Chapter 4 - Rimba?

Sebelum terjun bebas ke bawah, Leona bisa melihat ekspresi si burung merah. Wajahnya seperti menampakkan sebuah senyum arogan dan sayapnya seolah melambai, mengucapkan selamat tinggal.

"Akh... To-long!" teriak Leona.

Tangannya berusaha menggapai-gapai di atas awang. Mencari apapun yang bisa jadi pegangan. Sialnya, kebodohannya selalu muncul di saat yang tidak tepat.

Ia mengumpat, sedikit mengintip ke bawah sebelum jatuh di antah berantah. "Tuhan, apa Leona bakalan mati setragis ini?"

Warna hitam begitu dominan di bawah jurang. Itu membuat bulu kuduk Leona meremang. Entah monster apa yang sudah siap menelannya bulat-bulat nanti. Yang jelas ia takut sekali.

Di tengah kebingungan antara hidup dan mati, maniknya melihat seekor elang yang terbang berputar-putar di atasnya. Kebetulan ukuran elang itu lebih besar dari pada yang pernah ia lihat di Axteas. Seketika ide konyol dan gila keluar begitu saja.

"Kenapa tak kujadikan elang itu saja sebagai alat untuk turun? Setidaknya aku tak harus mati dengan tubuh hancur terpental kemana-mana," pikirnya gila.

Masih ada kesempatan untuk hidup. Leona bisa meraih kaki elang itu untuk turun di antara pepohonan sebelum kemudian bergelantungan pada tanaman rambat dan turun dengan selamat.

Lagipula Leona merasa jika masa gravitasi di tempat ini lebih lambat atau mungkin jurang itu sangat dalam? Ah, Leona tak peduli. Yang terpenting sekarang adalah menunggu saat elang itu terbang ke sisinya lalu berpegangan cepat pada kakinya yang besar.

Tepat dihitungan ke sepuluh Leona berhasil berpegangan erat pada kaki elang itu. Meskipun kecepatan terbang si elang jadi tak stabil dan lebih menakutkan di banding naik kora-kora wahana pasar malam.

"Selanjutnya, aku harus menjatuhkan diri tepat di pohon besar sebelah kanan itu. Bergelantung lalu turun," katanya seraya mengira-ngira dari atas.

Sayangnya rencana tersebut harus gagal saat elang itu menggoyangkan kakinya kencang, membuat genggaman tangan Leona pada cakarnya terlepas. Gadis itu harus berteriak sekali lagi karena diturunkan dengan kecepatan lebih ekstrim.

"Kali ini saja Tuhan!" teriaknya. Tangannya masih berusaha menggapai-gapai sesuatu untuk di pegang. Untungnya ada sebuah tanaman rambat yang menggantung saat tubuhnya menjatuhi pepohonan.

Secepatnya ia meraih tanaman itu lalu memegangnya erat. Tapi bukan tanaman rambat yang ia pegang. Justru ular berwana hijau panjang yang tengah bergelantung.

"Huwa ular!" teriaknya saat kepala ular itu tepat berada di hadapannya.

Terlalu panik dengan keadaan, Leona jadi tak bisa berpikir ulang dan langsung melepaskan ular itu. Sayangnya saat ia sadar tubuhnya sudah terjatuh lebih dulu menghempas tanah dengan begitu keras.

"Oh, no, akh ... Nenek!"

Brugh ...

"I died," ucap Leona pelan sebelum akhirnya jatuh pingsan.

©©©

Kesadarannya baru saja kembali saat di rasa hari mulai menggelap. Fyi, sensasi mabuk akibat perjalanan jauh mulai naik ke tenggorokan dan berakhir Leona harus mengeluarkan isi perutnya yang hanya berupa air di dekat pohon tempatnya jatuh tadi.

Tubuhnya masih lemas dan sandi-sandinya terasa sakit semua. Bahkan untuk bergerak ia membutuhkan waktu beberapa menit. Tunggu! Bagaimana dengan pinggangnya?

Leona bergegas mengecek pinggangnya dan menangis di saat bersamaan. "Huwa pinggangku tak bisa diluruskan, aku jadi nenek-nenek sekarang!" katanya panik. Leona mengira jika pinggangnya patah, padahal ia sudah bisa berdiri tegak.

Setelah tahu jika dirinya baik-baik saja walaupun kondisi tubuh remuk semua. Leona segera mengistirahatkan tubuhnya dengan bersender di bawah pohon. Jujur ia bingung dengan jurang ini. Harusnya ya, ujung jurang adalah tempat yang curam dan lembab. Tetapi ini, kenapa ia bisa muncul di tengah rimba? Sebenarnya di mana lokasinya sekarang?

