Thomas memandang keluar jendela dari kamar Kimberly selama sepuluh menit. Satu jam telah berlalu sejak Kimberly menyuruhnya untuk tetap di kamarnya, sedang Kimberly sibuk mengurusi pasiennya yang dalam keadaan darurat. Sebenarnya Thomas tahu kalau Kimberly tidak ada di rumah saat ini karena ia sudah menyusuri rumah itu dan ia tidak menemukan Kimberly.
(Sekarang kau di mana, Lizz?) Thomas mencoba untuk berkomunikasi dengannya. Namun tidak ada tanggapan. Benar-benar tidak ada tanggapan sama sekali setelah ia mendengar pikiran Lizzie di ambang pintu rumah Chip.
(Lizzie?) Ia terus mencoba menghubunginya.
(Apa kau sudah mendapatkan informasi keberadaan Nataline?)
Akhirnya ia dapat mendengarnya kembali.
(Belum. Kimberly pergi karena urusan mendadak,) jawab Thomas. (Sebenarnya kau di mana?)
(Di suatu tempat,) jawabnya singkat. (Maaf Thomas, sepertinya aku benar-benar sibuk saat ini. Nanti kabari aku lagi kalau kau sudah mendapatkannya.)
Kemudian, komunikasi mereka pun kembali terputus. Thomas menghela napas dan dihembuskan cepat. Tubuhnya ia hempaskan di atas kasur empuk dan bermaksud mencari ketenangan di sana. Melalui komunikasi tadi, Thomas tahu kalau Lizzie benar-benar jauh darinya dan ia tidak tahu pasti di mana lokasi tepatnya itu. Tangannya ia letakkan di depan dada, merasakan detang jantungnya sendiri yang semakin lama entah mengapa semakin lambat. Ini kehidupan kedua yang Thomas lalui dan ia merasa kehidupan ini tidak akan bertahan lebih lama lagi.
•••
Sreet... sreet..
Ketika bulan bersembunyi di balik awan dan angin berhembus menerbangkan daun-daun yang berguguran, terdengar suara rantai yang beradu dengan ranting pohon di suatu hutan. Terdengar pula rintihan yang keluar dari mulut gadis yang terikat oleh rantai itu yang membawanya melayang beberapa meter dari tanah.
"Fiuh, akhirnya selesai juga," kata Lizzie setelah ia menggembok rantai itu ke salah satu batang pohon. "Ternyata kau lebih lemah dari dugaanku, sister."
Alice terus menggerak-gerakkan tubuhnya, berharap ia bisa terbebas dari rantai yang menyiksa itu. "Kumohon Lizzie, jangan ganggu mereka lagi!"
"Kau pikir aku akan mendengarmu?" hardik Lizzie. Ia menjatuhkan sebuah kunci tepat di bawah Alice yang menggantung. "Kurang baik apa aku ini? Kuharap ada yang dapat membebaskanmu, Al. Tapi ups, sepertinya itu tidak akan terjadi, hahahaha!" Lizzie tertawa seram sambil berjalan meninggalkan Alice yang terus menerus menyahut namanya.
(Hhh... bertarung dengannya benar-benar menghabiskan sebagian tenagaku,) batin Lizzie. (Thomas, sekarang kau di mana? Aku akan menyusulmu. Thomas?) Tidak ada tanggapan darinya. Lizzie mendongak ke atas dan melihat bulan sudah tepat berada di atas kepalanya. Saat ini ia yakin kalau Thomas sudah tertidur pulas. (Astaga, sepertinya aku harus menerka-nerkanya sendiri.)
Air mata Alice tidak bisa berhenti mengalir dari pelupuk matanya. Ia tidak tahu harus melakukan apa lagi selain berharap ada yang dapat berbicara dengannya melalui pikiran layaknya Lizzie dan Thomas. Ia tahu itu tidak mungkin terjadi, karena ia hanyalah arwah penasaran biasa. Walau begitu, ia tetap berharap, berharap dengan sungguh-sungguh supaya ada seseorang yang bisa bertelepati dengannya. Sampai ada satu nama yang terlintas di benaknya.
"Ya... pemuda itu," gumam Alice. "Aku yakin pemuda itu bukanlah indigo biasa." Hal itu membuat Alice sedikit bersemangat untuk mencoba berkomunikasi dengannya. Dari awal sejak Alice tidak meremehkannya lagi, ia melihat sesuatu yang berbeda darinya.
