"Ini merupakan keputusan yang sangat sulit, Xavier. Bagaimana pendapat orang-orang, Ella saja sudah jelek di depan muka umum. Jika kamu membawanya kemari, apa kamu bisa menerima semuanya?" tanya Felix tegas. Xavier terdiam sejenak, dirinya sendiri tidak mau dihina apalagi dibicarakan dari mulut ke mulut soal yang aneh. Namun, dirinya sangat mengkhawatirkan Ella, ia takut jika Ella kenapa-napa. "Baik ayah, sudah aku putuskan sekarang. Aku akan membawanya kemari dalam waktu dekat. Tapi aku harus menyelesaikan tugasku dulu dan persiapan untuk dia pindah kemari," jawab Xavier sungguh-sungguh.
"Ayah senang dengan keputusanmu Xavier. Tapi ingatlah, setiap keputusan pasti akan resikonya. Biar bagaimanapun, kamu harus bertanggung jawab untuk hal ini," kata Felix lagi. Xavier pergi meninggalkan ruang kerja ayahnya. Ia harus mengurus beberapa hal yang cukup mengganggunya akhir-akhir ini soal keamanan di wilayah yang nantinya akan ia pimpin.
"Tunggu Ella, aku akan datang kesana untuk menjemputmu pergi dari kesengsaraan."
***
Ella terbangun dengan wajah kusut, bahkan sekarang ia harus tidur di kamar jelek dan dingin, yaitu gudang. Itulah kamar barunya sekarang, seusai Xavier pulang tadi malam. Beberapa orang yang tidak ia kenal, menyeretnya masuk ke dalam gudang atas permintaan May. Ella tidak habis pikir dengan apa yang akan di lakukan oleh May juga anaknya itu. Mulai hari ini, semuanya akan berubah total. Yang Ella harapkan, Xavier datang segera membawanya lari dari penjara terkutuk ini, rumahnya sendiri.
Hari ini badai salju datang begitu ganas, banyak orang tidak bisa keluar untuk menjalankan aktifitas masing-masing. Di luaran, hanya ada warna putih saja, tidak kelihatan apapun. Tiba-tiba May masuk ke dalam kamarnya sambil memarahinya, hanya karena tidak membuatkan sarapan. "Tunggu apalagi kamu, kamu sekarang di rumah ini adalah pembantu. Jangan berharap kamu bisa menikahi putra raja itu!"
"Iya bu ... Tapi tolong jangan seret Xavier dalam hal ini. Dia tidak salah apapun, dia adalah orang yang baik," sahut Ella sepelan mungkin nada bicaranya. May memutar bola matanya, "Enak saja, semenjak hadirnya dia, kamu itu banyak sekali berubah. Kamu berubah menjadi anak yang sedikit malas!"
Ella kembali terdiam, menahan segala emosinya agar tidak ikut meluap. "Tunggu apa lagi hah?!" Ia segera bangkit berdiri dan berjalan melewati May. Di dapur, ia sibuk mengupas sayuran yang akan ia jadikan sup. Dari semalam, ia belum makan sedikitpun. Namun, hati kecilnya berkata untuk menyimpan sup buatannya itu sedikit. "Sepertinya aku harus menyimpan sedikit untukku," gumamnya.
Pranggg
"Ups, maaf ...," kata Alana yang sengaja menyenggol sebuah piring cantik polos di atas meja. Ella segera mendekat kearah itu. "Apa yang sudah kakak lakukan, bagaimana nantinya jika ibu marah?" Dirinya kembali menjadi takut, sudah jelas dirinya lah yang akan disalahkan. "Biarkan saja, kan kamu yang menanggung semuanya. Ibu tidak akan memarahiku, dia akan memarahimu!" Alana pergi masuk ke dalam rumah dengan gaya angkuhnya.
Cepat-cepat, Ella membersihkan pecahan piring tersebut. Lagi-lagi ia bertingkah ceroboh. Jari berdarah akibat tertancap pecahan tersebut. "Sudahlah, nanti saja aku mengobati ini." Ia kemudian berlari keluar rumah di tengah badai salju kencang untuk membuang pecahan piring tersebut. Saat dirinya kembali masuk ke dalam, ia melihat ibu tirinya memegang cambuk dan tali dengan dua orang di belakangnya. "Aku dengar kamu memecahkan sebuah piring ya? Apa benar begitu?" tanya May.