"Aku semakin bingung, sebenarnya ini di mana?" ucapnya seraya menatap sekeliling.

Hanya ada jajaran pohon Cemara dan berbagai macam tumbuhan lain yang tumbuh lebat dan tinggi menjulang. Leona bahkan tak bisa mengira-ngira arah mata angin lewat sinar matahari. Ia berusaha mengamati lumut yang tumbuh di batang pohon. Karena biasanya, lumut tumbuh membelakangi sinar matahari. Yang bisa di artikan jika ada lumut di sebelah kiri, berarti itu arah barat.

Sesuai dugaan, Leona berada di arah barat. Namun ia masih ragu harus melangkahkan kaki ke arah mana. Jadilah, dia kembali duduk di bawah pohon seraya memikirkan hal-hal apa saja yang harus ia lakukan untuk ke depannya.

Tak jauh dari tempatnya duduk, Leona bisa mendengar suara ringkikan kuda. Tak hanya itu, ada juga suara manusia yang berteriak lantang seperti menyebutkan sesuatu. Tidak hanya satu, tepatnya sekumpulan orang yang membentuk pasukan.

Leona gelagapan, ia bergegas bangkit untuk mencari tempat persembunyian. Apalagi, saat mendengar suara mereka yang semakin mendekat ke tempatnya.

Namun kondisi tubuh yang tidak memungkinkan jadi menyulitkan dirinya sendiri. Alhasil, Leona terjatuh dengan posisi tengkurap ketika mencoba berlari kebelakang pohon.

"Cih, sial!" decih Leona sebal. Kalau bukan karena kakinya yang cidera ia tidak mungkin repot-repot merangkak dan bersembunyi.

"Berhenti. Siapa kau?" tanya seseorang di balik punggungnya.

Leona tak bisa melihat siapa orang itu, hanya saja ia bisa merasakan sebuah benda dingin nan panjang berada di belakang lehernya.

"Kau sudah kami kepung. Jadi tak usah melawan dan ikut saja tanpa perlawanan," jelasnya lagi. Leona menggeleng tak setuju.

"Aku bukan seorang penjahat! Kenapa kalian menangkapku seolah aku seorang buron?"

tanyanya tegas.

Lagi pulang itu benar, dia cuma siswa Archipila yang tak sengaja tersesat di belakang hutan sekolahnya.

Untuk sesaat Leona merasa menang karena tak ada yang berani membalas ucapannya. Namun di detik berikutnya ia harus mengalah saat seorang pria berambut merah kecokelatan membalik posisi tubuhnya dan mengacungkan pedang tepat di depan wajahnya.

"Kau kira aku akan percaya?" katanya datar. Ia menatap Leona sinis sampai auranya menusuk ke tulang. "Kau bisa jelaskan nanti pada Yang Mulia, pasukan bawa dia ke istana!" komandonya tiba-tiba.

Pria berambut merah kecoklatan itu menyarungkan kembali pedangnya. Ia berjalan lurus tanpa menoleh sedikitpun pada Leona yang berusaha melepaskan diri karena akan di bawa ke istana secara paksa.

"Hey! Lepaskan aku! Aku tidak mau pergi ke istana! Hey!" teriak Leona membabi buta. Pada akhirnya salah seorang prajurit memukul tengkuknya sampai gadis itu jatuh pingsan.

Setelah tak mendengar suara teriakan Leona lagi, Lucas--pria berambut merah kecokelatan itu. Menyuruh bawahannya meletakkan Leona masuk ke tandu yang sama dengannya. Ia khawatir, jika gadis itu sadar akan merepotkan prajuritnya di belakang yang pastinya kelelahan sehabis berperang di perbatasan kemarin.

"Taruh dia di tenda yang sama denganku."

"Tapi, tuan ..."

Lucas menatap bawahannya acuh, "Aku tak menerima penolakan. Lagi pula, aku melakukan ini untuk kalian juga."

Si bawahan hanya bisa mengangguk patuh lantas segera pergi.

"Sebenernya, rencana apa yang mereka buat kali ini untuk menghancurkan Nort Vale?" gumam Lucas.

Matanya sibuk mengamati Leona yang masih pingsan di kursi seberang. Namun, pikirannya menjelajah entah ke mana. Yang jelas, Lucas yakin jika rencana mereka kali ini sungguh berbahaya.