(Chip! Kuharap kau bisa mendengarku!)
•••
"Saatnya bangun, Thomas!" seru Kimberly sambil menyibakkan gorden jendelanya.
Kilauan cahaya yang menembus kelopak matanya cukup mengganggu Thomas dari tidurnya. Ia pun beranjak ke duduk sambil meregangkan tubuh dan mengusap mata. "Kau kembali," gumamnya saat melihat Kimberly.
"Ya. Aku sudah pulang dari kemarin jam 10 malam. Tapi karena aku tidak tega membangunkanmu, jadi aku tidur di sofa ruang tengah saja," jelas Kimberly.
"Ooh... maaf," sesal Thomas.
"Tidak apa-apa. Aku tahu kau pasti lelah menungguku." Kimberly mengeluarkan satu set pakaian dari dalam kantung plastik. "Kemarin aku sekalian belanja pakaian untukmu. Bagaimana? Bagus, kan?" girang Kimberly sambil membentangkan kaos putih polos dan jaket jeans di kedua tangannya.
Thomas hanya tersenyum samar melihat girangnya Kimberly itu. Tiba-tiba pandangannya sedikit terlihat buram. Entah kenapa perasaannya kian memburuk dan badanya mulai lemas.
"Kau kenapa?" Kimberly setengah berlutut untuk mensejajarkan diri dengan Thomas. Nampak jelas kalau Kimberly benar-benar khawatir padanya. "Sakit?" Tangan Kimberly terjulur ke dahi Thomas. "Kau dingin sekali. Ayo kita ke ruang keluarga dan menghangatkan diri bersama!" kata Kimberly sambil menarik tangan Thomas, namun Thomas mempertahankan tempatnya.
"Kenapa kau tidak curiga denganku sama sekali?" Thomas angkat bicara dengan kepala menunduk.
"Maksudmu apa?"
"Kau tidak penasaran mengapa aku bisa di sini?"
Kimberly mendesah sambil kembali menghadap ke Thomas. Ia mengangkat kepala Thomas dari bawah dagu lalu memegang kedua pundaknya. "Aku tidak peduli sebab kenapa kau di sini. Aku juga tidak peduli mengapa wujudmu masih seperti yang dulu, bahkan aku tidak peduli kau ini hantu atau apapun itu," kata Kimberly. "Yang penting, aku bisa bertemu denganmu kembali, bermain bersamamu lagi, dan...," mata Kimberly mulai berkaca-kaca, "aku rasa impian yang terlihat tidak mungkin terwujud itu akhirnya terwujud juga."
"Impian apa?"
"Impianku. Kau menghadiri upacara pernikahanku dan duduk di paling depan." Kimberly segera menyeka air matanya yang mengalir. Kemudian ia berdiri dengan semangat menggebu-gebu. "Baiklah! Tidak ada waktu untuk menangis haru lagi, Kim!" serunya.
Thomas sedikit terhentak melihat perubahan sikap Kimberly yang drastis itu.
"Ayo Thomas! Kau harus siap-siap, karena kita akan mengunjungi orang tua Sam." Kimberly memberikan pakaian yang dibelinya pada Thomas. "Kau ganti pakaian di sini saja. Aku sudah siap-siap, tinggal jalan," infonya sebelum ia melangkah keluar dari kamar.
Thomas tertegun sejenak saat melihat Kimberly yang saat ini. Ia merasa lega karena Kimberly sudah benar-benar bersikap dewasa, dapat mengatasi kondisi di sekitarnya dan dapat mengendalikan emosinya dengan baik.
"Sepertinya dia sudah bisa berdiri sendiri," gumam Thomas sambil tersenyum memperhatikan pakaian itu.
"Oh ya, Thomas!" Pintu sedikit terbuka dan Kimberly melongokkan kepalanya ke dalam.
"Iya?"
"Ya ampun, kukira kau lagi telanjang," Kimberly terkekeh sesaat dan Thomas memandangnya datar, "setelah kita mengunjungi orang tua Sam, kita mengunjungi seseorang lagi."
"Siapa?"
"Setelah kulihat, ternyata rumah sakit tempat dirawatnya orang tua Sam itu bersebrangan dengan rumah sakit jiwa. Dan kau tahu siapa, kan?" Kimberly tersenyum penuh teka-teki.
Thomas berpikir sejenak sampai satu nama kembali diingatnya. "Maksudmu--"
"Yup! Kau benar!" sela Kimberly tak sabaran. "Kita akan mengunjungi mama kita, Nataline!"
