Ten melihat pria kecil berambut putih yang terikat rantai itu penuh minat. Entah sejak kapan, netra hijaunya tak pernah lepas menatap Leona yang belum juga sadarkan diri.
Sesaat pria berbaju hitam itu memutar bola matanya malas. Menatap bayangannya jengah.
Terlalu lama menunggui tawanannya sadar, membuatnya mulai bosan. Ia lantas mengambil sebuah jarum berukuran sedang dari balik jubahnya. Memainkan ujungnya sembari meneteskan sesuatu di sana.
Sebuah botol kecil berbentuk bulat dengan cairan berwarna biru terang di dalamnya. Kelihatannya cairan itu sangat indah, tapi siapa yang tahu jika cairan itu merupakan racun paling mematikan dengan jangka waktu pendek.
Zyfourtic. Racun yang bisa melumpuhkan hanya dengan sekali sentuh.
Tapi bukan itu permasalahannya. Toh, Ten sendiri pencipta racun itu jadi dia tahu siapa-siapa saja orang yang pernah ia celakai.
Nyatanya dari sekian banyaknya korban, hanya satu yang berhasil selamat. Ya, siapa lagi kalau bukan sosok di dalam sel itu.
Ten tak habis pikir bagaimana bisa dia bisa selamat. Seharusnya, orang yang terkontaminasi Zyfourtic ataupun tak sengaja menyentuhnya langsung mati. Tapi dia?
"Menarik," gumam Ten pelan.
Pria itu kembali memasukkan botol racunnya ke dalam saku jubahnya lalu menyembunyikan jarum yang mirip jarum akupuntur itu di salah satu sepatunya.
"Mungkin jika aku melepaskan bocah itu, dia bisa membantuku kelak? Lagipula aku cukup jengah menjadi kaki tangan Felix."
Idenya cukup cemerlang, lantas tanpa pikir panjang. Ten mulai melangkah menuju sel. Membuka gembok lalu menghampiri Leona yang masih memejamkan mata.
Untuk sesaat Ten, tertarik akan paras pria kecil di depannya. Bagaimana mungkin ada pria yang memiliki kulit wajah sehalus dan seputih ini?
Apa mungkin dia ...
Hampir saja tangannya menyentuh wajah Leona. Tapi mata gadis itu keburu terbuka.
Sontak saja Ten langsung menjaga jarak dengannya dan memilih untuk melihat ke arah lain.
"Kau siapa?" tanya Leona dengan mata menyipit.
Sebenarnya sudah sedari tadi dia sadar, tapi gadis itu lebih memilih berpura-pura memejamkan mata. Agar tahu, apa yang akan dilakukan pria berjubah hitam di depannya.
Ten sedikit berdeham untuk mencairkan suasana. Sebelum akhirnya menjawab pertanyaan Leona barusan.
"Kau tak perlu tahu siapa aku, yang jelas aku akan membantumu keluar dari tempat ini!" jelasnya.
Alis Leona berkerut. Ia sedikit tak percaya dengan ucapan orang asing di depannya ini.
"Oke, oke aku tahu kau pasti tidak mempercayaiku." Leona mengangguk.
"Baiklah, untuk pertama-tama aku akan melepaskan rantai di tanganmu dulu. Tapi, ingat! Jangan lari dulu, ada sesuatu yang harus aku beri tahu."
Leona mengangguk sekali lagi. Lalu tanpa buang waktu Ten langsung melepaskan rantai itu dengan mudah. Ya, Felix mempercayai dan memberinya kunci cadangan.
Tapi Ten, rupanya mulai membelot.
Crang ...
Terdengar gembok pada rantai terbuka. Tak berselang lama dari itu Leona langsung membebaskan tangannya.
Awalnya gadis itu berpikir jika pria berjubah hitam di depannya ini hanya mengada-ada. Lagipula dia juga tidak mempercayai siapapun di sini kecuali dirinya sendiri.
"Kau sudah percaya?" tanya Ten karena melihat raut wajah Leona yang masih sedikit curiga padanya.
"Kalau kau masih belum percaya sepenuhnya itu tidak masalah. Yang jelas aku ingin mengatakan sesuatu padamu."
Ten menjeda ucapannya lalu tanpa permisi menarik tangan Leona untuk mengikuti langkahnya.
Gadis itu hanya diam menurut. Menatap Ten sesekali guna mengamati gerak-geriknya dari atas sampai bawah.
"Dengar," Ten mulai membuka suaranya kembali.
