"Pakde," panggil Nala setelah kembali tersadar.
"Hm?"
"Apa yang dilihat Nala bener ga?" tanya Nala sambil memandang pakde Anto takut-takut.
"Bener kok," jawab pakde.
"Gimana Nal?" tanya mbak Hesti penasaran.
"Boongin aja dulu Nal. Kasian mbak Hesti kalo tau yang sebenernya," ujar pakde melalui telepati.
Nala pun mengangguk paham dan tersenyum lebar menutupi fakta yang ada.
"Suaminya mbak Hesti lagi ngantor mbak. Lagi ada meeting ini, suasananya serius banget disana," ujar Nala bohong.
"Oh yaudah kalo emang sibuk dianya," ujar mbak Hesti.
"Yaudah pak monggo dilanjut. Kasian anak saya dirumah nungguin saya. Makasih ya pak, dek Nala," ujar mbak Hesti lagi.
Nala hany menyunggingkan senyum manisnya.
"Iya mbak masama," ujar Nala.
Nala dan pakde Anto menunggu kepergian mbak Hesti. Mereka merasa tidak enak jika mengatakannya langsung di depan mbak Hesti. Mereka perlu bermusyawarah dan mensepakati apa yang akan mereka lakukan.
"Kok bisa gitu ya pakde?" ujar Nala sedih. Perasaannya tidak enak karena ia harus membohongi mbak Hesti.
"Ya mau gimana lagi. Lakinya aja udah kaya gitu," ujar pakde Anto dengan nada kesal.
"Kasian mbak Hesti. Anaknya masih kecil-kecil loh padahal,"
"Loh kok kamu tau?"
"Kan aku nerawang pakde. Tapi benerkan?"
"Hooh nduk,"
"Lah trus kita harus gimana? terus terang sama mbak Hesti aja sebenernya aku takut kalo salah ngomong pakde,"
"Ya kita minta bantuan sama yang Allah lah. Dahlah yok kita urus suaminya yang kena pelet cewe ga bener itu,"
"Pakde yang ngerjain. Nala mantau aja kan Nala masih belajar. Hehe," ujar Nala diakhiri cengiran lebar.
"Lah kapan pinternya itu. Pakde yang mantau kamu yang ngerjain," ujar pakde Anto gamau kalah.
Nala cemberut. Mau tidak mau dia menuruti perintah pakde Anto dan mengerjakan bagian yang menurutnya bisa. Nala pun juga tidak lupa meminta bantuan pada sang Kuasa.
🐣
"Itu yang sebelah kanan nak. Dipetik sekalian,"
Heru menggerakkan sebuah tongkat galah yang ia pegang ke sebelah kanan dimana ia menuruti instruksi eyang Lastri untuk mengambil mangga di pohon kesayangannya.
Pluk
"Udah bu?" tanya Heru di atas pohon.
"Udah banyak. Sini turun," ujar eyang Lastri.
Heru pelan-pelan turun dari pohon mangga dan menghampiri eyang Lastri yang sedang menyusun mangga yang diambil Heru.
"Makasih ya nak Heru. Ambil tiga mangga gih," ujar eyang Lastri.
"Gak usah bu," tolak Heru cepat.
"Halah ambil aja. Serah nak Heru deh mau ngambil berapa,"
"Yaudah kalo gitu saya ambil mangga muda nya dua ya bu,"
Sesuai dengan perkataannya, Heru mengambil dua mangga muda dan berterima kasih kepada eyang Lastri kemudian membawanya ke dalam kamarnya.
Setelah meletakkan mangganya di atas meja, Heru kembali keluar dari kamarnya untuk sekadar bermain di teras rumah.
Karena sepi, Heru mencoba mengeluarkan kucing berwarna kuning kecoklatan dari kandangnya.
"Kamu yang namanya si gendut?" tanya Heru sambil mengangkat dan menggendong gemas si kucing.
"Bu Lastri padahal ga pernah ngasih nama loh ke kamu. Tau-tau kamu punya nama panggilan. Keren loh," ujar Heru pada kucing yang di gendongnya.
Si gendut pun meronta-ronta ingin dilepaskan. Kedua kaki belakangnya menendang-nendang tangan kekar milik Heru.
"Ohhh kamu ga demen saya gendong gegara kita sesama cowok ya? Tapi kamu jadi cowok gemesin sih. Kan saya jadinya ikutan gemes kali ngeliat kamu ndut,"
"Edan kamu Her! Kucing kok diajak ngomong. Kucing mana paham bahasamu," ujar eyang Lastri yang muncul secara tiba-tiba.
Heru pun meletakkan si gendut di lantai kemudian membersihkan bulu-bulu kucing yang menempel di bajunya.