Deg, seakan ada yang menusuk jantungnya saat mendengar kabar itu.
(Kenapa bisa secepat ini?)
•••
Waktu sudah menunjukkan pukul 9 pagi saat pemuda itu terbangun dari sofa, dan segera menuju dapur karena mendengar aktifitas di sana. Takut-takut ada seorang pencuri di ruangan itu.
"Oh astaga, Cath. Kirain siapa." Chip bernapas lega saat melihat wanita dikuncir satu itu.
"Ya ampun, maaf sudah menggunakan dapurmu! Aku... aku hanya ingin membalas kebaikanmu dengan cara memasak sarapan untukmu," jelas Cathrine.
"Tidak perlu minta maaf, Cath," kata Chip sambil menghimpirinya dan tertawa sekilas. "Kau masak apa?"
"Tadi pagi, aku sempat ke pasar untuk membeli bahan. Jadi, sekarang aku sedang memasak ayam kalkun dan sayur bayam untukmu,"ujar Cathrine, "ah ya, tenang saja. Aku membelinya menggunakan uangku sendiri," tambahnya seraya kembali memotong kalkun sebelum dibaluri bumbu.
"Ehmm... Cath, kau terlalu berlebihan," komentar Chip yang merasa tidak enak.
"I-iya ya? Maaf kalau begitu." Cathrine tertunduk malu.
"Seharusnya aku yang minta maaf karena sudah merepotkanmu," timpal Chip sambil tersenyum miris. "Terima kasih, Cathrine," ujarnya lembut. Tangan kanannya menyentuh puncak kepala Cathrine dan mengelusunya sekilas.
"Sa-sama-sama." Cathrine semakin salah tingkah menghadapinya. "Oh ya, Chip!" panggil Cathrine sebelum Chip pergi dari dapur.
"Ada apa?"
"Kimberly mengajak kita menjenguk orang tua Sam. Kau ikut, kan?" info Cathrine.
"Tentu saja! Aku siap-siap dulu," kata Chip sambil bergegas menuju kamarnya.
Cathrine menghembuskan napas pelan untuk menenangkan hatinya yang tak karuan itu saat Chip baru saja menyentuh kepalanya. Perasaan yang sedang dirasakan ini, perasaan yang membuatnya sering salah tingkah. Ya, wanita itu benar-benar jatuh hati pada sosok Chip
(Pria yang baik)
•••
Dua mobil melaju beriringan menyusuri jalan perumahan menuju rumah sakit yang bisa memakan waktu satu jam. Mobil sedan berwarna cokelat memimpin di depan dan berwarna hijau mengikuti di belakang.
"Kau dengar sesuatu, Cath?" Tiba-tiba saja Chip mendengar ada yang merintih-rintih minta tolong.
"Tidak."
"Hmm...."Mata hijau Chip berusaha untuk fokus menyetir, namun juga mencoba mendengar sekali lagi apa yang baru saja ia dengar.
(Tolong aku, siapapun...)
"Ada yang minta tolong," kata Chip.
"Siapa? Aku tidak dengar apapun," balas Cathrine sambil melihat sekitar mobil itu.
(Tobias Clooney? Kau dengar aku?)
(Siapa kau?) Chip mencoba berkomunikasi dengan cara yang sama.
(Oh syukurlah. Ini aku, Alice)
(Alice? Bagaimana kau bisa--)
(Tolong aku, Tobias. Kumohon tolong aku!)
Suara itu semakin lama semakin terdengar jelas.
(Sekarang kau dimana?)
(Aku di dalam hutan. Tapi tidak tahu pasti dimana. Apa kau tidak bisa mengikuti suara ini?)
Kali ini suara itu mulai terdengar samar dan menjauh. Chip pun melambatkan laju mobil, lalu berhenti.
"Kenapa berhenti?" bingung Cathrine. "Chip?"
Chip kembali menjalankan mobil, namun kali ini ia memutar balik. "Tolong kirim pesan ke Kimberly kalau kita akan menyusulnya nanti," perintahnya.
"Iya, tapi apa yang terjadi? Kau ingin kemana, Chip?" Cathrine mulai cemas dengannya.
Chip melirik sekilas ke arah Cathrine yang benar-benar khawatir itu, juga ke kandungannya. "Tenang saja, Cath. Aku hanya ingin menolong temanku dulu." Chip takut sesuatu yang buruk terjadi pada Cathrine dan kandungannya itu jika terlalu khawatir.
