa mungkin...,"
"Ya, sampai sekarang Thomas masih menjadi buronan."