"Sapa tau bisa jawab bu. Saya juga kesepian gaada yang bisa saya ajakin ngomong," ujar Heru.
"Pekerjaanmu emangnya udah kelar?" tanya eyang Lastri.
"Udah daritadi bu kelarnya. Kalo ga kelar, saya ga mungkin bisa bantuin ibu metik pohon mangga," jawab Heru kalem.
"Lah apa ndak nongkrong sama temen-temenmu?"
"Temen saya rata-rata pada sibuk kerja semua bu. Temen deket di kantor pun juga lagi kena jadwal shift. Yaudah deh jadinya sendirian, gada temennya,"
"Kasian. Makanya cari anak perempuan biar bisa diajakin keluar bareng,"
"Itu yang susah bu,"
"Susah dimananya? Perempuan kan banyak Her. Di kantormu mesti juga ada perempuan cantik yang masih single,"
"Ada sih bu. Cuma kalo ga sesuai sama apa yang saya mau ya percuma aja."
Eyang Lastri menyodorkan secangkir gelas berisi teh hangat kepada Heru. Heru pun mengucapkan terimakasih dan menaruh cangkirnya diatas meja.
"Bu, kalo boleh saya tau. Anaknya ibu ada berapa sih? Kok saya liat di foto keluarga banyak banget anaknya," tanya Heru penasaran saat melihat foto keluarga yang tertempel di dinding.
"Ohhhh. Anak saya cuma empat. Anak pertama si Anna, ni punya dua anak cowo anak pertama si Danis, yang kedua Fais. Anak kedua saya cowo, namanya Kris, dulu saya sempat gapunya agama, makanya saya kasih nama anak kedua saya Kris. Sekarang dia punya dua anak, anak pertama cewe namanya Nadin, anak kedua namanya Iril. Trus ini anak ketiga saya, namanya Riana. Mamanya Nala. Punya tiga anak, satu cowo dua cewe, tapi yang anak pertama udah dijemput duluan sama yang di Atas, jadinya tinggal dua. Ini Nala dan ini adiknya, Atha. Nah ini anak terakhir saya, namanya Dian. Punya dua anak, satu cewe satu cowo. Yang cewe namanya Nisa, yang cowo namanya Rasya." ujar eyang Lastri sambil menjelaskan dengan menunjukkan tiap-tiap orang yang ia jelaskan dalam foto.
"Danis, Nala sama Nadin keliatan cucu paling besar sendiri ya disitu bu," ujar Heru.
"Danis tuh dah kerja di salah satu bank di jogja. Kalo Nala masih kuliah S1 Akuntansi di univ deket sini. Kalo Nadin masih SMK,"
"Saya sama Danis tuaan siapa bu?" tanya Heru kepingin tahu.
"Ya tuaan Danis lah. Selisih setaun doang tapi,"
"Kalo Nala?"
Eyang Lastri mencoba mengingat tahun lahir Nala lalu menghitung umur Nala.
"Kalo ga salah hampir mau ke umur dua puluh tahun nak Heru," jawab eyang Lastri.
"Sebenernya saya tuh kasian sama si Nala. Dari SD kelas lima dia udah diharuskan belajar mandiri. Padahal kan seusia segitu anak-anak masih banyak bermain," ujar eyang Lastri sedih.
"Yahh... saya sih banyak-banyakin doa mohon ampun buat keluarganya Nala sama doa biar Nala sama adiknya sukses. Saya ngerasa cobaan hidupnya berat apalagi di usia muda," ujarnya lagi.
Heru bingung. Ia tidak mengerti dengan perkataan eyang Lastri. Emangnya ada apa dengan kehidupan Nala?
"Emangnya kenapa bu?" tanya Heru yang sebenarnya tidak ingin tahu.
"Nala dari kecil sudah diharuskan bersikap dewasa dan saya gamau bagi tau ceritanya ke kamu. Kalo kamu mau tau ceritanya, coba tanya aja ke si Nala. Itu pun kalo dia mau cerita loh, Hahahaha," jawab eyang Lastri.
"Apa seberat itu hidupnya Nala bu?" tanya Heru lagi.
"Yaa kalo orang ga sanggup mah biasanya stress terus gila bahkan alternatifnya bunuh diri. Tapi Nala nggak, dari kecil dia udah kuat mentalnya ngadepin semuanya sendirian," ujar eyang Lastri.
"Ohh gitu," ujar Heru.
"Udahlah. Saya mau lanjut nonton sinetron kesenengan saya," ucap eyang Lastri sembari meninggalkan Heru yang tengah berdiam diri karena beberapa argumen berdebat di pikirannya.
"Kok saya jadi penasaran sama si Nala ini,"