Tekad Lucas sudah bulat. Dia berencana pergi ke Frozen Sea untuk menyampaikan berita tentang perang terlebih dahulu. Pasalnya, akan sangat berbahaya jika salah satu pihak di serbu secara mendadak.
Akan ada banyak sekali penduduk sipil yang tidak bersalah meninggal. Negeri yang porak-poranda, bahkan anak kecil yang akan memiliki trauma dan gangguan mental.
Membayangkannya saja, membuat Lucas bergidik.
Secepatnya pria itu mengambil pedang, lantas melewati jalan setapak belakang istana. Ya, selain jabatannya yang sudah di berhentikan secara tidak hormat. Lucas juga kehilangan semuanya. Kekayaan, posisi, bahkan nama baik.
Tapi, dia tidak peduli. Lagi pula untuk apa tetap mengabdi pada raja yang tak punya hati. Itu hanya akan membuat hidup tidak tenang.
Beberapa prajurit yang berpapasan dengan Lucas tersenyum pongah. Ada juga yang diam-diam membicarakan dirinya di belakang. Padahal, sebelumnya mereka selalu menghormati Lucas tiap kali bertemu di jalan.
Apakah itu karena faktor jabatan saja? Atau mau mencari muka?
Lucas benar-benar tidak tahu sikap mereka begini ternyata. Yang diam-diam suka menjatuhkan di belakang.
"Kau lihat, dia?" tunjuk salah seorang prajurit pada prajurit lain, ke arah Lucas.
"Itu kan, Jenderal Besar Lucas. Kenapa, pakaiannya lusuh sekali sekarang? Baju bangsawan kelas atasnya pun tak ada, malah mirip seperti pengurus kuda di halaman belakang."
"Loh, memang kau belum dengar soal kabar terbaru?" sahut yang lain.
"Kabar apa memang?"
"Soal, dirinya yang di berhentikan secara tidak hormat kemarin sore."
"Sungguh?"
Prajurit yang lain menggeleng. Tidak malu membicarakan kejelekan Lucas saat orangnya ada di depan mereka. Brengsek memang.
Lucas yang masih sayup-sayup mendengar gunjingan tentang dirinya hanya bisa menghembuskan napas berat. Sejujurnya, tangannya sudah terkepal erat sedari tadi. Bahkan saking panasnya, telinganya pun ikut memerah.
Ingin sekali dia membungkam mulut mereka semua. Tapi apa daya? Dia bukan siapa-siapa sekarang.
Lebih baik Lucas mempercepat langkahnya. Berbelok ke kiri lantas melompati tembok di dekat hutan bambu.
Bruks ...
Mulus. Seperti apa yang dia rencanakan sebelumnya. Tidak ada yang mencegah bahkan menghalangi kepergiannya ini.
Ya, setidaknya untuk sekarang. Lucas bahkan sudah mempersiapkan baik-baik jika tiba-tiba mendapat gangguan di jalan.
5 tahun mengabdi dan tinggal di sisi Felix. Membuat Lucas begitu hafal karakter pria itu. Felix memang terlihat dingin dan begitu tenang. Hanya saja, jika soal kekuasaan dia tidak akan pandang bulu. Bahkan, Felix tidak segan membunuh siapapun yang menghalangi jalannya untuk menduduki singgasana.
Bisa dibilang dia egois soal kekuasaan.
"Huft," terdengar Lucas menghela napas sesaat sebelum mengelap beberapa bulir keringat yang jatuh membasahi pelipisnya.
Dia baru saja melewati tembok istana dan sedang beristirahat sebentar di bawah pohon maple yang sedang berguguran.
Sesaat, Lucas mengambil air minum yang dia bawa. Lalu meneguknya beberapa kali. Mungkin, karena terbiasa hidup mewah dirinya jadi sedikit kaget mengalami hal begini.
Ya, bagi Lucas kehilangan jabatannya adalah sebuah pukulan besar. Apalagi, dulu dia merupakan tawanan perang yang di ambil saat kerajaannya di luluh lantakan oleh Felix dan Ayahnya, si raja terdahulu.
Karena berhasil selamat dan masih bisa berdiri di antara tumpukan mayat. Lucas lantas di ambil, sebelum akhirnya di latih menjadi salah satu prajurit yang kemudian mendapat jabatan sebagai seorang jenderal. Semua itu, posisi dan jabatan yang dia dapat pure dari raja terdahulu. Itu sebabnya, dia menjadi akrab dan bersahabat dengan Felix.
Terlihat Lucas menyunggingkan senyum tipis saat mengingat masa kecilnya dulu. Namun, hanya beberapa detik saja, senyum itu luntur lantas berubah menjadi raut wajah datar tanpa ekspresi.