"Ba-baiklah, tapi jangan lama-lama."
•••
Ring...
Ada sebuah pesan masuk di ponselnya dan Kimberly menyuruh Thomas untuk membacakan isi pesan itu.
"Kim, aku dan Chip akan menyusul kalian. Ada barang penting Chip yang tertinggal di rumahnya," kata Thomas. "Jangan lupa share location agar kita tidak tersasar," tambahnya.
"Balas, Ok," perintah Kimberly. "Kirim lokasinya juga."
Namun Thomas malah memberikan ponsel itu pada Kimberly dan berkata, "aku tidak mengerti."
Kimberly menerimanya dan langsung membalas pesan itu secepat kilat karena ia dalam posisi mengemudi. Ia mewajarkan ketidaktahuan Thomas karena perbedaan zaman itu. "Nanti aku akan mengajarimu teknologi-teknologi yang sudah berkembang pesat," kata Kimberly sambil meminjamkan ponselnya itu pada Thomas
Thomas mengangguk sambil memperhatikan ponsel layar sentuh yang tipis itu.
Tiba-tiba saat ia sedang asik melihat-lihat, ia mendengar suara yang Lizzie.
(Kau sekarang di mana, Thomas?)
(Aku ada di dalam mobil)
(Ke mana?)
(Ke rumah sakit.)
(Apa sekarang kau akan bertemu dengan Nataline?)
(Nanti setelah Kimberly menjenguk calon mertuanya. Nataline ada di rumah sakit jiwa.)
(Bagus. Akan aku bawakan senjata untuk membunuh Nataline.)
(Senjata apa? Jadi maksudmu, aku yang akan membunuhnya?) kaget Thomas.
(Iya, kau yang harus membunuhnya karena kau lah yang mewakili balas dendamku, balas dendam kita, karena perbuatan Nataline yang semena-mena itu!) seru Lizzie. (Akan aku temui kau di rumah sakit jiwa, ok?)
(Ok!)
(Good boy!)
Thomas bisa merasakan kesenangan Lizzie yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Lizzie yang seakan-akan berlari-lari di pikirannya membuat Thomas tertawa sekilas dan hal itu menarik perhatian Kimberly.
"Kau kenapa?" tanya Kimberly.
"Tidak apa-apa. Aku hanya tidak sabar bertemu dengan mama kita," kata Thomas sambil memandang Kimberly dengan senyum misteriusnya.
"Ooh begitu. Baguslah." Kimberly membalas senyum Thomas dan kembali memandang jalan di depan. Di saat itu senyumannya memudar cepat karena merasa ada yang aneh dari Thomas, terutama dari matanya. Ya, iris matanya berubah menjadi semerah darah. Tapi, Kimberly berusaha untuk bersikap lebih tenang dan menganggap itu hanyalah halusinasinya karena letih bekerja.
"Kim! Di ponselmu ini bisa nonton Tom and Jerry?" seru Thomas antusias saat menemukan video itu.
"Iya, bisa. Ooh, kau masih menyukai kartun itu?"
"Justru aku yang bertanya seperti itu," timpal Thomas dengan mata terfokus pada layar, "kau sudah berumur 25-an dan masih menyimpan video ini."
"A-aah... itu yaa, anggap saja untuk nostalgia." Kimberly nampak malu saat ditanya seperti itu. "Thomas."
"Hmm?" Tidak henti-hentinya Thomas tersenyum saat melihat tingkah konyol dua animasi itu dan terkadang ia juga tertawa.
"Aku ingin bertanya satu hal."
"Silahkan, tapi jangan susah-susah." Sesekali Thomas melirik Kimberly. Kemudian, ia pun menyebutkan pertanyaan itu. Pertanyaan yang membuat senyum Thomas menghilang seketika dan lenyapnya rasa humor dalam video itu.
"Kau dengar aku, Tom?"
Thomas tersadar dari lamunan mengerikannya dan mencoba untuk bertanya sekali lagi sekaligus berharap kalau ia salah dengar untuk yang pertama tadi.
"Bisa kau ulangi lagi pertanyaanmu itu, Kim?"
"Baiklah, dengar baik-baik, karena tidak ada pengulangan yang ketiga. Ok?"
"Ok." Thomas mengangguk.
"Apa kau mengenal Lizzie dan Alice?"