Ella menundukkan kepalanya dan berkata jujur, "Iya ibu, tapi bukan aku yang memecahkannya." May mengayunkan jari telunjuknya dan orang-orang mulai mendekat. "Cambuk dia sampai tidak berdaya. Orang macam dia tidak bisa diberikan kebebasan banyak-banyak."
"Tidak ibu, tidak! Ella tidak melakukannya, aku mohon lepaskan ... Lepaskan ...." Tidak ada hasilnya sama sekali ia merontah-rontah, ia sama sekali tidak memiliki cukup tenaga untuk melawan. Kedua tangannya terikat erat dan sesi cambuk mulai. Beberapa di bagian tubuh Ella, mulai membiru keunguan bahkan berdarah. "Hentikan hiks ... Bukan aku yang melakukannya. Aku mohon ... Bukan aku ...."
Rintihan lirihnya yang terdengan jelas, tidak membuat para tetangga kasihan sedikitpun. Mereka hanya diam dan berpura-pura seolah tidak tahu apapun. "H-hentikan ...."
***
Pekerjaan Xavier sedikit lagi akan segera selesai dan rencananya besok ia akan menjemput Ella. "Semuanya sudah sempurna, ia pasti akan suka dengan kamar barunya." Xavier memandang ke segala arah, kamar yang di tata baru dengan beberapa pakaian di dalam lemarinya. Burung hantu peliharaannya datang membawa sebuah surat. Xavier mengambil surat itu dan mengabaikannya begitu saja. "Dia lagi, dia lagi, tidak ada kata lelahnya dalam melakukan pengejaran orang macam aku, sangat lucu."
Ia melempar surat tersebut ke dalam perapian, melihatnya terbakar sampai jadi abu. Kemudian ia berjalan keluar kamar, berjalan kearah para prajuritnya yang sudah menunggu di depan gerbang. Malam ini adalah malam bulan purnama, ia memiliki tugas ingin membantai para pemberontak di bagian timur daerah perbatasan. Para pemberontak itu berjumlah kurang lebih ada 5. Mereka sudah membuat kekacauan dimana-mana, bahkan korban jiwa sudah banyak.
Ggggrrrr ....
"Keluar kamu!!"
Dari kegelepan muncullah sosok hitam dengan mata merah menyala-nyala, Xavier tahu kekuatannya jauh lebih kuat daripada lawannya. Ia bergerak dengan cepat, hingga sosok itu langsung terbunuh dengan satu kali cakaran dari Xavier. Tepat di lehernya, mangsa itu langsung terjatuh ambruk tidak berdaya. Beberapa kawanan dari sosok itu pun segera pergi sejauh mungkin dari tempat itu. Prajurit segera mengejar mereka sesuai dengan Xavier perintahkan. "Jangan sampai biarkan mereka semua lolos, jumlah mereka ada 9!!"
***
"Tidak, aku mohon ibu ... Tolong jangan bunuh Ella." Semuanya perlahan gelap dan Ella kembali terbangun, ternyata itu semua hanyalah mimpi. Detak jantungnya melega, namun sekujur tubuhnya terluka, bahkan tidak ada cela sedikitpun. Semua tubuhnya terluka akibat cambukan itu, sebuah ide gila di kepalanya muncul, yaitu cara untuk kabur. "Sepertinya aku tidak akan bisa kabur dengan mudah dari tempat ini. Tapi, jika aku tidak kabur, kemungkinkan besar diriku akan mengalami nasib yang sama seperti ini setiap harinya."
Dengan hati-hati ia mencoba berdiri dengan kedua kakinya, berjalan meraba-raba dinding untuk membuka pintu. Perutnya mulai keroncongan, ia benar-benar lapar sekali. Dari kemarin dan hari ini, dia sudah tidak makan selama 2 hari. "Nasib kejam ini mengapa datang disaat aku belum siap menerimanya ...." Tubuhnya terjatuh di lantai yang dingin, rasa sakitnya menjalar begitu cepat ke seluruh tubuh. Tidak ada yang bisa ia lakukan sekarang, selain menunggu pintu tersebut terbuka dengan sendirinya. Di tatapnya lekat-lekat cahaya bulan purnama, berharap agar penderitaan ini berakhir secepat mungkin. Pandangannya mulai menggelap, sedikit demi sedikit kesadarannya kembali hilang.