Tangan Lucas kembali mengerat pada pegangan pedangnya. Yang tanpa sadar menggores telapak tangannya secara perlahan akibat di tarik dengan salah satu tangannya sendiri.
"Aku Lucas," kata pria itu dengan sorot mata yang tegas.
"Akan menyerahkan seluruh jiwa dan ragaku untuk kedamaian orang-orang yang tak berdosa di tanah ini. Meskipun harus mengorbankan nyawaku sendiri, aku tidak gentar ataupun takut sama sekali."
Sumpahnya, dengan meneteskan darah yang kemudian di usapkan pada pohon maple di mana dia duduk tadi. Setidaknya, pohon yang diam itu menjadi saksi atas sumpah Lucas hari ini.
©©©
"Kudengar dia sudah pergi?" tanya Felix pada Azril.
Saat ini mereka berdua sedang melakukan pertemuan yang begitu tertutup di sebuah ruangan yang hanya memiliki sedikit penerangan. Hanya ada cahaya dari sinar matahari yang masuk melalui celah dari fentilasi di atas jendela, yang begitu minim.
Terlihat, Duke Azril hanya mengangguk seraya menyesap secangkir teh yang sudah Felix siapkan. Sebelah tangannya memainkan sebuah bidak catur berwarna hitam, dan tangan kirinya terlihat menumpu wajahnya sendiri.
"Ya, kau benar Pangeran. Cecunguk itu sudah pergi tanpa rasa hormat. Bahkan, kudengar banyak prajurit yang menggunjingkan dirinya belakangan ini," balas Azril seraya tersenyum tipis.
Tangannya hendak menggerakkan bidak catur kuda, berencana menyerang raja sang pangeran. Namun, tangannya kalah cepat saat mendapati raja dan ratunya sudah terlebih dahulu di skak pion Felix.
Seketika raut wajahnya yang sempat sumringah tadi berubah. Lesu.
"Skakmat!" ucap Felix senang.
Azril hanya memutarkan bola mata malas menanggapi.
"Ya, ya, kau memang selalu hebat dalam hal ini Pangeran, aku akui itu. Hanya saja, jika ada Lucas di sini kau pasti kalah seperti diriku," cibir Azril yang langsung di tarik kerahnya oleh Felix.
Terlihat matanya mendelik dan rahangnya mulai mengeras. Pertanda jika Felix begitu marah.
Jujur, dirinya paling tidak suka dibandingkan dengan orang lain. Apalagi, jika orang itu lebih memiliki kemampuan yang lebih tinggi ketimbang Felix. Rasanya dia ingin membinasakan orang itu detik ini juga.
"Wah, kenapa kau emosi begini? Aku hanya bercanda tadi hehehe ..." ujar Azril cengengesan.
Tangannya berusaha melepaskan tangan Felix yang masih mencekal kerah bajunya tinggi-tinggi.
"Mulai detik ini, jangan sebut nama Lucas lagi. Anggap saja dia sudah mati!" ucap Felix ketus, memperingatkan Azril.
"Satu lagi, buat pengumuman di seluruh negeri bahkan sampai ke pelosok desa juga. Siapapun yang bisa memberikan kepala mantan Jenderal Besar Nort Vale tepat di hari ulang tahunku nanti. Aku akan mengangkat dirinya sebagai Jenderal Besar yang baru!" perintah Felix seraya menyunggingkan senyum misterius.
Azril hanya mengangguk sesaat lantas membalikkan badannya menuju pintu keluar. Tanpa membantah sedikitpun.
Felix yang melihat punggung dukenya itu semakin lenyap di telan pintu hanya bisa tertawa terbahak-bahak di atas kursinya.
Tangannya lantas menyibak kain putih di dekat tembok seraya tersenyum.
Tepat di dalam cermin yang di tutup tirai putih itu ada sosok yang sama tengah tersenyum juga.
"Tinggal satu langkah lagi, kita dapat menguasai segalanya. Mungkin jika kau tidak mengingatkan diriku, aku akan lupa tadi," tukas Felix.
Sosok yang sama seperti dirinya tersenyum iblis. Tak lupa ia juga memainkan belatinya seraya menggores pergelangan tangannya sendiri. Cairan merah pekat nan kental itu terlihat dari dalam cermin. Hanya saja, Felix tak merasakan apapun, tangannya pun masih sama. Terbalut pakaian bangsawan yang mewah tanpa adanya noda darah sedikitpun.
"Kau tahukan? Aku paling tidak suka jika melihat serangga lolos begitu saja. Akan jauh lebih baik, jika sebelum dia bebas, kita siksa habis jiwanya. Sampai-sampai dia memohon kematian pada kita," ucap sosok itu yang sama gilanya dengan Felix.