"Jika kau berjalan lurus ke depan dari tempatmu berpijak saat ini, kau akan menemukan sebuah pintu kecil. Kira-kira ukurannya hanya muat untuk setengah badan, jadi kau harus membungkuk saat melewatinya. Tapi, jangan langsung kau buka lebar dulu."
Leona kembali mengernyitkan alis. "Kenapa?"
"Di balik pintu itu ada perkampungan Cyclops," jelas Ten.
Leona semakin tertarik.
"Cyclops?" tanyanya, pria itu mengangguk.
"Ya, Cyclops. Kau tahu, mereka suka sekali memangsa manusia."
Bukannya itu berbahaya? Tapi kenapa Felix tidak tahu soal ini?
"Jika para Cyclops suka memangsa manusia, kenapa pangeran Felix tetap diam saja? Bukannya dia harus-"
"Pfft ... kau becanda? Felix tidak sebaik yang kau pikir."
Melihat reaksi Ten yang hanya tertawa, membuat Leona semakin curiga. Sebenarnya ada hubungan apa pria ini dengan Felix?
Atau ada sesuatu yang mereka sembunyikan selama ini.
"Ah, maksudku Pangeran tidak tahu masalah ini," ralat Ten cepat.
Pria itu hampir saja keceplosan di depan Leona.
"Ah, begitu?" balas Leona pura-pura bodoh.
Padahal sudah banyak sekali teori yang memenuhi isi kepalanya. Terutama soal Cyclops dan Pangeran Felix.
"Intinya kau jangan keluar dulu. Tapi amati keadaan di balik dinding," jelas Ten kembali.
Pria itu berharap Leona sudah melupakan perihal ucapannya barusan. Dan dia tidak mencari tahu, alasan mengapa Pangeran Felix tidak angkat suara soal Cyclops ini.
"Usahakan, jangan sampai para Cyclops menemukan keberadaanmu."
Setelah mengatakan hal itu, Ten langsung berbalik dan buru-buru menghilang. Ya, pria itu tidak ingin Felix curiga karena dia belum juga memberi laporan sampai detik ini.
Melihat pria itu yang sudah pergi membuat Leona tersenyum. Diam-diam rupanya dia mengambil sesuatu milik Ten, saat dia sibuk menjelaskan soal jalan keluar.
"Sepertinya aku mengenalmu, tuan."
©©©
Ten mendecih pelan, mencari keberadaan jarum miliknya yang hilang entah kemana.
Shit!
Dia bahkan baru saja mengoleskan Zyfourtic tadi. Bisa gawat jika ada orang yang sampai terkena atau dirinya sendiri yang malah terluka.
Memang sih, pria itu yang membuat racun mematikan tersebut. Sayangnya, Ten tak memiliki penawarnya.
Harusnya waktu itu dia pergi menyempurnakan ramuan penawarnya yang kurang satu bahan lagi. Dengan cara mencampurkan setetes air mata bangsa Elf dan bahan lainnya, maka ramuan penawar itu siap. Tetapi semua gagal saat pria kecil itu menghalanginya.
"Sial!"
Ten ingin memaki atau menghancurkan apapun yang dia bisa temukan. Namun, Felix sudah muncul terlebih dahulu dari balik pintu.
"Kau sudah menemukannya? Si pemilik Totem dan menyebarkan rumor?" tanya Felix.
Ten langsung mengalihkan muka. Entah mengapa aura Felix sungguh menakutkan baginya. Padahal Ten mengira jika dirinya sudah lebih berani. Nyatanya dia salah. Pria itu masih saja jadi pengecut bila bertemu atau berhadapan langsung dengan Felix.
"Ampun Yang Mulia, hamba belum menemukannya."
Tatapan Felix yang awalnya bersahabat berubah menjadi tajam. Pria itu langsung melemparkan gelas anggur yang ada di atas meja bersama dengan tekonya hingga jatuh berserakan di bawah lantai.
"Kenapa lama sekali? Kau pikir aku akan sabar menunggu, huh?!"
Dadanya naik-turun dan rahangnya mengeras. Pertanda Felix sudah begitu marah besar.
Bagaimana tidak?
Dirinya begitu menginginkan kekuasaan dan hanya sang pemilik Totem yang bisa membantunya. Sekalipun melawan Teon.
"Sialan!" maki Felix penuh amarah.
Ia menatap Ten lagi dengan sorot mata yang begitu tajam.
"Aku tidak mau tahu, kau harus menemukan pemilik Totem sebelum bulan purnama!"